Semua dari Laut: Kembalilah ke Laut

Semua dari Laut: Kembalilah ke Laut

(Tafsir Tasawuf, Akhlak, dan Tauhid Kehidupan)


Muqaddimah

الحمد لله الذي خلق القلوب ولا يطمئنها إلا بذكره،
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menciptakan hati, namun tidak menjadikan ketenangan berada pada makhluk, harta, atau dunia, melainkan hanya pada-Nya semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, manusia paling sempurna yang hatinya selalu bersama Allah meski jasadnya berada di tengah manusia.

Hadirin rahimakumullāh,
Maulana Rumi dalam Fīhī Mā Fīhī mengingatkan kita: seluruh kegelisahan manusia bersumber dari satu kesalahan besar—mencari ketenangan di selain Allah.


1. Hati Manusia Tidak Akan Tenang Kecuali dengan Kekasih Sejati

Rumi berkata:

“Di dalam diri manusia terdapat cinta, luka, gatal, dan hasrat. Sekalipun ia memiliki ratusan ribu dunia, ia tidak akan tenang.”

Ini sejalan dengan firman Allah SWT:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Artinya:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra‘d: 28)

Ulasan Ulama

Imam Al-Ghazali رحمه الله berkata:

“Hati diciptakan untuk mengenal Allah. Bila ia sibuk dengan selain-Nya, maka ia gelisah.”
(Ihya’ ‘Ulumuddin)

Rumi menyebut kekasih sejati sebagai “dil-ārām”—yang menenteramkan hati. Maka siapa pun yang mencari ketenangan pada harta, jabatan, atau manusia, hakikatnya sedang minum air laut: semakin diminum, semakin haus.


2. Semua dari Laut: Hakikat Kepemilikan Dunia

Rumi memberikan perumpamaan laut dan kendi.
Harta di tangan kita ibarat air laut yang ditimba ke dalam kendi.

Selama di kendi, ia “milik kita”, tetapi hakikatnya tetap milik laut.

Allah SWT berfirman:

وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ

Artinya:
“Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.”
(QS. An-Nur: 33)

Ulasan Ulama

Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari رحمه الله:

“Engkau tidak memiliki apa pun. Engkau hanya dititipi.”
(Al-Hikam)

👉 Ketika harta kembali kepada Allah, melalui siapa pun, maka gugurlah klaim kepemilikan.


3. Kebersamaan Adalah Rahmat, Bukan Pengasingan

Rumi berkata:

“Tidak ada kependetaan dalam Islam. Kebersamaan adalah rahmat.”

Rasulullah ﷺ bersabda:

يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ

Artinya:
“Tangan (pertolongan) Allah bersama الجماعة (kebersamaan).”
(HR. Tirmidzi)

Penjelasan Ulama

Imam An-Nawawi رحمه الله:

“Hadis ini dalil bahwa rahmat dan hidayah lebih dekat pada jamaah daripada individualisme.”

Itulah sebabnya:

  • Masjid dibangun untuk jamaah
  • Haji diwajibkan untuk pertemuan global umat
  • Islam bukan agama menyendiri, tetapi agama memanusiakan manusia

4. Kekuasaan, Kemenangan, dan Kehancuran Bangsa

Rumi menjelaskan tentang kaum Mongol:

“Ketika mereka lemah, Allah bersama mereka. Ketika mereka sombong, Allah menghancurkan mereka dengan makhluk paling lemah.”

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”
(QS. Luqman: 18)

Ulasan Ibnu Katsir

“Kesombongan adalah awal kehancuran, baik individu maupun bangsa.”


5. Iman Hakiki Pasti Mengubah Perilaku

Rumi berkata:

“Jika es mengaku pernah melihat matahari musim panas tapi tetap es, maka ia berdusta.”

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

Artinya:
“Sesungguhnya orang beriman adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetarlah hatinya.”
(QS. Al-Anfal: 2)

Makna Tasawuf

Iman sejati mencairkan dosa, sebagaimana matahari mencairkan es.


6. Setiap Luka dan Nikmat Ada Hubungannya dengan Amal

Rumi menukil kisah Nabi ﷺ yang terluka karena luka Abbas.

Allah SWT berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Artinya:
“Apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu karena perbuatan tangan kalian sendiri.”
(QS. Asy-Syura: 30)

Ulasan Imam Al-Ghazali

“Musibah adalah surat cinta dari Allah, agar hamba kembali.”


7. Keterlibatan Sosial Tidak Mengurangi Kedekatan dengan Allah

Rumi mengisahkan dialog Nabi ﷺ dengan Allah.

Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Artinya:
“Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)

👉 Tasawuf sejati bukan lari dari manusia, tetapi hadir bersama manusia dengan hati bersama Allah.


8. Hukum Balasan Tidak Pernah Berubah

Allah SWT berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Artinya:
“Barang siapa berbuat kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa berbuat kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.”
(QS. Az-Zalzalah: 7–8)

Ulasan Ulama

Imam Fakhruddin Ar-Razi:

“Hukum balasan bersifat mutlak, tetapi kadarnya dapat diperluas oleh rahmat Allah.”


9. Penyebab Kedua Adalah Hijab

Rumi menegaskan:
Sebab-sebab dunia hanyalah tirai, bukan pelaku sejati.

Allah SWT berfirman:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

Artinya:
“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”
(QS. Az-Zumar: 62)

Mukjizat para nabi adalah bukti bahwa Allah tidak terikat sebab.


10. Rahasia Iman dan Larangan Menyebarkannya Sembarangan

Rumi menasihati:

“Jangan berikan hikmah kepada yang tidak layak.”

Rasulullah ﷺ bersabda:

خَاطِبُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ

Artinya:
“Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar akal mereka.”
(HR. Muslim – makna sahih)


Penutup

Hadirin rahimakumullāh,
Kita berasal dari Laut Ketuhanan, dan kegelisahan kita muncul karena lupa jalan pulang.

Sebagaimana kata Rumi:
“Semua dari laut, maka kembalilah ke laut.”

Semoga Allah mengembalikan hati kita kepada-Nya, menjadikan dunia di tangan kita, bukan di hati kita, dan menjadikan kita hamba yang tenang dalam kebersamaan-Nya.

آمِيْن يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن



Tidak ada komentar