Hukum Bermuamalah dengan Orang Kafir
Hukum Bermuamalah dengan Orang Kafir
Pertama, boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam
perdagangan dan sewa-menyewa selama alat tukar, keuntungan, dan barangnya
dibolehkan oleh syariat Islam. Jika alat tukarnya diharamkan (misalnya khamr dan
daging babi) atau keuntungannya diharamkan (seperti bungan dan riba) atau
barangnya diharamkan (seperti anggur yang akan dijadikan khamr) atau memiliki
dan menyewakan barang untuk perbuatan haram, itu semua diharamkan oleh syariat
Islam, begitu pula barang yang digunakan orang kafir dalam memerangi kaum
muslimin.
Kedua, wakaf mereka, baik untuk diri mereka sendiri atau orang
lain, dibolehkan selama hal itu merupakan wakaf terhadap kaum muslimin yang
dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma
terhadap ibnu sabil, dan semacamnya. Jika ia memberi wakaf kepada anaknya dengan
syarat anaknya harus kembali kafir, haram menandatangi wakaf tersebut. Jika
mereka memberi wakaf untuk gereja mereka, juga haram ditandatangani secara
hukum, karena hal itu mengandung makna menolong mereka dalam kekufuran.
Ketiga, seorang muslim laki-laki boleh menikahi wanita ahli
kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. Sebagian ulama berpendapat bahwa ketika
menikahi wanita ahli kitab akan menimbulkan mudarat bagi si laki-laki muslim,
khususnya fitnah terhadap agamanya dan semacamnya, maka pernikahan itu
diharamkan.
Keempat, boleh memberi pinjaman dan atau meminjam dari mereka
walaupun dengan cara menggadaikan barang. Sebab, diriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. meninggal dunia sedangkan baju perangnya digadaikan kepada seorang
Yahudi.
Kelima, orang kafir boleh melakukan perdagangan di negeri kaum
muslimin selama perdagangan itu pada hal-hal yang dibolehkan secara syar'i, dan
mereka harus menyerahkan sepuluh persen keuntungannya sebagai pajak yang harus
digunakan bagi kepentingan umum kaum muslimin.
Keenam, ahli kitab yang berada dalam perlindungan keamananan
kaum muslimin harus membayar penuh.
Ketujuh, jika ahli kitab itu tidak sanggup membayar
jizyah, maka ia dibebaskan, dan jika ia miskin, maka ia disantuni dari
Baitul Mal kaum muslimin.
Kedelapan, haram membolehkan mereka membangun rumah ibadah
mereka di negeri muslim, dan geraja yang terdapat di negeri kafir yang dimasuki
kaum muslimin tidak boleh dihancurkan, tetapi bila bangunan itu sudah runtuh,
maka tidak boleh memperbaharui bangunannya.
Kesembilan, hukum yang diberlakukan pada mereka harus dihapus,
jika dalam agama mereka hal itu merupakan kebolehan. Tetapi, haram menyampaikan
itu secara terang-terangan kepada mereka.
Kesepuluh, jika perbuatan itu haram dalam agama mereka, lalu
mereka melakukannya, mereka harus dihukum.
Kesebelas, orang dzimmi (non-muslim yang berada di
negeri muslim) dan mu'ahid (non-muslim yang mempunyai perjanjian damai
dengan negeri muslim) tidak boleh diganggu selama mereka melaksanakan kewajiban
mereka dan tetap mematuhi perjanjian.
Kedua belas, hukum qisas atas nyawa dan seterusnya juga
diberlakukan terhadap mereka.
Ketiga belas, boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka,
baik karena permintaan kita maupun karena permintaan mereka selama hal itu
mewujudkan maslahat umum bagi kaum muslimin dan pemimpin kaum muslimin sendiri
cenderung ke arah itu, berdasarkan firman Allah Taala yang artinya, "Dan jika
mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya?." (Al-Anfal:
61). Tetapi, perjanjian damai itu harus bersifat sementara dan tidak mutlak.
Keempat belas, darah, harta, dan kehormatan kaum dzimmi
dan mu'ahid adalah haram.
Kelima belas, jika mereka tergolong ahlul harbi (harus
diperangi), tidak boleh memerangi mereka sebelum diberi peringatan.
Keenam belas, orang kafir yang tidak terlibat dalam memerangi
kaum muslimin, baik dengan pendapat dan perencanaan maupun dengan dirinya secara
langsung (seperti anak-anak, wanita, rahib dalam rumah ibadahnya, orang tua
jompo, orang sakit, dan semacamnya) tidak boleh diganggu dan diperangi.
Ketujuh belas, orang yang berlari menghindari berperang dengan
mereka tidak boleh dibekali dan apa yang ditinggalkannya dianggap harta rampasan
perang.
Kedelapan belas, jika pemimpin kaum muslimin menyatakan sahnya
kepemilikan mereka atas tanah, hak itu dianggap sah dan benar. Namun, mereka
harus membayar pajak dan tanah. Jika tidak mau membayarnya, tanah itu harus
diserahkan kepada kaum muslimin untuk dibangun. Hal ini jika negeri mereka
dibebaskan kaum muslimin dengan perang, karena statusnya adalah harta rampasan
perang.
Kesembilan belas, jika orang kafir itu termasuk ahlul
harbi (wajib diperangi), mereka boleh dijadikan budak, baik laki-laki maupun
wanita, selama belum ada perjanjian damai dengan mereka.
Sumber: Al-Madkhal li dirasat al-Aqidah al-Islamiyyah 'ala
Madzhabi Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah, Dr. Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah
al-Buraikan
Post a Comment