Bermusyawarahlah!

Bermusyawarahlah!

عليك بالمشورة

اعْلَمْ أَنَّ مِنْ الْحَزْمِ لِكُلِّ ذِي لُبٍّ أَنْ لَا يُبْرِمَ أَمْرًا وَلَا يُمْضِيَ عَزْمًا إلَّا بِمَشُورَةِ ذِي الرَّأْيِ النَّاصِحِ، وَمُطَالَعَةِ ذِي الْعَقْلِ الرَّاجِحِ. فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِالْمَشُورَةِ نَبِيَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَعَ مَا تَكَفَّلَ بِهِ مِنْ إرْشَادِهِ، وَوَعَدَ بِهِ مِنْ تَأْيِيدِهِ، فَقَالَ تَعَالَى: {وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ} [آل عمران: 159] . 

Ketahuilah bahwa di antara bentuk kematangan berpikir orang yang berakal adalah tidak mengambil keputusan atau melaksanakan tekad kecuali dengan bermusyawarah dengan orang yang memiliki pemikiran yang jernih dan tulus, dan meminta pertimbangan dari orang yang memiliki akal yang sehat. Hal ini karena Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bermusyawarah meskipun Allah telah menjamin petunjuk dan menjanjikan pertolongan bagi beliau.

Allah Ta’ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159)

قَالَ قَتَادَةُ: أَمَرَهُ بِمُشَاوَرَتِهِمْ تَأَلُّفًا لَهُمْ وَتَطْيِيبًا لِأَنْفُسِهِمْ.

وَقَالَ الضَّحَّاكُ: أَمَرَهُ بِمُشَاوِرَتِهِمْ لِمَا عَلِمَ فِيهَا مِنْ الْفَضْلِ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: أَمَرَهُ بِمُشَاوَرَتِهِمْ لِيَسْتَنَّ بِهِ الْمُسْلِمُونَ وَيَتْبَعَهُ فِيهَا الْمُؤْمِنُونَ وَإِنْ كَانَ عَنْ مَشُورَتِهِمْ غَنِيًّا. وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: نِعْمَ الْمُؤَازَرَةُ الْمُشَاوَرَةُ وَبِئْسَ الِاسْتِعْدَادُ الِاسْتِبْدَادُ. وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الرِّجَالُ ثَلَاثَةٌ: رَجُلٌ تَرِدُ عَلَيْهِ الْأُمُورُ فَيُسَدِّدُهَا بِرَأْيِهِ، وَرَجُلٌ يُشَاوِرُ فِيمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ وَيَنْزِلُ حَيْثُ يَأْمُرُهُ أَهْلُ الرَّأْيِ، وَرَجُلٌ حَائِرٌ بِأَمْرِهِ لَا يَأْتَمِرُ رُشْدًا وَلَا يُطِيعُ مُرْشِدًا.

وَقَالَ سَيْفُ بْنُ ذِي يَزَنَ: مَنْ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ لَمْ يُشَاوِرْ، وَمَنْ اسْتَبَدَّ بِرَأْيِهِ كَانَ مِنْ الصَّوَابِ بَعِيدًا. وَقِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: الْمُشَاوَرَةُ رَاحَةٌ لَك وَتَعَبٌ عَلَى غَيْرِك. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الِاسْتِشَارَةُ عَيْنُ الْهِدَايَةِ وَقَدْ خَاطَرَ مَنْ اسْتَغْنَى بِرَأْيِهِ. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَا خَابَ مَنْ اسْتَخَارَ، وَلَا نَدِمَ مَنْ اسْتَشَارَ.

وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: مِنْ حَقِّ الْعَاقِلِ أَنْ يُضِيفَ إلَى رَأْيِهِ آرَاءَ الْعُقَلَاءِ، وَيَجْمَعَ إلَى عَقْلِهِ عُقُولَ الْحُكَمَاءِ، فَالرَّأْيُ الْفَذُّ رُبَّمَا زَلَّ وَالْعَقْلُ الْفَرْدُ رُبَّمَا ضَلَّ.

وَقَالَ بَشَّارُ بْنُ بُرْدٍ:

إذَا بَلَغَ الرَّأْيُ الْمَشُورَةَ فَاسْتَعِنْ … بِرَأْيِ نَصِيحٍ أَوْ نَصِيحَةِ حَازِمِ

وَلَا تَجْعَلْ الشُّورَى عَلَيْك غَضَاضَةً … فَإِنَّ الْخَوَافِيَ قُوَّةٌ لِلْقَوَادِمِ

Qatadah rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan para sahabat agar dapat menunjukkan rasa cinta kepada mereka dan menyenangkan jiwa mereka.” 

Sedangkan adh-Dhahhak rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan para sahabat karena Allah mengetahui keutamaan dalam musyawarah.” 

Adapun al-Hasan al-Basri rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan para sahabat agar kaum Muslimin dapat mencontoh dan mengikuti beliau dalam bermusyawarah, meskipun beliau sebenarnya tidak membutuhkan pertimbangan dari para sahabat.” 

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik dukungan adalah musyawarah, dan seburuk-buruk persiapan adalah sikap sewenang-wenang (dalam mengambil keputusan).” 

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang terbagi menjadi tiga macam: (1) orang yang dihadapkan dengan berbagai urusan, lalu dia menanganinya dengan pikirannya, (2) orang yang memusyawarahkan urusan yang sulit baginya, lalu dia menanganinya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh orang-orang yang kompeten, (3) dan orang yang bingung menangani urusannya, dia tidak menanganinya dengan kecerdasan akalnya dan tidak mau menuruti arahan orang yang mengarahkannya.”

Saif bin Dziyazan berkata, “Barang siapa yang merasa takjub dengan akalnya, dia tidak akan bermusyawarah; dan barang siapa yang keras kepala dalam memegang pendapatnya, dia akan jauh dari kebenaran.”

Dalam sebuah hikmah disebutkan, “Musyawarah adalah kenyamanan bagimu dan keletihan bagi orang lain.” 

Seorang ahli hikmah berkata, “Meminta pertimbangan orang lain adalah inti petunjuk. Sungguh telah berspekulasi orang yang mencukupkan diri dengan pendapatnya.” 

Seorang ahli adab berkata, “Tidak akan kecewa orang yang melakukan istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah.” 

Seorang ahli sastra berkata, “Di antara hak orang yang berakal adalah menambahkan berbagai pendapat orang berakal lainnya kepada pendapatnya sendiri, dan menghimpun pemikiran orang-orang bijak ke dalam pemikirannya. Sebab, pemikiran yang unggul terkadang ada melesetnya, dan akal yang cerdas terkadang ada sesatnya.”

Basysyar bin Burd berkata:

إذَا بَلَغَ الرَّأْيُ الْمَشُورَةَ فَاسْتَعِنْ … بِرَأْيِ نَصِيحٍ أَوْ نَصِيحَةِ حَازِمِ
وَلَا تَجْعَلْ الشُّورَى عَلَيْك غَضَاضَةً … فَإِنَّ الْخَوَافِيَ قُوَّةٌ لِلْقَوَادِمِ

Jika pendapat harus dimusyawarahkan, maka mintalah pandangan …

Dari orang yang berpandangan tulus atau nasihat yang teguh.

Jangan jadikan musyawarah itu rendah bagimu …

Karena bulu burung bagian dalam adalah penopang kekuatan bagi bulu bagian luar.

فَإِذَا عَزَمَ عَلَى الْمُشَاوَرَةِ ارْتَادَ لَهَا مِنْ أَهْلِهَا مَنْ قَدْ اسْتَكْمَلَتْ فِيهِ خَمْسُ خِصَالٍ:

إحْدَاهُنَّ: عَقْلٌ كَامِلٌ مَعَ تَجْرِبَةٍ سَالِفَةٍ فَإِنَّ بِكَثْرَةِ التَّجَارِبِ تَصِحُّ الرَّوِيَّةُ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ لِابْنِهِ مُحَمَّدٍ: احْذَرْ مَشُورَةَ الْجَاهِلِ وَإِنْ كَانَ نَاصِحًا كَمَا تَحْذَرُ عَدَاوَةَ الْعَاقِلِ إذَا كَانَ عَدُوًّا فَإِنَّهُ يُوشِكُ أَنْ يُوَرِّطَك بِمَشُورَتِهِ فَيَسْبِقَ إلَيْك مَكْرُ الْعَاقِلِ وَتَوْرِيطُ الْجَاهِلِ. وَقِيلَ لِرَجُلٍ مِنْ عَبْسٍ: مَا أَكْثَرَ صَوَابَكُمْ! قَالَ: نَحْنُ أَلْفُ رَجُلٍ وَفِينَا حَازِمٌ وَنَحْنُ نُطِيعُهُ فَكَأَنَّا أَلْفُ حَازِمٍ.

وَكَانَ يُقَالُ: إيَّاكَ وَمُشَاوَرَةَ رَجُلَيْنِ: شَابٌّ مُعْجَبٌ بِنَفْسِهِ قَلِيلُ التَّجَارِبِ فِي غَيْرِهِ، أَوْ كَبِيرٌ قَدْ أَخَذَ الدَّهْرُ مِنْ عَقْلِهِ كَمَا أَخَذَ مِنْ جِسْمِهِ. وَقِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: كُلُّ شَيْءٍ يَحْتَاجُ إلَى الْعَقْلِ، وَالْعَقْلُ يَحْتَاجُ إلَى التَّجَارِبِ. وَلِذَلِكَ قِيلَ: الْأَيَّامُ تَهْتِكُ لَك عَنْ الْأَسْتَارِ الْكَامِنَةِ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: التَّجَارِبُ لَيْسَ لَهَا غَايَةٌ، وَالْعَاقِلُ مِنْهَا فِي زِيَادَةٍ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: مَنْ اسْتَعَانَ بِذَوِي الْعُقُولِ فَازَ بِدَرَكِ الْمَأْمُولِ.

وَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيُّ:

وَمَا كُلُّ ذِي نُصْحٍ بِمُؤْتِيك نُصْحَهُ … وَلَا كُلُّ مُؤْتٍ نُصْحَهُ بِلَبِيبِ

وَلَكِنْ إذَا مَا اسْتَجْمَعَا عِنْدَ صَاحِبٍ … فَحُقَّ لَهُ مِنْ طَاعَةٍ بِنَصِيبِ

Apabila seseorang telah bertekad untuk bermusyawarah, hendaklah dia mencari orang yang berkompeten dalam bidangnya, yaitu orang yang menghimpun lima sifat berikut:

Sifat pertama: Akal yang cerdas dan diiringi dengan pengalaman, karena dengan banyaknya pengalaman, pertimbangannya akan menjadi matang. 

Abdullah bin Hasan pernah berkata kepada anaknya yang bernama Muhammad, “Berhati-hatilah dari meminta saran dari orang jahil meskipun dia tulus; sebagaimana kamu juga harus berhati-hati dari permusuhan dengan orang berakal jika dia menjadi musuh. Sebab bisa-bisa orang jahil itu akan menjerumuskanmu dengan sarannya, sehingga kamu lebih dulu terjebak di antara tipu daya orang berakal dan penjerumusan orang jahil.”

Pernah dikatakan kepada seorang laki-laki dari kabilah Abs, “Betapa banyak kebenaran yang kalian miliki!” Lalu dia menanggapi, “Kami berjumlah seribu orang, dan dalam komunitas kami ada satu orang bijak yang kami taati, sehingga seakan-akan kami menjadi seribu orang bijak.”

Ada sebuah ungkapan, “Janganlah kamu meminta saran dari dua jenis orang ini: (1) seorang pemuda yang takjub dengan dirinya dan punya sedikit pengalaman dalam bidang lain. (2) seorang lansia yang akalnya telah terkikis oleh usia sebagaimana badannya juga telah terkikis olehnya.”

Ada juga ungkapan dalam sebuah hikmah, “Segala sesuatu membutuhkan akal, sedangkan akal membutuhkan pengalaman. Oleh sebab itu dikatakan bahwa hari-hari akan menyingkap bagimu tabir yang menutupi.”

Ada orang bijak yang berucap, “Pengalaman tidak ada batasnya, dan akal akan terus bertambah dengannya.” 

Ada juga orang bijak lainnya yang berkata, “Barang siapa yang meminta bantuan kepada orang-orang berakal, niscaya dia akan dapat meraih apa yang diinginkan.”

Abu al-Aswad ad-Du’ali berkata:

وَمَا كُلُّ ذِي نُصْحٍ بِمُؤْتِيك نُصْحَهُ … وَلَا كُلُّ مُؤْتٍ نُصْحَهُ بِلَبِيبِ
وَلَكِنْ إذَا مَا اسْتَجْمَعَا عِنْدَ صَاحِبٍ … فَحُقَّ لَهُ مِنْ طَاعَةٍ بِنَصِيبِ

Tidak semua orang yang tulus akan memberimu nasihat …

Dan tidak semua orang yang memberi nasihat itu cerdas.

Namun, jika dua hal ini (ketulusan dan kecerdasan) terhimpun dalam diri seseorang …

Maka dia layak untuk diikuti nasihatnya.

وَالْخَصْلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ذَا دِينٍ وَتُقًى، فَإِنَّ ذَلِكَ عِمَادُ كُلِّ صَلَاحٍ وَبَابُ كُلِّ نَجَاحٍ. وَمَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الدِّينُ فَهُوَ مَأْمُونُ السَّرِيرَةِ مُوَفَّقُ الْعَزِيمَةِ.

وَالْخَصْلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ نَاصِحًا وَدُودًا، فَإِنَّ النُّصْحَ وَالْمَوَدَّةَ يُصَدِّقَانِ الْفِكْرَةَ وَيُمَحِّضَانِ الرَّأْيَ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: لَا تُشَاوِرْ إلَّا الْحَازِمَ غَيْرَ الْحَسُودِ، وَاللَّبِيبَ غَيْرَ الْحَقُودِ. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَشُورَةُ الْمُشْفِقِ الْحَازِمِ ظَفَرٌ، وَمَشُورَةُ غَيْرِ الْحَازِمِ خَطَرٌ.

وَقَالَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ:

أَصْف ضَمِيرًا لِمَنْ تُعَاشِرُهُ … وَاسْكُنْ إلَى نَاصِحٍ تُشَاوِرُهُ

وَارْضَ مِنْ الْمَرْءِ فِي مَوَدَّتِهِ … بِمَا يُؤَدِّي إلَيْك ظَاهِرُهُ

مَنْ يَكْشِفْ النَّاسَ لَا يَجِدْ أَحَدًا … تَصِحُّ مِنْهُمْ لَهُ سَرَائِرُهُ

أَوْشَكَ أَنْ لَا يَدُومَ وَصْلُ أَخٍ … فِي كُلِّ زَلَّاتِهِ تُنَافِرُهُ

Sifat kedua: Orang itu agamis dan bertakwa, sebab ini adalah pilar dari segala kebaikan dan pintu bagi semua keberhasilan. Barang siapa yang tunduk kepada agama, maka dia menjadi orang yang mampu menjaga rahasia dan mendapat taufik dalam tekadnya.

Sifat ketiga: Orang itu tulus dan penyayang, karena ketulusan dan rasa kasih sayang akan menjadikannya tulus dalam berpikir dan menyaring pendapat. Ada orang bijak yang berkata, “Janganlah kamu bermusyawarah kecuali kepada orang bijak yang tidak dengki dan orang berakal yang tidak iri.” 

Seorang ahli sastra berkata, “Meminta saran dari orang yang bijak dan penuh kasih adalah keberuntungan, sedangkan meminta saran dari orang yang tidak bijak adalah mara bahaya.”

Seorang penyair berkata:

أَصْف ضَمِيرًا لِمَنْ تُعَاشِرُهُ … وَاسْكُنْ إلَى نَاصِحٍ تُشَاوِرُهُ
وَارْضَ مِنْ الْمَرْءِ فِي مَوَدَّتِهِ … بِمَا يُؤَدِّي إلَيْك ظَاهِرُهُ
مَنْ يَكْشِفْ النَّاسَ لَا يَجِدْ أَحَدًا … تَصِحُّ مِنْهُمْ لَهُ سَرَائِرُهُ
أَوْشَكَ أَنْ لَا يَدُومَ وَصْلُ أَخٍ … فِي كُلِّ زَلَّاتِهِ تُنَافِرُهُ

Jernihkanlah jiwamu bagi orang yang berinteraksi denganmu …

Dan mendekatlah kepada orang yang tulus untuk bermusyawarah dengannya.

Tuluslah dalam mencintai seseorang …

Atas perilaku yang dia tampakkan kepadamu.

Barang siapa yang mengungkap aib orang-orang, tidak akan menemui seorang pun …

Dari mereka yang tulus batinnya untuk dirinya.

Hampir tidak akan langgeng hubungan persaudaraan …

Jika kamu selalu mempermasalahkan setiap kesalahannya.

وَالْخَصْلَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ سَلِيمَ الْفِكْرِ مِنْ هَمٍّ قَاطِعٍ، وَغَمٍّ شَاغِلٍ، فَإِنَّ مَنْ عَارَضَتْ فِكْرَهُ شَوَائِبُ الْهُمُومِ لَا يَسْلَمُ لَهُ رَأْيٌ وَلَا يَسْتَقِيمُ لَهُ خَاطِرٌ. وَقَدْ قِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: كُلُّ شَيْءٍ يَحْتَاجُ إلَى الْعَقْلِ وَالْعَقْلُ يَحْتَاجُ إلَى التَّجَارِبِ. وَكَانَ كِسْرَى إذَا دَهَمَهُ أَمْرٌ بَعَثَ إلَى مَرَازِبَتِهِ فَاسْتَشَارَهُمْ فَإِنْ قَصَّرُوا فِي الرَّأْيِ ضَرَبَ قَهَارِمَتِهِ وَقَالَ: أَبْطَأْتُمْ بِأَرْزَاقِهِمْ فَأَخْطَئُوا فِي آرَائِهِمْ. وَقَالَ صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الْقُدُّوسِ:

وَلَا مُشِيرَ كَذِي نُصْحٍ وَمَقْدِرَةٍ … فِي مُشْكِلِ الْأَمْرِ فَاخْتَرْ ذَاكَ مُنْتَصِحًا

وَالْخَصْلَةُ الْخَامِسَةُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ فِي الْأَمْرِ الْمُسْتَشَارِ غَرَضٌ يُتَابِعُهُ، وَلَا هَوًى يُسَاعِدُهُ، فَإِنَّ الْأَغْرَاضَ جَاذِبَةٌ وَالْهَوَى صَادٌّ، وَالرَّأْيُ إذَا عَارَضَهُ الْهَوَى وَجَاذَبَتْهُ الْأَغْرَاضُ فَسَدَ. وَقَدْ قَالَ الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي لَهَبٍ:

وَقَدْ يَحْكُمُ الْأَيَّامَ مَنْ كَانَ جَاهِلًا … وَيُرْدِي الْهَوَى ذَا الرَّأْيِ وَهُوَ لَبِيبُ

وَيُحْمَدُ فِي الْأَمْرِ الْفَتَى وَهُوَ مُخْطِئٌ … وَيُعْذَلُ فِي الْإِحْسَانِ وَهُوَ مُصِيبُ

Sifat keempat: Orang itu pikirannya bebas dari kesedihan mendalam dan kegalauan yang menyibukkan, karena barang siapa yang pikirannya terpapar oleh berbagai kegalauan, maka pendapatnya tidak akan lurus dan pikirannya tidak akan jernih. 

Ada ungkapan dalam suatu hikmah, “Segala sesuatu membutuhkan akal, sedangkan akal membutuhkan pengalaman.” 

Dulu ketika raja Persia tertimpa suatu perkara, dia segera mengutus utusan kepada para menterinya untuk meminta pendapat dari mereka. Lalu apabila mereka lemah dalam memberi pendapat, dia memukul para wakilnya seraya berkata, “Kalian lambat dalam membayar gaji mereka, sehingga mereka salah dalam memberi pendapat.”

Shalih bin Abdul Quddus berkata:

وَلَا مُشِيرَ كَذِي نُصْحٍ وَمَقْدِرَةٍ … فِي مُشْكِلِ الْأَمْرِ فَاخْتَرْ ذَاكَ مُنْتَصِحًا

Tidak ada pemberi saran yang lebih baik daripada orang yang punya ketulusan dan kemampuan …

Dalam masalah-masalah suatu perkara (pengalaman), maka pilihlah orang itu sebagai pemberi saran.

Sifat kelima: Orang yang diajak musyawarah ini tidak memiliki kepentingan dan keinginan tertentu di balik urusan yang dimusyawarahkan, karena kepentingan-kepentingan itu akan menggiring pendapatnya dan keinginan-keinginan itu akan menjadi penghalang. Apabila pendapat terpapar oleh keinginan dan digiring oleh kepentingan, pasti pendapat itu akan rusak. Fadhl bin Abbas bin Utbah bin Abi Lahab berkata:

وَقَدْ يَحْكُمُ الْأَيَّامَ مَنْ كَانَ جَاهِلًا … وَيُرْدِي الْهَوَى ذَا الرَّأْيِ وَهُوَ لَبِيبُ
وَيُحْمَدُ فِي الْأَمْرِ الْفَتَى وَهُوَ مُخْطِئٌ … وَيُعْذَلُ فِي الْإِحْسَانِ وَهُوَ مُصِيبُ

Terkadang pada suatu masa akan diatur oleh orang yang jahil …

Dan hawa nafsu membinasakan orang berakal, padahal dia cerdas.

Serta seseorang dipuji dalam suatu urusan, padahal dia bersalah …

Tapi orang yang baik dicela, padahal dia berlaku benar.

فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ هَذِهِ الْخِصَالُ الْخَمْسُ فِي رَجُلٍ كَانَ أَهْلًا لِلْمَشُورَةِ وَمَعْدِنًا لِلرَّأْيِ، فَلَا تَعْدِلْ عَنْ اسْتِشَارَتِهِ اعْتِمَادًا عَلَى مَا تَتَوَهَّمُهُ مِنْ فَضْلِ رَأْيِك، وَثِقَةً بِمَا تَسْتَشْعِرُهُ مِنْ صِحَّةِ رَوِيَّتِك، فَإِنَّ رَأْيَ غَيْرِ ذِي الْحَاجَةِ أَسْلَمُ، وَهُوَ مِنْ الصَّوَابِ أَقْرَبُ، لِخُلُوصِ الْفِكْرِ وَخُلُوِّ الْخَاطِرِ مَعَ عَدَمِ الْهَوَى وَارْتِفَاعِ الشَّهْوَةِ وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الِاسْتِشَارَةُ عَيْنُ الْهِدَايَةِ وَقَدْ خَاطَرَ مَنْ اسْتَغْنَى بِرَأْيِهِ. وَقَالَ لُقْمَانُ الْحَكِيمُ لِابْنِهِ: شَاوِرْ مَنْ جَرَّبَ الْأُمُورَ فَإِنَّهُ يُعْطِيك مِنْ رَأْيِهِ مَا قَامَ عَلَيْهِ بِالْغَلَاءِ وَأَنْتَ تَأْخُذُهُ مَجَّانًا.

وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: نِصْفُ رَأْيِك مَعَ أَخِيك فَشَاوِرْهُ لِيَكْمُلَ لَك الرَّأْيُ. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَنْ اسْتَغْنَى بِرَأْيِهِ ضَلَّ، وَمَنْ اكْتَفَى بِعَقْلِهِ زَلَّ. وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: الْخَطَأُ مَعَ الِاسْتِرْشَادِ أَحْمَدُ مِنْ الصَّوَابِ مَعَ الِاسْتِبْدَادِ.

Apabila lima sifat ini terdapat pada diri seseorang, maka dia adalah orang yang layak untuk diajak bermusyawarah dan menjadi tempat meminta pendapat. Oleh sebab itu, janganlah kamu berpaling dari meminta saran kepadanya, hanya karena sudah bersandar pada pendapatmu sendiri yang kamu anggap benar dan keyakinanmu pada kebenaran rencanamu yang kamu rasakan. Sebab, pendapat orang yang tidak memiliki kepentingan akan lebih selamat dari kesalahan, dan lebih dekat kepada kebenaran, serta lebih jernih dalam pemikiran dan lebih bijak dalam menentukan, tanpa terseret oleh hawa nafsu dan kecenderungan syahwat.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bermusyawarah adalah inti petunjuk. Dan sungguh telah berspekulasi, orang yang mencukupkan diri dengan pendapat diri sendiri.”

Lukman al-Hakim pernah berkata kepada anaknya, “Bermusyawarahlah dengan orang yang telah berpengalaman, karena dia akan memberimu pendapat yang dia dapatkan dengan membayar mahal (melalui pengalamannya), sedangkan kamu bisa mendapatkannya dengan percuma.”

Ada orang bijak yang berkata, “Separuh pendapatmu ada pada saudaramu, maka mintalah pendapat darinya agar pendapatmu menjadi utuh sempurna.” 

Seorang ahli bahasa berkata, “Barang siapa yang mencukupkan diri dengan pendapatnya, niscaya dia akan tersesat; dan barang siapa mencukupkan diri dengan akalnya, niscaya dia akan tergelincir.” 

Seorang ahli sastra berkata, “Kesalahan yang timbul dari pendapat hasil musyawarah lebih terpuji daripada kebenaran yang didapatkan dari pendapat yang sewenang-wenang.”

Tidak ada komentar