Berbaik Sangka Kepada Allah
Berbaik Sangka Kepada Allah
Berbaik sangka kepada Allah adalah salah satu tanda keimanan yang kuat. Namun, tidak sedikit orang yang salah memahami hakikatnya, menganggap berbaik sangka sekadar harapan kosong tanpa usaha. Padahal, persangkaan baik kepada Allah adalah dorongan untuk terus memperbaiki diri dan amal.
Sebagian ulama bersandar pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman,ِ
ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ
“Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih)
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan,
وَلَا رَيْبَ أَنَّ حُسْنَ الظَّنِّ إِنَّمَا يَكُونُ مَعَ الْإِحْسَانِ، فَإِنَّ الْمُحْسِنَ حَسَنُ الظَّنِّ بِرَبِّهِ أَنْ يُجَازِيَهُ عَلَى إِحْسَانِهِ وَلَا يُخْلِفَ وَعْدَهُ، وَيَقْبَلَ تَوْبَتَهُ.
“Tidak diragukan bahwa berbaik sangka hanya terjadi bersama kebaikan. Sesungguhnya orang yang berbuat baik memiliki anggapan baik terhadap Rabbnya bahwa Dia akan membalas kebaikannya dan tidak akan mengingkari janji-Nya, serta akan menerima taubatnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 37)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَأَمَّا الْمُسِيءُ الْمُصِرُّ عَلَى الْكَبَائِرِ وَالظُّلْمِ وَالْمُخَالَفَاتِ فَإِنَّ وَحْشَةَ الْمَعَاصِي وَالظُّلْمِ وَالْحَرَامِ تَمْنَعُهُ مِنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِرَبِّهِ، وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الشَّاهِدِ، فَإِنَّ الْعَبْدَ الْآبِقَ الْخَارِجَ عَنْ طَاعَةِ سَيِّدِهِ لَا يُحْسِنُ الظَّنَّ بِهِ، وَلَا يُجَامِعُ وَحْشَةَ الْإِسَاءَةِ إِحْسَانُ الظَّنِّ أَبَدًا، فَإِنَّ الْمُسِيءَ مُسْتَوْحِشٌ بِقَدْرِ إِسَاءَتِهِ، وَأَحْسَنُ النَّاسِ ظَنًّا بِرَبِّهِ أَطْوَعُهُمْ لَهُ.
“Adapun orang yang berbuat jahat dan tetap pada dosa-dosa besar, kezaliman, dan pelanggaran, maka kesunyian dari dosa-dosa, kezaliman, dan hal-hal haram menghalanginya dari berbaik sangka kepada Rabbnya. Ini terdapat pada kenyataannya, karena seorang hamba yang melarikan diri dari ketaatan kepada tuannya tidak akan memiliki anggapan baik terhadapnya, dan tidak mungkin bersamaan antara kesunyian dari perbuatan jahat dengan berbaik sangka. Sesungguhnya orang yang berbuat jahat merasa kesepian sesuai dengan kadar kejahatannya, dan sebaik-baik manusia yang memiliki anggapan baik terhadap Rabbnya adalah yang paling taat kepada-Nya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 37)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ أَحْسَنَ الظَّنَّ بِرَبِّهِ فَأَحْسَنَ الْعَمَلَ وَإِنَّ الْفَاجِرَ أَسَاءَ الظَّنَّ بِرَبِّهِ فَأَسَاءَ الْعَمَلَ.
“Sesungguhnya orang Mukmin berbaik sangka kepada Rabbnya, sehingga ia melakukan amal yang baik. Sebaliknya, orang yang durhaka bersikap buruk sangka kepada Rabbnya, sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 38)
Namun, untuk memahami lebih jauh, kita harus mempertanyakan: bagaimana mungkin seseorang dapat berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia justru menjauh dari-Nya? Dia berpindah dari satu dosa ke dosa lainnya, meremehkan larangan dan perintah-Nya, serta mengabaikan hak-hak-Nya. Dari sinilah kita menyadari bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak sekadar ucapan, tetapi menuntut keyakinan yang mendorong kepada amal. Bila seseorang benar-benar memahami hal ini, ia akan mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah berarti yakin akan balasan dan rahmat-Nya, yang mendorongnya untuk terus beramal baik. Semakin kuat persangkaan baiknya, semakin baik pula amal perbuatannya. Persangkaan baik yang disertai hawa nafsu hanyalah kelemahan belaka.
Selanjutnya, penting untuk memahami bahwa persangkaan baik hanya bermanfaat bagi mereka yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosa. Mereka adalah orang-orang yang menggantikan keburukan dengan kebaikan serta memanfaatkan sisa umur mereka dengan taat kepada Allah. Oleh karena itu, hanya dengan usaha ini seseorang dapat benar-benar berbaik sangka kepada-Nya. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa berbaik sangka kepada Allah dan merasa aman dari murka-Nya adalah dua hal yang sangat berbeda.
Lebih lanjut, Allah Ta’ala berfirman,
ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan-Nya sebagai orang-orang yang layak mengharapkan rahmat-Nya, bukan mereka yang malas beramal atau melakukan kefasikan. Ini menunjukkan bahwa pengharapan akan rahmat Allah harus disertai dengan usaha nyata dalam menjalankan perintah-Nya.
Sebagai tambahan, Allah Ta’ala juga berfirman,
ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110)
Dari ayat ini, kita memahami bahwa Allah mengampuni dan menyayangi orang-orang yang berusaha keras dengan hijrah, berjihad, dan sabar. Inilah yang menjadi bukti bahwa rahmat dan ampunan Allah datang setelah adanya usaha yang sungguh-sungguh. Maka, dapat kita simpulkan bahwa orang yang berilmu akan menempatkan raja’ (harapan) pada tempat yang tepat, sementara orang yang bodoh dan tertipu justru tidak mampu meletakkannya dengan benar.
Kesimpulan
Berbaik sangka kepada Allah bukanlah alasan untuk bermalas-malasan, tetapi dorongan untuk memperbaiki amal. Hanya dengan amalan dan taubat yang tulus, kita layak merasakan harapan dan rahmat-Nya.
Referensi:
- Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.
Post a Comment