Bahaya Riya Dan Cara Pengobatannya
Bahaya Riya Dan Cara Pengobatannya
Para pembaca yang mulia…, Riya’, suatu penyakit hati yang tidak asing lagi
kita dengar. Bahaya riya’ selalu menyerang kepada seseorang yang melakukan
ibadah atau aktifitas tertentu.
Penyakit
ini termasuk jenis penyakit yang sangat berbahaya karena bersifat lembut
(samar-samar) tapi berdampak luar biasa. Bersifat lembut karena masuk dalam
hati secara halus sehingga kebanyakan orang tak merasa kalau telah terserang
penyakit ini. Dan berdampak luar biasa, karena bila suatu amalan dijangkiti
penyakit riya’ maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu
wata’ala dan pelakunya mendapat ancaman keras dari Allah subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sangat khawatir bila penyakit
ini menimpa umatnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa
yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil),
maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar?
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat Mahmud bin Labid no. 27742)
Arriya’ (الرياء) berasal dari kata
kerja raâ
( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan
riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu seperti
shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar mendapat perhatian dan
pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu memperdengarkan suatu
amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’ yaitu supaya mendapat
perhatian dan pujian manusia.
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya,
dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia
niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibadah merupakan hak Allah subhanahu wata’ala
yang bersifat mutlak. Bahwa ibadah itu murni untuk Allah subhanahu wata’ala,
tidak boleh dicampuri dengan niatan lain selain untuk-Nya. Sebagaimana
peringatan Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (artinya):
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
BENTUK-BENTUK RIYA’
Bentuk-bentuk riya’ beraneka ragam warnanya dan
coraknya. Bisa berupa perbuatan, perkataan, atau pun penampilan yang diniatkan
sekedar mencari popularitas dan sanjungan orang lain, maka ini semua tergolong
dari bentuk-bentuk perbuatan riya’ yang dilarang dalam agama Islam.
HUKUM RIYA’
Riya’
merupakan dosa besar. Karena riya’ termasuk perbuatan syirik kecil. Sebagaimana
hadits di atas dari shahabat Mahmud bin Labid, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.”
Selain riya’ merupakan syirik kecil, ia pun mendatangkan berbagai macam mara bahaya.
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.”
Selain riya’ merupakan syirik kecil, ia pun mendatangkan berbagai macam mara bahaya.
BAHAYA RIYA’
Penyakit
riya’ merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena memilki dampak negatif
yang luar biasa.
Allah
subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman janganlah
kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan
menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya
karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)
Dalam
konteks ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memberitakan akibat amalan
sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima maka akan
berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’ yaitu amalan itu tiada
berarti karena tertolak di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Ayat
di atas tidak hanya mencela perbuatanya saja (riya’), tentu celaan ini pun
tertuju kepada pelakunya. Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’ala
mengancam bahwa kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat riya’
adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya:
“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)
“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)
Diperkuat
lagi, adanya penafsiran dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, makna Al Wail
adalah ungkapan dari dasyatnya adzab di akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir 1/118)
Sedangkan
dalam hadits yang shahih, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa
ancaman bagi orang yang berbuat riya’ yaitu Allah subhanahu wata’ala akan
meninggalkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari
shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan
mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal
kesyirikannya itu”.
Bila Allah subhanahu wata’ala meninggalkannya
siapa lagi yang dapat menyelamatkan dia baik di dunia dan di akhirat kelak?
Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati dimedan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan
yang ketiga; seseorang yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah
subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena
Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (Lihat HR. Muslim no. 1678)
Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati di
Perlu diketahui,
bahwa riya’ yang dapat membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi
asal (dasar) suatu niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa
disangka dan tidak terus menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.
BAGAIMANA CARA
MENGOBATINYA?
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati
perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan
memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan
sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha
Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun
yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh
manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian.
Ketahuilah,
bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat
kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia
merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa
minta izin /permisi terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia
bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek
akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do’a yang dapat
menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh
Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia takutlah akan
As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata
padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar
daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :”
Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ
إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ
نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه
“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung
kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan
kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”
4. Terus
memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih,
baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah
dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’.
Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila riya’ itu muncul maka segeralah
ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.
Apa
yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan
perjuangan para shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan?
Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu
dan ibadah mereka.
Berusaha
untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali
dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian
dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat
HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb
no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan
puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.
BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN TERMASUK RIYA’
1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun
mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.
Diriwayatkan
oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada seorang shahabat bertanya
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Apa pendapatmu tentang
seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian
manusia memujinya?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Itu
adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin”.
2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan
Islam.
Diriwayatkan
oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk Al Jannah seseorang yang di
dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik) dari kesombongan.” Berkata
seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang menyukai untuk memperindah pakaian dan
sandal yang ia kenakan? Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan,
kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.
3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.
Hal
ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas mimbar bertujuan supaya
para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang pendidik, hendaknya dia
memberikan dan menampakkan suri tauladan atau figur yang baik agar dapat
diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah bagian dari riya’, bahkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي الإِْسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ
مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik
dalam Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan
seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari
kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)
4. Bukan termasuk riya’ pula bila ia semangat beramal
ketika berada ditengah orang-orang yang lagi semangat beramal.
Karena
ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal shalih. Namun hendaknya orang ini
selalu mewaspadai niat dalam hatinya dan berusaha untuk selalu semangat beramal
meskipun tidak ada orang yang mendorongnya.
Semoga risalah ini mendorong kita untuk memperbanyak ibadah dan selalu
waspada dari bahaya perbuatan riya’. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Riya berasal
dari kata ru’yah (penglihatan) sebagaimana sum’ah berasal dari kata sam’u
(pendengaran) dari sekedar makna bahasa ini bisa difahami bahwa riya adalah
ingin diperhatikan atau dilihat orang lain. Dan para ulama mendefiniskan riya
adalah menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan
berbagai kebaikan kepada mereka.
Dari definisi
tersebut jelas bahwa dasar perbuatan riya’ adalah untuk mencari keredhoan,
penghargaan, pujian, kedukan atau posisi di hati manusia semata dalam suatu
amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya.
Sering
keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan perasaan seseorang dikarenakan
begitu halusnya sehingga ada yang mengibaratkan bahwa ia lebih halus daripada
seekor semut hitam diatas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita. Padahal
keberadaan riya dalam suatu amal amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat
menghapuskan pahala dari amal tersebut.
Karena itu, ia
disebut juga dengan syirik yang tersembunyi, sebagaimana hadits Rasulullah saw
yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy berkata,”Rasulullah saw pernah
menemui kami dan kami sedang berbincang tentang al masih dajjal. Maka beliau
saw bersabda,”Maukah kalian aku beritahu tentang apa yang aku takutkan terhadap
kalian daripada al masih dajjal?’ kami menjawab,’Tentu wahai Rasiulullah.’
Beliau saw berkata,’Syrik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan sholat
kemudian membaguskan sholatnya tatkala dilihat oleh orang lain,” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ
Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya,” (QS. Al ma’un : 4 –
6)
Al Qurthubi
mengatakan bahwa makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang
(dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat
dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang
fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar
dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakekat riya’adalah
menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada
asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati manusia. (al jami’ Li
Ahkamil Qur’an juz XX hal 439)
Dari Abu
Hurairoh bahwa telah berkata seorang penduduk Syam yang bernama Natil
kepadanya,”Wahai Syeikh ceritakan kepada kami suatu hadits yang engkau dengar
dari Rasulullah saw.’ Abu Hurairoh menjawab,’Baiklah. Aku telah mendengar
Rasulullah saw bersabda,’Sesungguhnya orang yang pertama kali didatangkan pada
hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid dan dia diberitahukan
berbagai kenikmatannya sehingga ia pun mengetahuinya. Kemudian orang itu
ditanya,’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah
berperang dijalan-Mu sehingga aku mati syahid.’ Dikatakan kepadanya,’Engkau
berbohong, sesungguhnya engkau berperang agar engkau dikatakan seorang
pemberani dan (gelar) itu pun sudah engkau dapatkan.’
Kemudian Allah
memerintahkan agar wajah orang itu diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian
didatangkan lagi seorang pembaca Al Qur’an dan dia diberitahukan berbagai
kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau
lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah mempelajari ilmu dan
mengajarinya dan aku membaca Al Qur’an karena Engkau.’
Maka dikatakan
kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau mempelajari ilmu agar engkau
dikatakan seorang yang alim dan engkau membaca Al Qur’an agar engkau dikatakan
seorang pembaca Al Qur’an dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian
Allah memrintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian
didatangkan lagi seorang yang Allah berikan kepadanya kelapangan (harta) dan
dia menginfakkan seluruh hartanya itu dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan
maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di
dunia?’
Orang itu
menjawab,’Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau sukai untuk
berinfak didalamnya kecuali aku telah menginfakkan didalamnya karena Engkau.’
Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau melakukan hal
itu agar engkau disebut sebagai seorang dermawan dan engkau telah mendapatkan
(gelar) itu. Kemudian orang itu diperintahkan agar wajahnya diseret dan
dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim)
Riya ini bisa muncul
didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan. Imam Ghozali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang
selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan
memperlihatkannya kepada orang lain maka hal ini tidaklah merusak amalnya
karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai dan keikhlasan terhadap
ibadah itu pun sudah selesai dan tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang
terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk
memperlihatkannya atau membicarakannya.
Namun apabila
orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka
hal ini ‘berbahaya’ (Ihya Ulumudin juz III hal 324)
Ibnu Qudamah
mengatakan,”Apabila sifat riya’ itu muncul sebelum selesai suatu ibadah
dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya
sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut
namun apabila sifat riya sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang
memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat
menghapuskan pahala.
Adapun apabila
riya menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan
tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya
tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam
sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya lagi. (A Mukhtashar Minhajil
Qishidin hal 209)
Sungguh suatu
karunia yang besar ketika Allah memberikan kemudahan kepada anda untuk
senantiasa melakukan sholat berjama’ah di musholla di saat orang-orang tengah
asyik dengan tidurnya. Namun demikian anda perlu berhati-hati karena pada
kondisi-kondisi seperti inilah terkadang setan mudah menghembuskan
bisikan-bisikannya agar anda berbuat riya’.
Sedangkan
keinginan anda untuk mengajak masyarakat di sekitar anda agar mengerjakan
sholat shubuh berjama’ah di musholla melalui lisan seorang ustadz adalah
perbuatan yang terpuji dikarenakan sholat shubuh di masjid atau musholla
merupakan perintah yang sangat dianjurkan Allah swt kepada setiap muslim.
Adapun
membicarakan atau menceritakan berbagai aktifitas da’wah yang telah anda
lakukan kepada orang lain maka dalam hal ini anda harus berhati-hati karena
tidak jarang pada kasus seperti ini menjadikan seseorang manambah-nambah cerita
dari yang sebenarnya, berelebih-lebihan atau menikmati setiap pujian yang
diberikan orang lain kepadanya.
Sebelum
menceritakan apa-apa yang telah anda lakukan didalam da’wah kepada orang lain
maka hendaklah anda mampu meraba kekuatan diri anda. Apabila hati anda tetap
bersih, melihat semua manusia adalah kecil dimata anda, memandang sama segala
pujian dan kecaman orang terhadap anda dan anda hanya berharap dengan
menceritakan hal itu kelak orang lain akan mengikutinya atau akan mencintai
kebaikan yang ada didalamnya maka hal ini dibolehkan bahkan dianjurkan selama
jiwa anda bersih dari berbagai penyakitnya karena menjadikan orang mencintai
kebaikan adalah suatu kebaikan.
Seperti yang
diceritakan dari Utsman bin ‘Affan bahwa dia mengatakan,”Aku tidak pernah
menyanyi, tidak berangan-angan dan tidak juga menyentuh kemaluanku dengan
tangan kananku sejak aku membaiat Rasulullah saw.”
Atau seperti
yang dikatakan Abu Bakar bin Abbas kepada putranya,”Wasapadalah engkau dari
maksiat kepada Allah swt didalam ruangan ini. Sesungguhnya aku telah
mengkhatamkan Al Qur’an di ruangan ini sebanyak 12.000 kali.”
Akan tetapi
apabila anda melihat bahwa diri anda lemah, tidak tahan dengan pujian orang
lain, mudah muncul penyakit hati atau akan memunculkan riya didalamnya apabila
menceritakan aktivitas da’wah anda itu maka lebih baik anda menahan diri dari
menceritakannya meskipun anda menginginkan agar orang lain mengikutinya atau
menyukai kebaikan yang ada didalamnya.
Dan kalaupun
anda ingin agar orang lain bisa mengikutinya dan mencintai kebaikan yang ada
didalamnya dengan cara menceritakannya maka ceritakanlah aktivitas tersebut
kepada mereka tanpa menisbahkannya kepada diri anda demi menghindari adanya
riya’ didalamnya.
Adapun beberapa
kiat untuk menghilangkan penyakit riya’, menurut Imam Ghozali adalah :
1. Menghilangkan
sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain, menghindari
pahitnya ejekan dan anusias dengan apa-apa yang ada pada manusia, sebagaimana
hadits Rasulullah saw dari Abu Musa berkata,”Pernah datang seorang laki-laki
kepada Rasulullah saw dan mengatakan,’Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu
tentang orang yang berperang dengan gagah berani, orang yang berperang karena
fantisme dan orang yang berperang karena riya’ maka mana yang termasuk dijalan
Allah? Maka beliau saw
bersabda,’Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah maka dia lah yang
berada dijalan Allah.” (HR. Bukhori)
2. Membiasakan
diri untuk menyembunyikan berbagai ibadah yang dilakukannya hingga hatinya
merasa nyaman dengan pengamatan Allah swt terhadap berbagai ibadahnya itu.
3. Berusaha juga untuk melawan berbagai bisikan setan
untuk berbuat riya pada saat mengerjakan suatu ibadah.
3. DOSA-DOSANYA DIAMPUNI
Rasulullah bersabda, “Allah telah
berkata,’Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian pasti berdosa kecuali yang Aku
jaga. Maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya kalian Aku ampuni. Dan
barangsiapa yang meyakini bahwa Aku punya kemampuan untuk mengamouni
dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya dan Aku tidak peduli (beberapa banyak
dosanya).”(HR.Ibnu Majah, Tirmidzi).
12.MEMBERSIHKAN HATI
Rasulullah bersabda,”Apabila
seorang mukmin melakukan suatu dosa, maka tercoretlah noda hitam di hatinya.
Apabila ia bertaubat, meninggalkannya dan beristighfar, maka bersihlah
hatinya.”(HR.Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Tirmidzi).
14.MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH
Abu Hurairah berkata,”Saya telah
mendengar Rasulullah bersabda,’Demi Allah, Sesungguhnya aku minta ampun kepada
Allah (beristighfar) dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh
puluh kali’.”(HR.Bukhari).
====================================
“Tidak bisa iri
hati, kecuali kepada dua seperti orang: yaitu orang lelaki yang diberi Allah
swt pengetahuan tentang Al-Qur’an dan diamalkannya sepanjang malam dan siang;
dan orang lelaki yang dianugerahi Allah swt harta, kemudian dia menafkahkannya
sepanjang malam dan siang.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
HADIST TENTANG
RIYA DAN NIFAK
Bermanfaat
Bagi Yang Lain. Rabu, 02 Februari 2011
1. Riya menyia-nyiakan amal
sebagaimana syirik menyia-nyiakannya. (HR. Ar-Rabii')
2. Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada ialah orang munafik yang pandai bersilat lidah. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
3. Tidak akan tiba hari kiamat sampai penguasa-penguasa tiap umat ialah orang-orang yang munafik. (HR. Ar-Rabii')
4. Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
5. Seburuk-buruk manusia ialah orang yang mempunyai dua muka, mendatangi kelompok ini dengan wajah yang satu dan mendatangi kelompok lain dengan wajahnya yang lain. (Mutafaq'alaih)
6. Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).
7. Paling banyak orang munafik dari umatku ialah yang pandai bacaannya. (HR. Bukhari)
8. Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli. (HR. Ad-Dailami).
9. Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka. (HR. Ahmad)
2. Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada ialah orang munafik yang pandai bersilat lidah. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
3. Tidak akan tiba hari kiamat sampai penguasa-penguasa tiap umat ialah orang-orang yang munafik. (HR. Ar-Rabii')
4. Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
5. Seburuk-buruk manusia ialah orang yang mempunyai dua muka, mendatangi kelompok ini dengan wajah yang satu dan mendatangi kelompok lain dengan wajahnya yang lain. (Mutafaq'alaih)
6. Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).
7. Paling banyak orang munafik dari umatku ialah yang pandai bacaannya. (HR. Bukhari)
8. Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli. (HR. Ad-Dailami).
9. Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka. (HR. Ahmad)
===================================================
Post a Comment