Kriteria-Kriteria yang Membedakan antara Masalah-Masalah yang Ushul (Pokok) dengan yang Furu' (Cabang)
Kriteria-Kriteria yang Membedakan antara Masalah-Masalah yang Ushul (Pokok) dengan yang Furu' (Cabang)
Mayoritas ulama membedakan antara masalah-masalah agama yang
dikategorikan sebagai masalah ushul dengan masalah-masalah agama yang
dikategorikan sebagai masalah furu'. Dengan pemisahan tersebut mereka dapat
menetapkan batasan kesalahan dan lainnya yang dapat ditoleransi (dimaafkan),
apabila kesalahan itu berkaitan dengan masalah-masalah furu', sedangkan
kesalahan yang berkaitan dengan masalah-masalah ushul, mereka tidak
menoleransinya.
Pemisahan ini digunakan juga oleh mereka dalam memisahkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu syariat, dimana masalah-masalah
yang berkaitan dengan ilmu akidah dan ilmu ushul dikelompokkan sebagai masalah
yang ushul, masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu fikih dikelompokkan ke
dalam masalah furu'. Tetapi, sebagian ulama menolak adanya pengelompokkan
masalah syariah ke dalam masalah ushul dan furu'.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelompokan antara
masalah-masalah agama, atau antara ilmu-ilmu syariat ini, tidak adanya
kesepakatan di antara para ulama dalam menentukan kriteria-kriteria yang jelas
yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam pengelompokan ini. Karena itulah,
maka sebagian ulama menolak pengelompokan ini, dan mereka mengritik dan menolak
pandangan para ulama yang mengatakannya.
Di antara para ulama yang secara tegas menolak dan mengritik
pengelompokan ini adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan diikuti muridnya, Imam
Ibnu Qoyyim Rahimahullah.
Ibnu Taimiyyah berkata, "Adapun pengelompokan antara bagian
yang disebut dengan masalah-masalah ushul dengan masalah-masalah furu' merupakan
pengelompokkan yang tidak ada dasar hukumnya, baik dari para sahabat, para
tabi'in, dan para imam yang benar-benar memegang ajaran Islam. Pengelompokkan
ini bersumber dari orang-orang Mu'tazilah dan aliran lainnya yang teramasuk ke
dalam kelompok orang-orang yang suka menciptakan kebid'ahan, yang dapat
ditemukan dalam kitab-kitab yang dikarang oleh fuqaha' (ahli fikih) mereka.
Karena masalah pengelompokkan ini dianggap menyimpang, maka kepada orang yang
mengelompokkan masalah-masalah agama ke dalam dua kelompok (ushul dan furu')
dapat diajukan pertanyaan: "Apa batasan dalam masalah-masalah ushul, di mana
apabila seseorang melakukan kekeliruan atau kesalahan dihukumi sebagai orang
kafir dan apa bedanya antara masalah-masalah ushul dengan masalah-masalah furu?"
Apabila dia menjawab, "Masalah-masalah ushul adalah masalah-masalah yang
berkaitan dengan akidah, sedangkan masalah-masalah furu' adalah masalah-masalah
yang berkaitan dengan amal perbuatan." Selanjutnya, dapat diajukan pertanyaan
kepadanya,"Bagaimana dengan pertentangan yang terjadi di antara manusia
berkenaan dengan Nabi Muhammad saw, apakah beliau pernah melihat Allah atau
tidak? Dan apakah Ustman ra itu lebih baik dari Ali ra atau Ali ra yang lebih
baik dari Ustman ra? Demikian juga berkenaan dengan makna-makna Alquran dan
kesahihan sebagian hadis, di mana semuanya itu termasuk masalah-masalah yang
berkaitan dengan akidah, di mana menurut kesepakatan para ulama tidak
diperbolehkan untuk mengafirkannya. Sementara, berkenaan dengan kewajiban salat,
zakat, puasa, dan haramnya perbuatan keji dan khamar (minuman keras) termasuk
masalah yang berkaitan dengan amal pebuatan, tetapi para ulama telah sepakat
untuk menghukumi kafir bagi orang yang mengingkarinya.
Apabila dia menjawab, "Masalah-masalah pokok itu adalah
masalah-masalah yang qath'i (pasti), maka dapat dikatakan kepadanya, 'Kebanyakan
dari masalah-masalah yang berkaitan dengan amal perbuatan itu bersifat qath'i,
sementara kebanyakan dari masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan
justru bersifat dzanni (dugaan). Pengelompokan masalah-masalah ke dalam
qath'iyyah dan dzanniyyah sifatnya relatif. Terkadang satu masalah bagi
seseorang dianggap qath'i, karena sudah jelasnya dalil yang menunjukkan
keqath'iyyannya baginya, seperti seseorang yang mendengar suatu nash dari
Rasulullah saw dan dia meyakini bahwa nash tersebut berasal dari beliau,
sementara bagi orang lain masalah tersebut dianggap dzanni, jauh dari anggapan
qath'i, karena belum sampainya nash tersebut kepadanya, atau tidak adanya
ketetapan yang diketahuinya, atau tidak memiliki ilmu yang memungkinkannya untuk
mengetahui dalil-dalilnya.
Imam Ibnu Qoyyim berkata, "Mereka mengelompokkan
masalah-masalah agama kepada masalah-masalah yang bersifat ilmiyyah dan
masalah-masalah yang bersifat amaliyyah, dan mereka menyebutnya dengan ushul dan
furu'. Mereka berkata, "Yang benar dalam dalam masalah ushul itu hanya satu, dan
orang yang mengingkarinya dihukumi sebagai orang kafir atau orang fasik.
Sedangkan dalam masalah-masalah furu', tidak ada hukum Allah yang bersifat
tertentu dan tidak dapat ditentukan kesalahannya, sehingga setiap hukum yang
ditetapkan mujtahid dianggap sesuai dengan hukum Allah. Seandainya melihat
istilah yang dipakai, maka pengelompokkan ini tidak dapat membedakan secara
jelas antara masalah ushul dengan masalah furu'. Bagaimana bisa dibedakan,
sementara mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan pandangan mereka
sendiri, di antaranya, menetapkan hadis ahad sebagai masalah furu' bukan masalah
ushul, dan lain sebagainya. Padahal setiap pengelompokan ini tidak didasarkan
kepada Alquran, sunnah, dan sumber-sumber syariat lainnya, sehingga
pengelompokan masalah ini dianggap suatu keliruan yang wajib diabaikan."
Namun demikian, jika masalah ini dikaji secara mendalam, dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak semua pengelompokan ini ditolak (salah),
bahkan dapat dibenarkan jika di dalamnya mengandung dua persyaratan, yaitu:
- Mengembalikan pandangan dalam penetapan kiteria-kriteria yang membedakan
antara masalah ushul dan furu' berdasarkan kriteria-kriteria yang pengertiannya
dapat dibenarkan oleh syari'at.
- Dihasilkan melalui penelitian ilmiyyah berkenaan dengan penetapan hukum-hukum yang berkaitan dengan setiap masalah ushul dan furu'.
Adapun metode yang ditempuh oleh para ulama dalam menetapkan
kiteria-kriteria pengelompokan masalah ke dalam ushul dan furu' ini terdapat
beberapa metode, di antaranya:
- Masalah yang dalilnya bersifat akli (bersumber dari akal) dikelompokkan ke
dalam ushul, sedangkan masalah yang dalilnya bersifat naqli (bersumber dari
Alquran dan sunnah) dikelompokkan ke dalam furu'.
- Masalah yang dalilnya bersifat qath'i (pasti) dikelompokkan ke dalam ushul,
sedangkan masalah yang dalilnya bersifat dzanni dikelompokkan ke dalam
furu'.
- Masalah-masalah ushul itu berkaitan dengan ilmu pengetahuan, sedangkan
masalah-masalah furu' itu berkaitan dengan amal perbuatan.
- Masalah-masalah ushul itu berkaitan dengan tuntutan (perintah dan larangan), sedangkan masalah-masalah furu' itu bersifat berita.
Perlu diketahui bahwa tidak ada suatu pendapat pun dari
pendapat-pendapat tersebut di atas, kecuali di dalamnya terdapat kontradiksi,
sehingga tidak ada satu pendapat pun yang terhindar dari pertentangan, walaupun
pada sebagiannya terdapat pandangan yang dianggap layak dan patut
dipertimbangkan. Metode yang dianggap tepat dalam menentukan kriteria-kriteria
yang membedakan antara masalah ushul dan furu' adalah bahwa segala masalah yang
sudah jelas dalilnya dikelompokkan ke dalam masalah furu', baik berkaitan dengan
ilmu pengetahuan maupun berkaitan dengan amal perbuatan. Hal itu sebagaimana
yang dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, "Yang benar, bahwa setiap
masalah yang sudah jelas dalilnya, baik yang berkaitan dengan masalah ilmu
pengetahuan maupun yang berkaitan dengan amal perbuatan dikelompokkan ke dalam
masalah ushul, sedangkan masalah yang belum jelas dalilnya dikelompokkan ke
dalam masalah-masalah furu'. Pengetahuan tentang beberapa kewajiban seperti
rukun Islam yang lima, dan beberapa hal yang diharamkan, merupakan masalah yang
sudah jelas dan diriwayatkan secara mutawatir. Demikian juga halnya dengan
pengetahuan bahwa Allah SWT Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui atas segala sesuatu,
Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Alquran sebagai Kalam Allah, dan lain
sebagainya merupakan masalah yang dianggap sudah jelas dan diriwayatkan secara
mutawatir. Oleh karena itu, maka orang yang mengingkari dan menentang
hukum-hukum tersebut di atas (yang sudah jelas wajib dan haramnya) dihukumi
sebagai orang kafir. Demikian juga, dihukumi sebagai orang kafir, orang yang
mengingkari pengetahuan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang terakhir.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ada beberapa pembahasan
yang berkaitan dengan masalah yang terdapat dalam bab ini yang mencakup beberapa
masalah yang sudah jelas dalilnya, baik masalah yang berkaiatan dengan ilmu
pengetahuan maupun yang berkaitan dengan amal perbuatan, yang di dalamnya
mencakup masalah tauhid dan macam-macamnya, menolong orang-orang kafir dan
orang-orang musyrik, masalah-masalah agama yang sudah diketahui secara pasti.
Semua masalah ini terkait erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, amal
perbuatan, atau dengan keduanya secara bersamaan, dan semuanya itu sudah jelas,
sehingga masalah ini dikelompokkan ke dalam masalah-masalah ushul. Hanya kepada
Allahlah kita memohon pertolongan.
Post a Comment