Pengertian Hadis
Para muhadditsin (ulama ahli hadis) berbeda pendapat di
dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu karena terpengaruh oleh terbatas dan
luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan
mereka itu, lahirlah dua macam pengertian tentang hadis, yaitu pengertian yang
terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di pihak lain.
Ta'rif
(Definisi) Hadis yang Terbatas
Dalam pengertian (definisi) yang
terbatas, mayoritas ahli hadis berpendapat sebagai berikut. "Al-hadits ialah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., yaitu berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan, dan yang sebagainya."
Definisi ini mengandung
empat macam unsur: perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat atau
keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yang lain, yang semuanya hanya disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw. saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada
sahabat dan tidak pula kepada tabi'in. Pemberitaan tentang empat unsur tersebut
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut berita yang marfu', yang
disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf, dan yang disandarkan
kepada tabi'in disebut maqthu'.
1. Perkataan
Yang
dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan yang pernah beliau
ucapkan dalam berbagai bidang: syariat, akidah, akhlak, pendidikan, dan
sebagainya. Contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syariat seperti
berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda (yang artinya), "Hanya amal-amal perbuatan
itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan
... (dan seterusnya)." Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut ialah
kewajiban niat dalam seala amal perbuatan untuk mendapatkan pengakuan sah dari
syara'.
2. Perbuatan
Perbuatan Nabi Muhammad saw.
merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan yang belum jelas cara
pelaksanaannya. Misalnya, cara cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam
salat sunah di atas kendaraan yang sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi
dengan perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau tentang hal itu
kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a., katanya, "Konon
Rasulullah saw. bersalat di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut
kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak salat fardu, beliau turun
sebentar, terus menghadap kiblat." (HR Bukhari).
Tetapi, tidak semua
perbuatan Nabi saw. itu merupakan syariat yang harus dilaksanakan oleh semua
umatnya. Ada perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya spesifik untuk dirinya,
bukan untuk ditaati oleh umatnya. Hal itu karena adanya suatu dalil yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu memang hanya spesifik untuk Nabi saw. Adapun
perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya khusus untuk dirinya atau tidak
termasuk syariat yang harus ditaati antara lain ialah sebagai berikut.
a. Rasulullah saw. diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari empat
orang, dan menikahi perempuan tanpa mahar. Sebagai dalil adanya dispensasi
menikahi perempuan tanpa mahar ialah firman Allah (yang artinya) sebagai
berikut. "... dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya
kepada Nabi (untuk dinikahi tanpa mahar) bila Nabi menghendaki menikahinya,
sebagai suatu kelonggaran untuk engkau (saja), bukan untuk kaum beriman
umumnya." (Al-Ahzab: 50).
b. Sebagian tindakan Rasulullah saw. yang
berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata, yang bertalian dengan soal-soal
keduniaan: perdagangan, pertanian, dan mengatur taktik perang. Misalnya, pada
suatu hari Rasulullah saw. pernah kedatangan seorang sahabat yang tidak berhasil
dalam penyerbukan putik kurma, lalu menanyakannya kepada beliau, maka Rasulullah
menjawab bahwa "kamu adalah lebih tahu mengenai urusan keduiaan". Dan, pada
waktu Perang Badar Rasulullah menempatkan divisi tentara di suatu tempat, yang
kemudian ada seorang sahabat yang menanyakannya, apakah penempatan itu atas
petunjuk dari Allah atau semata-mata pendapat dan siasat beliau. Rasulullah
kemudian menjelaskannya bahwa tindakannya itu semata-mata menurut pendapat dan
siasat beliau. Akhirnya, atas usul salah seorang sahabat, tempat tersebut
dipindahkan ke tempat lain yang lebih strategis.
c. Sebagian perbuatan
beliau pribadi sebagai manusia. Seperti, makan, minum, berpakaian, dan lain
sebagainya. Tetapi, kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata
cara makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya, menurut pendapat yang lebih
baik, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq dan kebanyakan para ahli hadis,
hukumnya sunah. Misalnya, "Konon Nabi saw. mengenakan jubah (gamis) sampai di
atas mata kaki." (HR Al-Hakim).
3. Taqrir
Arti taqrir
Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui
apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contohnya, dalam suatu jamuan makan, sahabat Khalid bin Walid menyajikan makanan
daging biawak dan mempersilakan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para
undangan.
Rasulullah saw. menjawab, "Tidak (maaf). Berhubung binatang ini
tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya!"
Kata Khalid: "Segera
aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah saw. melihat kepadaku." (HR
Bukhari dan Muslim).
Contoh lain adalah diamnya Nabi terhadap perempuan
yang keluar rumah, berjalan di jalanan pergi ke masjid, dan mendengarkan
ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.
Adapun yang termasuk taqrir qauliyah yaitu apabila seseorang sahabat
berkata "aku berbuat demikian atau sahabat berbuat berbuat begitu" di hadapan
Rasul, dan beliau tidak mencegahnya. Tetapi ada syaratnya, yaituperkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh seorang sahabat itutidak mendapat sanggahan dan
disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup dan orang yang melakukan itu orang
yang taat kepada agama Islam. Sebab, diamnya Nabi terhadap apa yang dilakukan
atau diucapkan oleh orang kafir atau munafik bukan berarti menyetujuinya. Memang
sering nabi mendiamkan apa-apa yang diakukan oleh orang munafik lantaran beliau
tahu bahwa banyak petunjuk yang tidak memberi manfaat kepadanya.
4.
Sifat-Sifat, Keadaan-Keadaan, dan Himmah (Hasrat) Rasulullah
Sifat-sifat beliau yang termasuk unsur al-hadits ialah sebagai
berikut.
a. Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli
tarikh (sejarah), seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau yang
dilukiskan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut. "Rasulullah itu adalah
sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan
orang tinggi dan bukan pula orang pendek." (HR Bukhari dan Muslim).
b.
Silsilah-silsilah, nama-nama, dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh
para sahabat dan ahli sejarah. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti
apa yang dikatakan oleh Qais bin Mahramah r.a. "Aku dan Rasulullah saw.
dilahirkan pada tahun gajah." (HR Tirmizi).
c. Himmah (hasrat) beliau
yang belum sempat direalisasi. Misalnya, hasrat beliau untuk berpuasa pada
tanggal 9 Asyura, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. "Tatkala
Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para
sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata, 'Ya Rasulullah, bahwa hari ini
adalah yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.' Sahut Rasulullah, 'Tahun
yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan'." (HR Muslim
dan Abu Daud).
Tetapi, Rasulullah tidak menjalankan puasa pada tahun
depan karena wafat. Menurut Imam Syafii dan rekan-rekannya, menjalankan himmah
itu disunahkan, karena ia termasuk salah satu bagian sunah, yakni sunnah
hammiyah.
Ringkasnya, menurut ta'rif (definisi) yang terbatas yang
dikemukakan oleh mayoritas ahli hadis di atas, pengertian hadis itu hanya
terbatas pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja,
sedang segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, tabi'in, atau tabi'it
tabi'in, tidak termasuk al-hadits.
Dengan memperhatikan macam-macam
unsur hadis dan mana yang harus didahulukan mengamalkannya, bila ada perlawanan
antara unsur-unsur tersebut, mayoritas ahli hadis membagi hadis berturut-turut
sebagai berikut.
a. Sunnah qauliyah,
b. Sunnah fi'liyah,
c. Sunah
taqririyah, dan
d. Sunnah hammiyah.
Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman
Post a Comment