Pentingnya Menghafal dan Memahami Al Quran
Pentingnya Menghafal dan
Memahami Al Quran
Al Quran
diturunkan kepada Muhammad Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kerasulan
beliau. Al Quran di turunkan secara
berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan malaikat Jibril.
Malaikat Jibril menurunkan Al Quran ke dalam hati Rasulullah dan beliaupun
langsung memahaminya. Hal ini disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah (2) : 97.
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi
musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu
dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi
petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan Al Quran
itu kepada para shahabatnya. Mereka menuliskannya di pelepah daun daun kering,
batu, tulang dll. Pada saat itu belum ada kertas seperti zaman modern sekarang
ini. Kemudian para shahabat langsung menghafalnya dan mengamalkannya. Demkian
Al Qur;an di ajarkan kepada para shahabat-shahabat yang lain. Al Quran difahami
dengan menghafal. Bukan dengan sekedar membaca.
Pada saat Rasulullah telah wafat, banyak
terjadi peperangan. Dalam peperangan Yamamah misalnya , banyak para sahabat
pemghafal Quran yang syahid. Melihat kondisi ini Umarpun meminta Abu bakar
sebagai khalifah untuk membuat Mushaf Al Quran. Abu bakar sempat menolak. „
Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“
ujar beliau. Tapi dengan gigih Umar bin Khattab menjelaskan urgensinya
pembuatan Mushaf bagi kepentingan kaum muslimin di masa yang datang. Akhirnya
Abu Bakarpun dapat diyakinkan dan kemudian setuju dengan ide Umar bin Khattab.
Abu Bakarpun lalu meminta Zaid bin Haritsah
untuk melakukan tugas ini. Zaid bin Haritsah pun sempat berkata : „ Apakah
engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“. Tapi
akhirnya Zaidpun setuju dan mulai mengumpulkan shahifah-sahhifah yang tersebar
di tangan para shahabat yang lain. Batu, daun-daun kering, tulang dll itupun
disimpan di rumah Hafsah.
Barulah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan,
Mushaf Al Quran selesai sebanyak 5 buah. Satu disimpan Utsman dan 4 yang lain
disebar ke : Makkah , Syria , Basrah dan Kufah. Jadi pada
saat itu para shahabat, tabi’it dan thabi’i tabiin mempelajari al Quran dengan
menghafal karena jumlah Mushaf yang sangat sedikit.
Bagaimana dengan
kondisi zaman sekarang? Bila kita perhatikan di sekitar kita, diantara teman-teman
dan keluarga kita, ada berapa persen diantara mereka yang hafal Al Quran ?
Berapa persen yang sedang menghafal Al Quran? Mungkin kita susah memberikan
persentase karena dihitung dengan jari-jari tangan kita belum tentu genap
semuanya.
Kaum muslimin saat ini masih cukup berpuas
diri dengan membaca Mushaf Al Quran dan tidak memahami maknanya. Padahal membaca Al Quran
baru langkah awal interaksi Al Quran. Al Quran sebagai petunjuk bagi kita tidak
cukup dibaca tapi juga dihafal dan difahami.
Mungkin ada sebagian yang berkata mengapa
perlu menghafal ? Tidakkah cukup dengan membaca Mushaf dan membaca tarjemahan ?
Ternyata tidak cukup. Dengan menghafal Al Quran ada „rasa“ (atau zauk) yang
diberikan Allah kepada hati kita. Rasa ini didapat karena ayat-ayat yang dibaca
berulang-ulang. Pengulangan kalam-kalam suci itulah yang menjadi „makanan“ untuk hati. Dan
sesuai dengan ayat di Al Baqarah : 97 diatas, Al Quran itu diturunkan di hati
Nabi Muhammad. Bukan di akal fikiran beliau. Artinya Al Quran itu konsumsi/makanan
hati bukan sekedar fikiran.
Rasa inilah yang menjadikan kita nikmat
mengenal Allah, memahami kehendakNya dan ringan melaksanakan segala perintah
dan menjauhi segala laranganNya. „ Rasa „ ini kurang ada juga sedikit ketika
kita hanya membaca. Apalagi bila membacanya tidak diiringi dengan pemahaman
artinya. Dan
membaca tidak diulang-ulang. Efeknya sangat berbeda dengan mengulang-ulangnya.
Kaum muslimin
saat ini cukup berpuas diri dengan membaca „buta“ Al Quran dan menimba ilmu
dari para ustadz, kiai dan pemuka-pemuka agama. Tanpa menghilangkan rasa hormat
kepada para penyampai-penyampai risalah agama, kita sebagai hamba Allah, secara
individual juga mempunyai kewajiban berusaha memahami Al Quran dari aslinya
langsung dari firman-firmanNya.
Bila kita menghafal dan mentadaburi Al Quran
maka Allah akan mengajarkan kepada kita pengetahuan melalui hati kita dengan
perantaraan ilham. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8-10:
“Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.“
Ilham ini dapat dirasakan dengan dalam hati kita. Bukankah kita pernah bingung
tentang suatu masalah, kemudian pada suatu saat kita, „cling“ mememukan cara
untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Itulah ilham.
Atau ilham itu sebagai furqan atau pembeda
mana-mana amal yang haq dan mana-man yang bathil. Sebagai misal ketika kita
masuk ke tempat maksiat maka hati kita akan terasa tidak enak, tidak nyaman.
Itulah peringatan dari hati kita yang bersih. Furqan inilah yang dibutuhkan di dalam
kehidupan ketika berperang dengan bisikan-bisikan syaithan yang membujuk-bujuk
kita untuk berbuat maksiat dengan iming-iming duniawi yang menggiurkan. Karena
itu sangatlah kita memerlukan furqan yang menjadikan kita mantap mengetahui
yang haq dan yang bathil. Seperti disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Anfaal ayat 29:
Hai orang-orang beriman, jika kamu
bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan
jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan
Allah mempunyai karunia yang besar.
Al Quran juga sebuah petunjuk/pedoman hidup
bagi kita kaum muslimin :
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(QS Al Baqarah : 2)
Jadi intinya Al Qu’an adalah pedoman hidup.
Tapi hanya segelintir orang yang hafal dan faham Al Quran. Bagaimana Al Quran
bisa menjadi pedoman hidup seorang muslim secara individual bila membaca dan
memahaminya secara tuntas saja belum dilakukan ? Dan banyak diantara kaum
muslimin yang meninggal dalam keadaan belum pernah membaca dengan tuntas Al
Quran.
Bayangkan
apabila kita akan pergi ke puncak Gunung Semeru. Sebelum pergi kita dibekali
dengan peta, rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk oleh seorang pendaki gunung
profesional. Tetapi kita tidak memahami petunjuk-petunjuk tersebut. Apakah kita
dijamin akan sampai di puncak gunung semeru dengan selamat ? Kita mungkin lebih
senang bertanya dengan penduduk setempat. Bila kita bertemu dengan penduduk yang
sangat kenal gunung semeru mungkin kita akan sampai dengan selamat. Tetapi bila
orang kita tanya juga kurang faham jalan ke puncak gunung, akankah kita sampai
ke puncak dengan selamat atau mungkin kita bisa tersesat ? Padahal bila kita
memahami, petunjuk, peta dan juga bertanya maka kita akan mendapat jalan pintas
untuk sampai ke puncak gunung.
Memang solusi
pemahaman Al Quran ini tidak akan dapat berhasil bila sistem pendidikan agama
tidak berjalan intensif sejak dini. Sebagai permisalan, bahasa Inggris diajarkan
sejak SD. Maka kita lihat ketika lulus SMA para mahasiswa sudah bisa belajat
dari diktat berbahas Inggris. Bila sistem ini diterpakan juga untuk bahasa Arab
(sebagai media inti pemahaman Al Quran) maka ketika berumur 20-25 seorang
muslim sudah mulai bisa memahami Al Quran dengan mandiri.
Wahai
saudara-saudaraku kaum muslimin, memahami Al Quran bukan fardhu kifayah yang
dibebankan kepada ulama, kiai atau ustadz. Tapi seperti dicontohkan oleh para
sahabat, membaca, menghafal, memahami dan melaksanakan Al Quran dilakukan
sebagai kewajiban indivial setiap kaum muslimin. Bila secara individu seorang
muslim meningkat kualitasnya, keluarga yang dibinanya juga akan berkulaitas
sehingga akhirnya sebuah masyarakat madani yang dirindukan selama ini juga
dapat terwujud.
Demikianlah
renungan kita tentang Al Quran. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya
kepada kita semua sehingga kita menjadi orang-orang yang mencintai Al Quran,
membacanya, menghafalkannya, memahaminya dan mengamalkannya.
Wallahu alam bi shawab
Post a Comment