Kehidupan Yang Sesungguhnya

Kehidupan Yang Sesungguhnya 

Kehidupan manusia secara garis besar terbagi menjadi tiga fase: fase ketika ia belum berbentuk suatu apa pun, fase yang dimulai ketika ia dilahirkan, dan fase setelah kematiannya.

Adapun fase pertama adalah apa yang disebutkan Allah di dalam firmanNya,

هَلْ أَتَىٰ عَلَى ٱلْإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan: 1)

Fase kedua adalah hari-harinya selama hidup di dunia.

Dan fase terakhir adalah fase ketika roh dicabut dari jasadnya. Kehidupan di alam barzah pun dimulai, tidak dapat diketahui seberapa lama. Hingga tegak hari kiamat, dan dibalas semua amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Keadaannya pun berakhir di antara dua kondisi: menetap di surga yang penuh dengan kenikmatan atau neraka yang penuh dengan azab yang mengerikan.

Perbandingan Kehidupan Dunia dan Akhirat

Seandainya setiap insan mau merenungi, mereka pasti akan tersadar betapa fase setelah kematian adalah fase terpanjang dalam kehidupan, bahkan fase ini bersifat abadi selamanya.

Tidak sebanding dengan kadar waktu yang ia habiskan selama hidup di dunia.

Allah ta’ala befirman,

إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 39)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

Tidaklah (perumpamaan) dunia jika dibandingkan akhirat kecuali seperti salah seorang di antara kalian yang meletakkan jarinya ke lautan, kemudian lihatlah apa yang dibawa jarinya itu.” (HR. Muslim 18/93)

Dalam hadits yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad, I/391, 441)

Kehidupan di dunia pun penuh dengan cobaan dan ujian. Sebab itu ia dikatakan dengan Daarul Balaa’ (tempat ujian). Allah ta’ala berfiman,

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)

Terkadang kenyamanan dan kenikmatan menghampiri, namun tidaklah dunia itu memenuhi suatu rumah dengan kebahagiaan kecuali ia akan memenuhinya dengan pelajaran atau ‘ibrah. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Setiap kegembiraan di baliknya pasti ada kesusahan. Tidak ada satu rumah yang penuh dengan rasa gembira kecuali setelah itu penuh dengan kedukaaan dan derai air mata.”

Kebahagiaan di dunia ini ibarat mimpinya orang yang tidur, atau seperti naungan yang akan menghilang. Ia membuat kita tertawa sesaat dan banyak menangis kemudian. Jika membuat gembira satu hari, maka sedihnya satu tahun. Dan jika membuat senang sesaat, ia akan mencegah kesenangan pada waktu yang lama.

Oleh karenanya orang-orang beriman ketika mereka telah memasuki surga dan merasakan kenikmatannya, mereka berkata,

وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَذْهَبَ عَنَّا ٱلْحَزَنَ ۖ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 34)

Ini mencakup segala bentuk rasa duka. Maka mereka sama sekali tidak merasakan rasa sedih (duka) yang disebabkan kekurangan pada keindahan mereka atau pada makanan dan minuman mereka, tidak pula pada kelezatan, pada tubuh atau pada keabadian mereka tinggal. Jadi, mereka selalu berada di dalam kenikmatan yang mereka rasakan selalu bertambah. Ia selalu bertambah terus selama-lamanya. (Tafsir As-Sa’di)

Surga sebagai tempat kembalinya orang-orang beriman dikatakan sebagai Daarus-Salaam (negeri keselamatan). Allah ta’ala berfirman,

لَهُمْ دَارُ ٱلسَّلَٰمِ عِندَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal salih yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 127)

Surga dinamakan Darussalam karena keselamatannya dari segala kekurangan, cacat, kerusuhan, kesedihan, kecemasan, dan pengganggu-pengganggu lainnya. Hal itu secara otomatis menunjukkan bahwa nikmatnya benar-benar sempurna dan benar-benar lengkap di mana orang yang ingin menjelaskannya tidak mampu untuk menjelaskannya. Para pengkhayal tidak akan berkhayal melebihi hakikatnya, berupa nikmat rohani, hati, dan badan. Mereka mendapatkan sesuatu yang diinginkan oleh jiwa dan dinikmati oleh mata, dan mereka kekal di dalamnya. (Tafsir As-Sa’di)

Dinyatakan dalam hadits qudsi yang shahih, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّا لحِينَ مَ لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرِ

Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih kenikmatan (tinggi di surga) yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia.” (HR. Bukhari, no. 3072 dan Muslim, no. 2824)

Di dalam hadits yang shahih juga tentang gambaran tingginya kenikmatan surga, Malaikat Jibril ‘alaihissallam yang melihatnya, berkata kepada Allah ‘azza wa jalla,

أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ لاَيَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلاَّ دَخَلَهَا

Demi kemahamuliaan-Mu, tidaklah seorang pun yang mendengar tentang (tingginya kenikmatan) surga kecuali ia ingin masuk ke dalamnya.” (HR. Abu Dawud, no. 4744)

Alangkah tingginya kenikmatan di surga, dan alangkah tidak berartinya kehidupan di dunia ini jika dibandingkan dengannya! Patut untuk disadari juga bahwa kita hidup di dunia bukan untuk bermain dan bersenda gurau semata. Melainkan untuk memikul tugas yang mulia; beribadah kepada Allah, Rabb Pemilik Semesta Alam. Meraih cinta dan ridhaNya. Allah menguji kita untuk melihat siapakah dari kita yang terbaik amalnya. Yaitu yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunnah RasulNya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu jadilah orang yang cerdas! Tidak mudah tertipu dengan sesuatu yang sifatnya sementara.

Putuskan segala angan-angan, dan sibuklah beramal untuk kehidupan yang sesungguhnya. Hingga kita meraih kenikmatan yang abadi selamanya, surga yang telah dijanjikanNya bagi hamba-hambanya yang beriman dan beramal salih.

Semoga Allah menjadikan hati-hati kita selalu tertambat padaNya dan negri akhirat yang kekal abadi.

Referensi:

  • Terapi Penyakit Wahn, Abu Ihsan Al Atsari dan Ummu Ihsan, Pustaka Imam Syafi’i Jakarta
  • Tafsir As Sa’di
  • Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, “Hiduplah Di Dunia Ini Seakan-akan Orang Asing Atau Musafir.
  • Ustadz Abdullah Taslim, “Buah-Buahan Di Surga Gambaran Kenikmatan Yang Tiada Tara”.
  • Kajian Sembuh Melalui Doa, Ustadz Aris Munandar.

Tidak ada komentar