Misal yang telah disebutkan dalam uraian-uraian yang lalu, hanya berlaku untuk hati sanubari kaum mukmin atau para nabi dan wali, biukannya untuk hati orang-orang kafir, sebab cahaya dimaksudkan sebagai pembawa hidayah. Dengan sendirinya, apa saja yang terjauhkan dari jalan hidayah adalah kebatilan dan kegelapan. Bahkan lebih gelap dari kegelapan, sebab kegelapan tidak dapat menunjukkan jalan ke arah kebatilan apalagi kebenaran. Sedangkan akal orang-orang kafir telah terbalik, demikian pula semua daya cerap mereka lainnya. Semuanya dalam diri mereka saling membantu di atas kesesatan, maka, misal (perumpamaan) mereka seperti ini:
“Seorang yang berada dalam kegelapan lautan yang luas dan dalam, diliputi gelombang, di atasnya ada gelombang, di atasnya lagi ada awan-awan yang tebal. Kegelapan-kegelapan yang pekat berlapis-lapis.
(QS. Al-Nur 24 : 40).
Lautan yang luas dan dalam, adalah dunia dengan segala bahaya yang membinasakan, serta peristiwa-peristiwa buruk dan kegelisahan-kegelisahan yang menyesatkan.
Gelombang yang pertama adalah gelombang berbagai syahwat hawa nafsu yang membangkitkan sifat-sifat kebinatangan, mendorong menyibukan diri dengan kesenangan-kesenangan indriawi, serta memenuhi ambnisi-ambisi yang rendah. Sehingga “mereka makan dan bersenang-senang seperti layaknya binatang ternak, maka nerakalah tempat kediaman mereka kelak:
(QS. Muhammad 47 : 12).
Oleh sebab itu, sudah sepatutnya gelombang seperti itu menimbulkan kegelapan, sebab “kecintaan kepada sesuatu membuat orang menjadi buta dan tuli.”
Gelombang kedua, gelombang sifat-sifat kebuasan dan kebinatangan yang membangkitkan kemarahan, permusuhan, kebencian, kedengkian, keirian, keangkuhan, saling pamer dan membanggakan diri, serta menumpuk-numpuk harta kekayaan. Maka sepatutnya ia menjadi gelap, sebab kemarahan adalah hantunya akal. Ia pun layak menjadi gelombang yang teratas, sebab kemarahan pada galibnya berkuasa atas berbagai syahwat hawa nafsu, sehingga apabila telah memuncak, ia membuat orang lupa, bahkan kepada kesenangan dan kecenderungan-kecenderungan dirinya. Sebab, dorongan syahwat nafsu sama sekali tidak akan mampu melawan kemarahan yang sedang memuncak.
Adapun yang dimisalkan dengan “awan” ialah kepercayaan-kepercayaan yang buruk, persangkaan-persangkaan yang menipu, dan khayalan-khayalan yang rusak, yang semuanya itu menjadi hijab (penutup, pendinding) yang menutupi antara orang kafir dengan iman dan pengetahuan tentang kebenaran serta pemanfaatan diri dengan cahaya matahari Al-Quran dan akal. Sebab, sifat awan ialah menghalangi pancaran cahaya matahari.
Jika semuanya ini gelap adanya, sudah sepatutnya ia menjadi kegelapan-kegelapan berlapis, sebagaiannya di atas sebagiannya yang lain. Jika kegelapan-kegelapan ini menghalangi seseorang untuk mengetahui sesuatu yang dekat, apalagi yang jauh, maka itulah sebabnya orang-orang kafir terhalang dari pengetahuan tentang keajaiban-keajaiban yang berhubungan dengan kehidupan Rasulullah Saw, kendati hal itu merupakan sesuatu yang amat mudah dicapai dan dimnegerti degan sedikit renungan dan perhatian.
Sudah sewajarnya, keadaan mereka ini dilukiskan dengan ungkapan fimran-Nya:
“ ..... bila ia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir tiada ia melihatnya .....
(lanjutan QS. Al-Nur 24 : 40).
Jika telah diketahui dari uraian terdahulu bahwa sumber cahaya semuanya adalah cahaya yang Pertama Yang Haqq, sudah seharusnyalah setiap mukmin yang mentauhidkan Allah Swt, mengimani:
“ .... barang siapa Allah tiada memberinya cahaya, tiada sedikit pun cahaya baginya ....
(penutup QS. Al-Nur 24 : 40)
Post a Comment