Konsep Rezeki Yang Di Atur Syariat

Konsep Rezeki Yang Di Atur Syariat 

Meskipun sudah ditakdirkan, untuk memperoleh rezeki tetap ada hukum sebab-akibat atau sunnatullah yang berlaku. Artinya, untuk mendapatkan rezeki tersebut tetap dibutuhkan usaha atau menempuh sarana-sarana yang halal. Tidak ada bedanya antara rezeki dengan ajal. Ajal kita sudah ditentukan, tidak bisa menunda dan tidak bisa pula mempercepatnya.

Sebagaimana Firman Allah Ta’ala,

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. Al-A’raf: 34)

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 11)

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)

Meskipun kita sudah tahu bahwa ajal kita sudah ditentukan, namun kita tetap berusaha menjaga kesehatan, baik dengan mengkonsumi makanan bergizi, menghindari makanan yang berbahaya, atau berolahraga secara teratur. Demikian pula kalau sakit, kita tetap berobat. Meskipun demikian, kalau sudah waktunya meninggal, mau berusaha sekuat apapun, kita tetap meninggal dunia. Akan tetapi, kita tidak tahu kapan kita meninggal, sehingga kita terus berusaha menjaga kesehatan.

Ini mirip dengan rezeki. Kita tidak tahu berapa jatah yang akan Allah Ta’ala berikan kepada kita. Tapi kita berusaha mencari rezeki, ada sebab-sebab yang Allah anjurkan agar kita mendapatkan rezeki. Sehingga meskipun rezeki kita sudah ditakdirkan, hal itu tidak menihilkan usaha. Berulang-ulang disampaikan bahwa tawakal yang benar adalah yang menggabungkan dua perkara:

Pertama, menggantungkan atau menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala, Yang Maha memberikan rezeki.

Kedua, menempuh usaha atau ikhtiar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kalian, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau bersikap malas (untuk mengejar perkara yang bermanfaat tersebut).” (HR. Muslim no. 2664)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

“Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung-burung (diberi rezeki). Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344, 2447, Ibnu Majah no 4216, dan lain-lain. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Burung tidak memiliki akal, tapi dia memiliki naluri untuk bekerja mencari makan. Dia menjalankan sebab, urusan rezeki Allah yang menentukan.

Namun yang perlu diingat, dalam mencari rezeki itu seringkali usaha tidak sesuai dengan hasil. Karena sekali lagi, yang menentukan rezeki adalah Allah. Agar kita yakin bahwa Pemberi rezeki adalah Allah. Ada orang yang bekerja keras mati-matian, namun rezekinya sedikit. Di kutub yang lain, ada orang yang santai dalam bekerja, namun rezekinya banyak karena kemudahan dari Allah. Bahkan ada orang yang tidak berusaha apa-apa, namun dia menjadi kaya raya karena mendapatkan warisan dari orang tua. Semua ini agar kita meyakini bahwa Pemberi rezeki adalah Allah Ta’ala, kita tidak sombong dengan kemampuan dan kecerdasan yang kita miliki.

Konsep ketiga: Rezeki tidak hanya terbatas pada harta benda

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ اتَّقَواْ فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 221)

Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

فالرزق الدنيوي يحصل للمؤمن والكافر، وأما رزق القلوب من العلم والإيمان، ومحبة الله وخشيته ورجائه، ونحو ذلك، فلا يعطيها إلا من يحب.

“Adapun rezeki duniawi, maka didapatkan oleh orang mukmin dan orang kafir. Adapun rezeki bagi hati, berupa ilmu dan iman, cinta kepada Allah, takut dan berharap kepada-Nya, dan semacam itu, maka tidak Allah berikan kecuali kepada orang-orang yang Dia cintai.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 95)

Jadi, rezeki tidak hanya terbatas pada urusan dunia saja. Ada rezeki untuk hati, misalnya kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

“Dan tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada (diberikan) kesabaran.” (HR. Bukhari no. 1376)

Begitu pula, rezeki dunia itu tidak hanya terbatas pada harta saja. Misalnya, istri salehah. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim no. 1467)

Siapa saja yang mendapatkan istri salehah, maka itu lebih baik daripada mendapatkan rumah mewah. Begitu juga rezeki berupa kesehatan. Kesehatan adalah nikmat yang sangat agung dari Allah Ta’ala di antara sekian banyak nikmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن أَصبَحَ آمِناً فِي سِربِهِ مُعافَىً فِي جَسَدِه عِندَّهُ طَعامُ يَومِه فَكأنَّما حِيزَتْ لَهُ الدُّنيَا

“Barangsiapa yang berada di waktu pagi dalam keadaan aman tenteram, badannya sehat, memiliki persediaan makanan yang cukup, maka seolah-olah dikumpulkan seluruh dunia untuknya.” (HR. Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 300. Dinilai shahih oleh Syekh Albani dalam Shahih Adabul Mufrod no. 230. Lihat Syarh Shahih Adabul Mufrod, 1: 390.)

Negeri yang aman juga merupakan rezeki yang patut disyukuri. Alhamdulillah. Kita lihat sebagian negara tidak dalam kondisi aman. Ada peperangan, perang saudara, pemberontakan, kartel narkoba, dan sebagainya. Belum lagi rezeki yang berkaitan dengan keimanan. Kita bisa salat, pergi ke masjid dengan tenang, baca Al-Quran, yang merupakan bekal kita di akhirat. Semua ini adalah rezeki luar biasa yang kadang tidak kita sadari.

Konsep keempat: Jatah rezeki tidak akan berubah, apakah diperoleh dengan cara yang halal ataukah yang haram

Ada orang yang mendapatkan rezeki dengan cara yang haram, misalnya mencuri atau memakan harta riba. Seandainya dia tinggalkan jalan yang haram tersebut, niscaya dia juga akan mendapatkan rezeki dengan jumlah (nominal) yang sama dengan cara yang halal. Tinggal dipilih, mau dengan cara yang halal atau yang haram. Hanya bedanya, jika mencari rezeki dengan cara yang halal, akan mendapatkan pahala. Sedangkan jika dengan cara yang haram, akan mendapatkan dosa.

Oleh karena itu, dalam hadis yang telah kami sebutkan di serial sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan sampai dia menghabiskan semua jatah rezekinya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mencari rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah, 8: 129 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 166, hadis sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah menghabiskan (menyempurnakan) seluruh jatah rezekinya, walaupun datangnya terlambat. Bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kembali ke bagian 1: Konsep Rezeki yang Diatur dalam Syariat (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: Konsep Rezeki yang Diatur dalam Syariat (Bag. 3)

***

Tidak ada komentar