Saat Dirimu Dan Diriku Memaksa Bersatu Meski Tak Sekufu
Saat Dirimu Dan Diriku Memaksa Bersatu Meski Tak Sekufu
Mengenal sekufu dalam pernikahan itu penting, terutama buat anak muda yang lagi nyari pasangan. Sekufu berarti, kita dan pasangan punya kesetaraan dalam hal-hal penting kayak agama, status sosial, nasab dan ekonomi. Sebagaimana diterangkan. Oleh mayoritas ulama (jumhur), sekufu dinilai sebagai syarat ini penting dalam pernikahan, karena bisa bikin hubungan lebih harmonis dan langgeng. Di dalam Fatawa Islam dijelaskan,
كفاءة الرجل للمرأة في النكاح معتبرة عند جماهير العلماء، وإن اختلفوا في تحديد ما تحصل به الكفاءة،
“Sekufu antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan dinilai penting oleh mayoritas ulama, meskipun mereka berbeda pendapat dalam menentukan aspek-aspek yang membuat sekufu itu tercapai.”
Yang dimaksud syarat oleh Jumhur di sini adalah syarat penyempurna bukan syarat sah, kecuali dalam hal agama; antara wanita muslimah dengan laki-laki kafir, atau laki-laki muslim dengan wanita musyrikah (selain ahli kitab), maka ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan. Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah: 5)
Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- menerangkan,
فالذي يقتضيه حكمه صلى الله عليه وسلم اعتبار الكفاءة في الدين أصلاً وكمالاً، فلا تزوج مسلمة بكافر، ولا عفيفة بفاجر. ولم يعتبر القرآن والسنة في الكفاءة أمراً وراء ذلك
“Jadi, berdasarkan aturan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, kesetaraan dalam agama itu penting, baik sebagai syarat dasar/sah maupun sebagai syarat kesempurnaan pernikahan. Seorang Muslimah tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki kafir, dan wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki yang bejat. Al-Qur’an dan Sunnah tidak menganggap hal lain dalam kesetaraan selain itu.” (dari kitab: Zadul Ma’ad)
Jadi, bukan cuma soal cinta aja, tapi juga tentang bagaimana kita dan pasangan bisa selaras dalam banyak aspek kehidupan.
Lantas kesetaraan dalam hal apakah yang menjadi tolak ukur dua pasangan dianggap telah sekufu?
Dalam hal ini terjadi silang pendapat yang beraneka ragam di kalangan para ulama, kami simpulkan ukurannya pada poin-poin di bawah ini:
- Agama.
- Akhlak.
- Nasab.
- Status sosial (hurriyah/manusia merdeka).
- Profesi.
- Ekonomi.
Dari sejumlah indikator sekufu di atas, kesetaraan dalam agama dan akhlak adalah ukuran kesetaraan yang dijelaskan dalam banyak dalil, bahkan hampir disepakati para ulama (ijmak), adapun indikator sekufu yang lainnya, dinilai sebagai pelengkap atau penyempurna yang hukumnya asalnya adalah dianjurkan/sunnah. Sebagai dalinya adalah hadis di dalam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, disebutkan bahwa Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – menceritakan bahwa istri Tsabit bin Qais mendatangi Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan berkata,
يا رسول الله، ثابتُ بن قيس ما أعتبُ عليه في خلق ولا دِين، ولكنى أكره الكُفر في الإسلام
“Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agama, tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.”
Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
أتردِّين عليه حديقتَه؟
“Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?”
Dia menjawab, “Ya.”
Lalu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda kepada suaminya, Tsabit,
اقبَلِ الحديقة وطلِّقها تطليقة
“Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.”
Hadis ini jelas menunjukkan bahwa sekufu dalam hal agama lebih utama untuk menjadi pertimbangan di dalam pernikahan.
Selanjutnya, mengenai adanya pandangan ulama sebagian ulama tentang perlunya sekufu antara pasangan dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas, bisa dipahami sebagai upaya untuk memperhatikan adat dan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip umum syariat, atau untuk mencapai maslahat, meningkatkan manfaat, serta mengurangi mudorot dan masalah.
Tidak diragukan lagi bahwa memperhatikan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menghindari kerugian adalah sesuatu yang diperintahkan syariat, terutama dalam kehidupan pernikahan yang memerlukan kedekatan antara pasangan, yang dapat meningkatkan keharmonisan, ketenangan, dan cinta kasih.
Wallahua’lam bis shawab.
Post a Comment