Dari Fitrah Menuju Muslim yang Lurus dan Tercerahkan
Dari Fitrah
Menuju Muslim yang Lurus dan Tercerahkan
Hadirin, sidang Idul Fitri yang dirahmati Allah.
Atas Rahmat Allah yang agung yang telah dilimpahkan
kepada kita, pada
hari
ini, 1 Syawal 1428 H yang bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 12
Oktober
2007 M, kami sampai pada puncak dari seluruh rangkaian ibadah
Ramadhan
1428 H, yaitu Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya kemenangan Umat
Islam di seluruh pelosok dunia. Atas Hidayah Allah
yang tercurah deras
dalam hati sanubari kita, perayaan Idul Fitri ini
dapat kita lakukan dengan
khusu’ dan dengan hati yang bertaubat. Dan Atas
Karunia Allah yang
melimpah ruah, kita bisa menikmati indahnya beridul
fitri bersama sanak
keluarga, saudara, handau taulan, tetangga, teman dan
seluruh kaum
muslimin dengan penuh kebersamaan dan suka cita. Untuk
itu semua, puja
dan puji syukur wajib senantiasa kita haturkan ke
hadirat Allah SWT, Rabb
sekalian alam.
Idul Fitri artinya hari raya fitrah. Hari raya
kesucian manusia. Disebut juga
sebagai hari kembalinya kesucian kepada kita. Inilah
hari raya yang resmi
diajarkan agama kita melalui sunnah Rasulullah SAW,
selain Idul Adha.
Adapun semua hari raya atau hari besar Islam yang
lain, lebih merupakan
hasil budaya daripada ajaran agama, seperti Maulid
Nabi, Isra’ Mi’raj,
Nuzulul Qur’an, Muharram dan lain-lain. Atas sunnah
Rasulullah inilah kita
bisa meneladani bagaimana mensyukuri dan memaknai Idul
fitri. Untuk itu,
salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
dan Rasul kita
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan
seluruh kaum
muslimin yang selalu setia dengan sunnah-sunnahnya. Sebagaimana
Allah
dan Malaikat bershalawat pula kepada Nabi Muhammad,
seperti dalam al-
Qur’an
surat Al ahzab,
ayat 56:
Sidang jama’ah Idul Fitri yang berbahagia
Dalam al-Qur’an, kata fitrah berasal dari kata fathara,
yang arti sebenarnya
adalah “membuka” dan “membelah”. Kalau dihubungkan
dengan puasa
Ramadhan yang sebulan penuh lamanya itu, maka kata ini
mengandung
makna “berbuka puasa”. Fitrah juga mengandung
pengertian “yang mulamula
diciptakan Allah”, yang tidak lain adalah “keadaan
mula-mula”, “yang
asal”, atau “yang asli”. Jika melihat firman Allah
dalam surat
al-An’am ayat
79,
sebuah surat
yang sangat dikenal karena sering dilafadzkan dalam
pembukaan shalat, sebelum membaca al-Fatihah, yang
bunyinya adalah
sebagai berikut:
“Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada
agama yang
benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara)
dikaitkan dengan pengertian
hanif, yang
jika diterjemahkan secara bebas menjadi “cenderung kepada
agama yang benar”. Istilah ini dipakai al-Qur’an untuk
melukiskan sikap
kepercayaan Nabi Ibrahim a.s. yang menolak menyembah
berhala, binatang,
bulan ataupun matahari, karena semua itu tidak patut
untuk disembah. Yang
patut disembah hanyalah Dzat pencipta langit dan bumi.
Dari pengertian tersebut, timbul suatu teori, bahwa
agama umat manusia
yang paling asli adalah menyembah kepada Allah. Hal
ini berkaitan dengan
kepercayaan kaum muslimin, berdasarkan keterangan
al-Qur’an, bahwa
manusia, segera setelah diciptakan, membuat perjanjian
dengan Allah,
sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat al-A’raf
ayat 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka
menjawab:
“Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami
lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan
Tuhan)”.”
Tidak selamanya manusia tetap dalam ikatan perjanjian
dengan Allah
sebagaimana tergambar dalam surat al-A’raf itu. Dalam banyak kasus,
manusia merusak perjanjian itu atau bahkan
memutuskannya. Kondisi
seperti inilah di saat manusia sudah sedemikian jauh
dari ajaran-ajaran
agama, karena lebih memberati dorongan hawa nafsu dan
godaan setan.
Manusia lupa akan jati dirinya, lupa dengan fitrahnya.
Secara nyata dapat
kita lihat tipe manusia seperti ini di segala lini
kehidupan. Pemimpin yang
sewenang-wenang dan menindas, pejabat yang korup,
pengusaha yang
serakah, pegawai yang tidak disiplin, pedagang yang
curang, tetangga yang
selalu menggunjing dan seterusnya, adalah gambaran
nyata dalam kehidupan
kita, bagaimana manusia lupa dengan fitrahnya. Sudah
menjadi sunnatullah,
di saat manusia memutus hubungan dengan Allah, maka ia
akan pula
memutus hubungan dengan sesama manusia dan akan
berbuat yang merusak
tatanan alam semesta, dan pada akhirnya ia termasuk
golongan manusia
yang merugi. Seperti tampak dalam firman-Nya surat al-Baqarah
ayat 27:
“yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan
di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.”
Ma’asyiral muslimin yahdikumullah
Ibadah Ramadhan yang kita jalankan sebulan penuh,
adalah sarana
untuk menemukan kembali jalan menuju fitrah. Pada
siangnya kita berpuasa,
di mana pahalanya tidak tergantung seberapa jauh kita
lapar dan dahaga,
melainkan tergantung pada apakah kita menjalankan
dengan iman dan
ihtisab kepada
Allah serta penuh intropeksi atau tidak. Pada malamnya kita
dirikan shalat malam (shalatullail/tarawih),
agar hati kita senantiasa terikat
dan tunduk kepada Allah pemilik jiwa raga ini. Hari-hari
Ramadhan pula
kita ramaikan dengan tadarrus al-Qur’an agar
kita bisa mengaca diri, apakah
tingkah-laku kita sudah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an
atau belum. Dan
pada akhir Ramadhan, kita tutup dan sempurnakan
seluruh rangkaian ibadah
Ramadhan dengan zakat fitrah, sebagai ungkapan
simbolik kecintaan kita
kepada kaum miskin dan papa.
Seperti yang sudah disampaikan di muka, bahwa
pengertian fitrah
terkait dengan pengertian hanif. Manusia yang
sudah kembali menemukan
fitrahnya (idul fitri), ia akan terkondisikan untuk
menjadi hanif. Kata hanif
berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan
masdarnya hanifan, artinya
adalah “condong”, atau “cenderung” dan kata bendanya “kecenderungan”.
Dalam al-Qur’an, kata hanif yang dimaksud
adalah “cenderung kepada yang
benar”, seperti dijelaskan oleh mufassir modern,
Maulana Muhammad Ali
dalam The Holy Qur’an, yang merujuk kepada
kamus al-Qur’an al-
Mufradat fi al-gharib karya al-Raghib al-Isfahani. Secara lengkap pengertian
hanif disampaikan oleh Nashir Ahmad sebagai berikut:
a. Orang yang meninggalkan atau menjahui kesalahan dan
mengarahkan
dirinya kepada petunjuk.
b. Orang yang secara terus menerus mengikuti
kepercayaan yang benar
tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya
c. Orang yang cenderung menata perilakunya secara
sempurna menurut
Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh
d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrahim, dan
e. Yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.
Baik Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan
tentang
hanif tersebut,
merujuk kepada al-Qur’an, surat
al-Baqarah ayat 135:
“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut
agama
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”.
Katakanlah :
“Tidak, melainkan (Kami mengikuti) agama Ibrahim yang
lurus. dan
bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”.
Dari ayat itu pula diketahui bahwa lawan dari hanif
adalah syirik
(politheis), yakni sebuah paham yang mempersekutukan
Allah dengan
lainnya. Islam tidak mengajarkan politheisme (syirik)
tetapi sebaliknya yang
ditekankan dalam ajaran Islam adalah monotheisme
(tauhid) yaitu menolak
segala pengakuan dan keyakinan mausia atas tuhan-tuhan
palsu. Jika pada
zaman Jâhiliyyah, tuhan-tuhan palsu itu
dimanifestasikan dalam wujud
berhala-berhala, maka pada zaman modern ini,
tuhan-tuhan palsu terwujud
dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan
komplek dari sekadar
berhala-berhala sesembahan. Tuhan-tuhan itu lebih
berbentuk kedhaliman
dan penindasan, atau kesenangan dunia yang ketika
meraihnya harus
merampas hak-hak orang lain.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Setelah orang selalu tertambat hatinya kepada
kebenaran (hanif) dan
menolak dengan keras syirik, ia akan meneladani
Rasulullah dalam
perjuangannya membebaskan umat Islam dari penindasan,
kebodohan dan
kemiskinan. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan
sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang
penghidupannya
tergantung pada orang kaya kota itu. Orang-orang masih bodoh dan
bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas,
bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, para
janda
dan anak yatim yang diabaikan tanpa ada yang peduli
terhadap nasib
mereka. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di
samping
membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha
membebaskan orang-orang
dari kerajaan Romawi dan Persia yang menindas.
Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia
yang terpuji, adalah
nabi terakhir dan merupakan pejuang sejati. Dia
membebaskan budakbudak,
anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan
lemah.
Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk
membedakan
yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang
palsu, dan kebaikan dari
kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu;
menegakkan
kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.
Muslim yang peduli dengan nasib kaum miskin, bodoh dan
terbelakang
dengan menyantuninya sepenuh hati, adalah penjelmaan
manusia fitri yang
hanif.
Merekalah yang disebut rausanfikr, yaitu muslim tercerahkan yang
peduli dengan nasib umat. Kepedulian ini menjadi
sangat penting,
mengingat kondisi masyarakat kita yang masih terdapat
jurang pemisah yang
cukup lebar antara si kaya dan si miskin. Seperti
sindiran Allah dalam al-
Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 75:
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita
maupun anakanak
yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah
kami dari
negeri Ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah
kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong
dari sisi
Engkau!”.
Rausanfikr (muslim
tercerahkan) harus tercipta dalam diri kita masingmasing.
Kita tidak boleh masa bodoh atau tidak peduli (cuek)
dengan
persoalan di sekitar kita. Kepedulian pada persoalan
ummat akan mendorong
kita menuju sebuah keshalehan sosial yang sangat
ditekankan oleh Islam.
Islam tidak saja mengajarkan keshalehan individu (taat
pada perintah ibadah
mahdhah),
tetapi juga keshalehan sosial atau bahasa agamanya adalah ihsan
(orangnya: muhsin/muhsinun), yaitu kegemaran pada amal
shaleh. Allah
berfirman dalam surat
an-Nisa’ ayat 125:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.“
Ada cerita menarik dalam sejarah dakwahnya Kyai Dahlan,
pendiri
Muhammadiyah. Waktu itu beliau mengajarkan sebuah surat pendek dalam
al-Qur’an yaitu surat
al-Ma’un (surat
ke-107) kepada murid-muridnya.
Para
murid sempat protes terhadap cara mengajaran beliau
terus mengulang-ulang
surat tersebut, walaupun para murid sudah lama menghapal di
luar kepala.
Sehingga pada suatu saat ada murid yang berani
bertanya kepada Kyai
Dahlan mengenai hal itu. Lalu, konon, kyai Dahlan
balik bertanya, “Apakah
engkau sudah mengamalkan surat itu ?”.
Sungguh sebuah model pengajaran Islam yang lebih
mengedepankan
amaliah shalihah daripada sekadar hafalan. Model
hafalan seperti inilah
yang banyak terlihat dalam pengajaran-pengajaran Islam
dewasa ini,
sehingga sulit untuk melahirkan santri atau murid yang
tercerahkan dan
mempunyai kepedulian (rausanfikr).
Hadirin yang berbahagi…
Ini barangkali renungan kita di sela-sela kita
merayakan idul fitri
sehingga hari raya kita tetap menjadi lebih bermakna.
Maka marilah kita
berdo’a kepada Allah SWT, semoga Allah memasukkan kita
ke dalam
hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, mentaati
perintahnya dan
menjauhkan kita dari adzab dan siksanya yang sangat
pedih.
Post a Comment