MAKANAN, PAKAIAN DAN RUMAH
MAKANAN, PAKAIAN DAN RUMAH
2.1 Makanan dan Minuman
SEJAK dahulukala umat manusia berbeda-beda dalam menilai masalah makanan
dan minuman mereka, ada yang boleh dan ada juga yang tidak boleh. Lebih-lebih
dalam masalah makanan yang berupa binatang. Adapun masalah makanan dan minuman
yang berupa tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan. Dan Islam sendiri
tidak mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang
terbuat dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda
tersebut sudah mencapai kadar memabukkan.
Begitu juga Islam mengharamkan semua benda yang dapat menghilangkan
kesadaran dan melemahkan urat serta yang membahayakan tubuh, sebagaimana akan
kami sebutkan di bawah.
Adapun soal makanan berupa binatang inilah yang terus diperselisihkan
dengan hebat oleh agama-agama dan golongan.
2.1.1 Menyembelih dan Makan Binatang Dalam Pandangan Agama Hindu
Ada sementara golongan, misalnya Golongan Brahmana (Hindu) dan Filsuf yang
mengharamkan dirinya menyembelih dan memakan binatang. Mereka cukup hidup
dengan makanan-makanan dari tumbuh-tumbuhan. Golongan ini berpendapat, bahwa
menyembelih binatang termasuk suatu keganasan manusia terhadap binatang hidup. Manusia
tidak berhak untuk menghalang-halangi hidupnya binatang.
Tetapi kita juga tahu dari hasil pengamatan kita terhadap alam ini, bahwa
diciptanya binatang-binatang itu tidak mempunyai suatu tujuan. Sebab binatang
tidak mempunyai akal dan kehendak. Bahkan secara nalurinya binatang-binatang
itu dicipta guna memenuhi (khidmat) kebutuhan manusia. Oleh karena itu tidak
aneh kalau manusia dapat memanfaatkan dagingnya dengan cara menyembelih,
sebagaimana halnya dia juga dapat memanfaatkan tenaganya dengan cara yang
lazim.
Kita pun mengetahui dari sunnatullah (ketentuan Allah) terhadap makhluknya
ini, yaitu: golongan rendah biasa berkorban untuk golongan atas. Misalnya
daun-daunan yang masih hijau boleh dipotong/dipetik buat makanan binatang, dan
binatang disembelih untuk makanan manusia dan, bahkan, seseorang berperang dan terbunuh
untuk kepentingan orang banyak. Begitulah seterusnya.
Haruslah diingat, bahwa dilarangnya manusia untuk menyembelih binatang
tidak juga dapat melindungi binatang tersebut dari bahaya maut dan binasa. Kalau
tidak berbaku hantam satu sama lain, dia juga akan mati dengan sendirinya; dan
kadang-kadang mati dalam keadaan demikian itu lebih sakit daripada ketajaman
pisau.
2.1.2 Binatang yang Diharamkan Dalam Pandangan Yahudi dan Nasrani
Dalam pandangan agama Yahudi dan Nasrani (kitabi), Allah mengharamkan
kepada orang-orang Yahudi beberapa binatang laut dan darat. Penjelasannya dapat
dilihat dalam Taurat (Perjanjian Lama) fasal 11 ayat 1 dan seterusnya Bab:
Imamat Orang Lewi.
Dan oleh al-Ouran disebutkan sebagian binatang yang diharamkan buat
orang-orang Yahudi itu serta alasan diharamkannya, yaitu seperti yang kami
sebutkan di atas, bahwa diharamkannya binatang tersebut adalah sebagai hukuman
berhubung kezaliman dan kesalahan yang mereka lakukan.
Firman Allah:
"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang
berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, kecuali
(lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang
tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka. Dan
sesungguhnya Kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)
Demikianlah keadaan orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang Nasrani
sesuai dengan ketentuannya harus mengikuti orang-orang Yahudi. Karena itu Injil
menegaskan, bahwa Isa a.s. datang tidak untuk mengubah hukum Taurat (Namus)
tetapi untuk menggenapinya.
Tetapi suatu kenyataan, bahwa mereka telah mengubah hukum Taurat itu. Apa
yang diharamkan dalam Taurat telah dihapus oleh orang-orang Nasrani --tanpa
dihapus oleh Injilnya-- mereka mau mengikuti Paulus yang dipandang suci itu
dalam masalah halalnya semua makanan dan minuman, kecuali yang memang
disembelih untuk berhala kalau dengan tegas itu dikatakan kepada orang Kristen:
"Bahwa binatang tersebut disembelih untuk berhala."
Paulus memberikan alasan, bahwa semua yang suci halal untuk orang yang
suci, dan semua yang masuk dalam mulut tidak dapat menajiskan mulut, yang dapat
menajiskan mulut ialah apa yang keluar dari mulut.
Mereka juga telah menghalalkan babi, sekalipun dengan tegas babi itu
diharamkan oleh Taurat sampai hari ini.
2.1.3 Menurut Pandangan Orang Arab Jahiliah
Orang-orang Arab jahiliah mengharamkan sebagian binatang karena kotor, dan
sebagiannya diharamkan karena ada hubungannya dengan masalah peribadatan
(ta'abbud), karena untuk bertaqarrub kepada berhala dan karena mengikuti
anggapan-anggapan yang salah (waham). Seperti: Bahirah, saaibah, washilah dan
ham. Yang menjelaskannya telah kami sebutkan di atas.
Tetapi di balik itu, mereka banyak juga menghalalkan beberapa binatang yang
kotor (khabaits), seperti: Bangkai dan darah yang mengalir.
2.1.4 Islam Menghalalkan Yang Baik
Islam datang, sedang manusia masih dalam keadaan demikian dalam memandang
masalah makanan berupa binatang. Islam berada di antara suatu faham kebebasan
soal makanan dan extrimis dalam soal larangan. Oleh karena itu Islam kemudian
mengumandangkan kepada segenap umat manusia dengan mengatakan:
"Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi ini yang halal
dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan
itu musuh yang terang-terangan bagi kamu." (al-Baqarah:
168)
Di sini Islam memanggil manusia supaya suka makan hidangan besar yang baik,
yang telah disediakan oleh Allah kepada mereka, yaitu bumi lengkap dengan
isinya, dan kiranya manusia tidak mengikuti kerajaan dan jejak syaitan yang selalu
menggoda manusia supaya mau mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah,
dan mengharamkan kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah; dan syaitan juga
menghendaki manusia supaya terjerumus dalam lembah kesesatan.
Selanjutnya mengumandangkan seruannya kepada orang-orang mu'min secara
khusus.
Firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa-apa
yang telah Kami berikan kepadamu, serta bersyukurlah kepada Allah kalau
betul-betul kamu berbakti kepadaNya. Allah hanya mengharamkan kepadamu bangkai,
darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka
barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati
batas, maka tidaklah berdosa baginya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun
dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 172-173)
Dalam seruannya secara khusus kepada orang-orang mu'min ini, Allah s.w.t.
memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan supaya mereka suka
menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang memberi
nikmat. Selanjutnya Allah menjelaskan pula, bahwa Ia tidak mengharamkan atas
mereka kecuali empat macam seperti tersebut di atas. Dan yang seperti ini
disebutkan juga dalam ayat lain yang agaknya lebih tegas lagi dalam membatas
yang diharamkan itu pada empat macam. Yaitu sebagaimana difirmankan Allah:
"Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan
kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau
darah yang mengalir, atau daging babi; karena sesungguhnya dia itu kotor
(rijs), atau binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-An'am: 145)
Dan dalam surah al-Maidah ayat 3 al-Quran menyebutkan binatang-binatang
yang diharamkan itu dengan terperinci dan lebih banyak.
Firman Allah:
"Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang
disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena
dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang
(mati) karena dimakan oleh binatang buas kecuali yang dapat kamu sembelih dan
yang disembelih untuk berhala." (al-Maidah:
3)
Antara ayat ini yang menetapkan 10 macam binatang yang haram, dengan ayat
sebelumnya yang menetapkan 4 macam itu, samasekali tidak bertentangan. Ayat
yang baru saja kita baca ini hanya merupakan perincian dari ayat terdahulu.
Binatang yang dicekik, dipukul, jatuh dari atas, ditanduk dan karena
dimakan binatang buas, semuanya adalah termasuk dalam pengertian bangkai. Jadi
semua itu sekedar perincian dari kata bangkai. Begitu juga binatang yang
disembelih untuk berhala, adalah semakna dengan yang disembelih bukan karena
Allah. Jadi kedua-duanya mempunyai pengertian yang sama.
Ringkasnya: Secara global (ijmal) binatang yang diharamkan itu ada empat
macam, dan kalau diperinci menjadi sepuluh.
2.1.5 Diharamkan Bangkai dan Hikmahnya
1) Pertama kali haramnya makanan yang disebut oleh ayat al-Quran ialah
bangkai, yaitu binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha
manusia yang memang sengaja disembelih atau dengan berburu.
Hati orang-orang sekarang ini kadang-kadang bertanya-tanya tentang hikmah
diharamkannya bangkai itu kepada manusia, dan dibuang begitu saja tidak boleh
dimakan. Untuk persoalan ini kami menjawab, bahwa diharamkannya bangkai itu
mengandung hikmah yang sangat besar sekali:
a) Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan bangkai dan dia pun
akan menganggapnya kotor. Para cerdik pandai di kalangan mereka pasti akan
beranggapan, bahwa makan bangkai itu adalah suatu perbuatan yang rendah yang
dapat menurunkan harga diri manusia. Oleh karena itu seluruh agama Samawi
memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram. Mereka tidak boleh makan
kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda cara menyembelihnya.
b) Supaya setiap muslim suka membiasakan bertujuan dan berkehendak dalam
seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslim pun yang memperoleh sesuatu atau
memetik buah melainkan setelah dia mengkonkritkan niat, tujuan dan usaha untuk
mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih --yang dapat
mengeluarkan binatang dari kedudukannya sebagai bangkai-- tidak lain adalah
bertujuan untuk merenggut jiwa binatang karena hendak memakannya.
Jadi seolah-olah Allah tidak rela kepada seseorang untuk makan sesuatu yang
dicapai tanpa tujuan dan berfikir sebelumnya, sebagaimana halnya makan bangkai
ini. Berbeda dengan binatang yang disembelih dan yang diburu, bahwa keduanya itu
tidak akan dapat dicapai melainkan dengan tujuan, usaha dan perbuatan.
c) Binatang yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena sesuatu
sebab; mungkin karena penyakit yang mengancam, atau karena sesuatu sebab
mendatang, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang beracun dan sebagainya. Kesemuanya
ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan, Contohnya seperti binatang
yang mati karena sangat lemah dan kerena keadaannya yang tidak normal.
d) Allah mengharamkan bangkai kepada kita umat manusia, berarti dengan
begitu Ia telah memberi kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya
sebagai tanda kasih-sayang Allah kepada binatang atau burungburung tersebut. Karena
binatang-binatang itu adalah makhluk seperti kita juga, sebagaimana ditegaskan
oleh al-Quran.
e) Supaya manusia selalu memperhatikan binatang-binatang yang dimilikinya,
tidak membiarkan begitu saja binatangnya itu diserang oleh sakit dan kelemahan
sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau
mengistirahatkan.
2.1.6 Haramnya Darah Yang Mengalir
2) Makanan kedua yang diharamkan ialah darah yang mengalir. Ibnu Abbas
pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab beliau: Makanlah! Orang-orang
kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan
atas kamu hanyalah darah yang mengalir.
Rahasia diharamkannya darah yang mengalir di sini adalah justru karena
kotor, yang tidak mungkin jiwa manusia yang bersih suka kepadanya. Dan inipun
dapat diduga akan berbahaya, sebagaimana halnya bangkai.
Orang-orang jahiliah dahulu kalau lapar, diambilnya sesuatu yang tajam dari
tulang ataupun lainnya, lantas ditusukkannya kepada unta atau binatang dan
darahnya yang mengalir itu dikumpulkan kemudian diminum. Begitulah seperti yang
dikatakan oleh al-A'syaa dalam syairnya:
Janganlah kamu mendekati bangkai
Jangan pula kamu mengambil tulang
yang tajam
Kemudian kamu tusukkan dia untuk
mengeluarkan darah.
Oleh karena mengeluarkan darah dengan cara seperti itu termasuk menyakiti
dan melemahkan binatang, maka akhirnya diharamkanlah darah tersebut oleh Allah
s.w.t.
2.1.7 Daging Babi
3) Yang ketiga ialah daging babi. Naluri manusia yang baik sudah barang
tentu tidak akan menyukainya, karena makanan-makanan babi itu yang kotor-kotor
dan najis. Ilmu kedokteran sekarang ini mengakui, bahwa makan daging babi itu
sangat berbahaya untuk seluruh daerah, lebih-lebih di daerah panas. Ini
diperoleh berdasarkan penyelidikan ilmiah, bahwa makan daging babi itu salah
satu sebab timbulnya cacing pita yang sangat berbahaya. Dan barangkali
pengetahuan modern berikutnya akan lebih banyak dapat menyingkap rahasia
haramnya babi ini daripada hari kini. Maka tepatlah apa yang ditegaskan Allah:
"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 156)
Sementara ahli penyelidik berpendapat, bahwa membiasakan makan daging babi
dapat melemahkan perasaan cemburu terhadap hal-hal yang terlarang.
2.1.8 Binatang Yang Disembelih Bukan Karena Allah
4) Yang keempat ialah binatang yang disembelih bukan karena Allah, yaitu
binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya nama
berhala Kaum penyembah berhala (watsaniyyin) dahulu apabila hendak menyembelih
binatang, mereka sebut nama-nama berhala mereka seperti Laata dan Uzza. Ini
berarti suatu taqarrub kepada selain Allah dan menyembah kepada selain asma'
Allah yang Maha Besar.
Jadi sebab (illah) diharamkannya binatang yang disembelih bukan karena
Allah di sini ialah semata-mata illah agama, dengan tujuan untuk melindungi
aqidah tauhid, kemurnian aqidah dan memberantas kemusyrikan dengan segala macam
manifestasi berhalanya dalam seluruh lapangan.
Allah yang menjadikan manusia, yang menyerahkan semua di bumi ini kepada
manusia dan yang menjinakkan binatang untuk manusia, telah memberikan perkenan
kepada manusia untuk mengalirkan darah binatang tersebut guna memenuhi
kepentingan manusia dengan menyebut asma'Nya ketika menyembelih. Dengan
demikian, menyebut asma' Allah ketika itu berarti suatu pengakuan, bahwa Dialah
yang menjadikan binatang yang hidup ini, dan kini telah memberi perkenan untuk
menyembelihnya.
Oleh karena itu, menyebut selain nama Allah ketika menyembelih berarti
meniadakan perkenan ini dan dia berhak menerima larangan memakan binatang yang
disembelih itu.
2.1.9 Macam-Macam Bangkai
Empat macam binatang yang disebutkan di atas adalah masih terlalu global
(mujmal), dan kemudian diperinci dalam surah al-Maidah menjadi 10 macam,
seperti yang telah kami sebutkan di atas dalam pembicaraan tentang bangkai,
yang perinciannya adalah sebagai berikut:
5. Al-Munkhaniqah, yaitu binatang yang mati karena dicekik, baik dengan
cara menghimpit leher binatang tersebut ataupun meletakkan kepala binatang pada
tempat yang sempit dan sebagainya sehingga binatang tersebut mati.
6. Al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan
sebagainya.
7. Al-Mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi
sehingga mati. Yang seperti ini ialah binatang yang jatuh dalam sumur.
8. An-Nathihah, yaitu binatang yang baku hantam antara satu dengan lain,
sehingga mati.
9. Maa akalas sabu, yaitu binatang yang disergap oleh binatang buas dengan
dimakan sebagian dagingnya sehingga mati.
Sesudah menyebutkan lima macam binatang (No. 5 sampai dengan 9) ini
kemudian Allah menyatakan "Kecuali binatang yang kamu sembelih,"
yakni apabila binatang-binatang tersebut kamu dapati masih hidup, maka
sembelihlah. Jadi binatang-binatang tersebut menjadi halal kalau kamu sembelih
dan sebagainya sebagaimana yang akan kita bicarakan di bab berikutnya.
Untuk mengetahui kebenaran apa yang telah disebutkan di atas tentang
halalnya binatang tersebut kalau masih ada sisa umur, yaitu cukup dengan
memperhatikan apa yang dikatakan oleh Ali r,a. Kata Ali: "Kalau kamu masih
sempat menyembelih binatang-binatang yang jatuh dari atas, yang dipukul dan
yang berbaku hantam itu..., karena masih bergerak (kaki muka) atau kakinya,
maka makanlah." Dan kata Dhahhak: "Orang-orang jahiliah dahulu pernah
makan binatang-binatang tersebut, kemudian Allah mengharamkannya kecuali kalau
sempat disembelih. Jika dijumpai binatang-binatang tersebut masih bergerak
kakinya, ekornya atau kerlingan matanya dan kemudian sempat disembelih, maka
halallah dia."1
2.1.10 Hikmah Diharamkannya Macam-Macam Binatang di Atas
Hikmah diharamkannya
macam-macam bangkai binatang seperti tertera di atas agak kurang begitu tampak
di sini. Tetapi hikmah yang lebih kuat, ialah: bahwa Allah s.w.t. mengetahui
akan perlunya manusia kepada binatang, kasihsayangnya dan pemeliharaannya. Oleh
karena itu tidak pantas kalau manusia dibiarkan begitu saja dengan sesukanya
untuk mencekik dan menyiksa binatang dengan memukul hingga mati seperti yang
biasa dilakukan oleh penggembala-penggembala yang keras hati, khususnya bagi
mereka yang diupah, dan mereka yang suka mengadu binatang, misalnya mengadu
antara dua kerbau, dua kambing sehingga matilah binatang-binatang tersebut atau
hampir-hampir mati.
Dari ini, maka para ulama ahli fiqih menetapkan haramnya binatang yang mati
karena beradu, sekalipun terluka karena tanduk dan darahnya mengalir dari
tempat penyembelihannya. Sebab maksud diharamkannya di sini, menurut apa yang
saya ketahui, yaitu sebagai hukuman bagi orang yang membiarkan
binatang-binatang tersebut beradu sehingga satu sama lain bunuh-membunuh. Maka
diharamkannya binatang tersebut adalah merupakan suatu hukuman yang paling
tepat. Adapun binatang yang disergap (dimakan) oleh binatang buas, didalamnya
--dan yang terpokok-- terdapat unsur penghargaan bagi manusia dan kebersihan
dari sisa makanan binatang buas. Dimana hal ini biasa dilakukan orang-orang
jahiliah, yaitu mereka makan sisa-sisa daging yang dimakan binatang buas,
seperti kambing, unta, sapi dan sebagainya, kemudian hal tersebut diharamkan
Allah buat orang-orang mu'min.
2.1.11 Binatang yang Disembelih Untuk Berhala
10) Perincian yang ke10 dari macam-macam binatang yang haram, yaitu: Yang
disembelih untuk berhala (maa dzubiha alan nusub). Nushub sama dengan Manshub
artinya: yang ditegakkan. Maksudnya yaitu berhala atau batu yang ditegakkan
sebagai tanda suatu penyembahan selain Allah. Tanda-tanda ini berada di sekitar
Ka'bah.
Orang-orang jahiliah biasa menyembelih binatang untuk dihadiahkan kepada
berhala-berhala tersebut dengan maksud bertaqarrub kepada Tuhannya.
Binatang-binatang yang disembelih untuk maksud di atas termasuk salah satu
macam yang disembelih bukan karena Allah.
Baik yang disembelih bukan karena Allah ataupun yang disembelih untuk
berhala, kedua-duanya adalah suatu pengagungan terhadap berhala (thaghut). Bedanya
ialah: bahwa binatang yang disembelih bukan karena Allah itu, kadang-kadang
disembelih untuk sesuatu patung, tetapi binatang itu sendiri jauh dari patung
tersebut dan jauh dari berhala (nushub), tetapi di situ disebutnya nama thaghut
(berhala). Adapun binatang yang disembelih untuk berhala, yaitu mesti binatang
tersebut disembelih di dekat patung tersebut dan tidak mesti dengan menyebut
nama selain Allah.
Karena berhala-berhala dan patung-patung itu berada di sekitar Ka'bah,
sedang sementara orang beranggapan, bahwa menyembelih untuk dihadiahkan kepada
berhala-berhala tersebut berarti suatu penghormatan kepada Baitullah, maka
anggapan seperti itu oleh al-Quran dihilangkannya dan ditetapkanlah haramnya
binatang tersebut dengan nas yang tegas dan jelas, sekalipun itu difahami dari
kalimat maa uhilla lighairillah (apa-apa yang disembelih bukan karena Allah).
2.1.12 Ikan dan Belalang Dapat Dikecualikan dari Bangkai
Ada dua binatang yang dikecualikan oleh syariat Islam dari kategori
bangkai, yaitu belalang, ikan dan sebagainya dari macam binatang yang hidup di
dalam air.
Rasulullah s.a.w. ketika ditanya tentang masalah air laut, beliau menjawab:
"Laut itu airnya suci dan bangkainya halal." (Riwayat Ahmad dan
ahli sunnah)
Dan firman Allah yang mengatakan:
"Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya." (al-Maidah. 96)
Umar berkata: Yang
dimaksud shaiduhu, yaitu semua binatang yang diburu; sedang yang dimaksud
tha'amuhu (makanannya), yaitu barang yang dicarinya.
Dan kata Ibnu Abbas pula, bahwa yang dimaksud thaamuhu, yaitu bangkainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin
Abdullah diceriterakan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah mengirimkan suatu
angkatan, kemudian mereka itu mendapatkan seekor ikan besar yang sudah menjadi
bangkai. lkan itu kemudian dimakannya selama 20 hari lebih. Setelah mereka tiba
di Madinah, diceriterakanlah hal tersebut kepada Nabi, maka jawab Nabi:
"Makanlah rezeki yang telah Allah keluarkan untuk kamu itu, berilah
aku kalau kamu ada sisa. Lantas salah seorang diantara mereka ada yang
memberinya sedikit. Kemudian Nabi memakannya." (Riwayat Bukhari)
Yang termasuk dalam kategori ikan yaitu belalang. Dalam hal ini Rasulullah
s.a.w. memberikan suatu perkenan untuk dimakannya walaupun sudah menjadi
bangkai, karena satu hal yang tidak mungkin untuk menyembelihnya.
Ibnu Abi Aufa mengatakan:
"Kami pernah berperang bersama Nabi tujuh kali peperangan, kami makan
belalang bersama beliau." (Riwayat Jama'ah, kecuali Ibnu Majah)
2.1.13 Memanfaatkan Kulit Tulang dan Rambut Bangkai
Yang dimaksud haramnya bangkai, hanyalah soal
memakannya. Adapun memanfaatkan kulitnya, tanduknya, tulangnya atau rambutnya
tidaklah terlarang. Bahkan satu hal yang terpuji, karena barang-barang tersebut
masih mungkin digunakan. Oleh karena itu tidak boleh disia-siakan.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan, bahwa salah seorang hamba Maimunah yang telah
dimerdekakan (maulah) pernah diberi hadiah seekor kambing, kemudian kambing itu
mati dan secara kebetulan Rasulullah berjalan melihat bangkai kambing tersebut,
maka bersabdalah beliau:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkan?"
Para sahabat menjawab: "Itu kan bangkai!" Maka jawab Rasulullah:
"Yang diharamkan itu hanyalah memakannya." (Riwayat Jama'ah, kecuali
Ibnu Majah)
Rasulullah s.a.w. menerangkan cara untuk membersihkannya, yaitu dengan
jalan disamak.
Sabda beliau:
"Menyamak kulit binatang itu berarti penyembelihannya." (Riwayat Abu Daud dan Nasal)
Yakni, bahwa menyamak kulit itu sama dengan menyembelih untuk menjadikan
kambing tersebut menjadi halal.
Dalam salah satu riwayat disebutkan:
"Menyamak kulit bangkai itu dapat menghilangkan kotorannya." (Riwayat
al-Hakim)
Dan diriwayatkan pula, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kulit apa saja kalau sudah disamak, maka sungguh menjadi
suci/bersih." (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Kulit yang disebut dalam hadis-hadis ini adalah umum, meliputi kulit anjing
dan kulit babi. Yang berpendapat demikian ialah madzhab Dhahiri, Abu Yusuf dan
diperkuat oleh Imam Syaukani.
Kata Saudah Umul Mu'minin: "Kami mempunyai kambing, kemudian kambing
itu mati, lantas kami samak kulitnya dan kami pakai untuk menyimpan korma
supaya menjadi manis, dan akhirnya kami jadikan suatu girbah (suatu tempat yang
terbuat dari kulit binatang yang biasa dipakai oleh orang Arab zaman dahulu
untuk mengambil air dan sebagainya)." (Riwayat Bukhari).
2.1.14 Keadaan Darurat dan Pengecualiannya
Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku
ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya
tersendiri, yaitu Halal.
Firman Allah:
"Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas
kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am:
119)
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah
dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas,
maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha
Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah
makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas
darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan
kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya
sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh
menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.
Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar
dapat mempertahankan sisa hidupnya.
Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira
baghin wala 'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.
Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk
memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu:
Tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan
daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan
tegas Ia mengatakan:
"Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja
untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha
Belas-kasih. " (al-Maidah: 3)
2.1.15 Daruratnya Berobat
Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada
memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para
ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat
itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat
ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang
Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)
Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai
keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan
bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup. Dalil yang
dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat
memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk
memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru
karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera
pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.2
Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang
selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan
rekomendasinya.
Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus
dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat
bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2. Tidak
ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya
suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik
pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita
yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercava, bahwa tidak ada
darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat. Tetapi
kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat' (bersiap-siap
dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang
dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yany haram.
2.1.16 Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu
Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai
makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan
yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang
masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi
keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan
saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan
satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.
Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam
terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh
Ibnu Hazm: "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan
terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan
dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban
yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan
makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.
Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa
yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu.
Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman
qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan
mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat
digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).
Seperti firman Allah:
"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum
Allah." (al-Hujurat: 9)
Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada
kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi
orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.3
2.1.17 Penyembelihan Menurut Syara'
2.1.17.1 Binatang Laut dan Darat
BINATANG, dilihat dari segi tempatnya ada dua macam: Binatang laut dan
binatang darat.
2.1.17.1.1 Binatang laut yaitu semua binatang yang hidupnya di dalam air
Binatang ini semua halal, didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu
diambilnya itu masih dalam keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau
tidak. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti:
anjing laut, babi laut dan sebagainya.
Bagi yang mengambilnya tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang
muslim ataupun orang kafir. Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada
hamba-hambaNya dengan memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang
laut, tidak ada satupun yang diharamkan dan tidak ada satupun persyaratan untuk
menyembelihnya seperti yang berlaku pada binatang lainnya. Bahkan Allah
menyerahkan bulat-bulat kepada manusia untuk mengambil dan menjadikannya
sebagai modal kekayaan menurut kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin
untuk tidak menyiksanya.
Firman Allah:
"Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging
yang lembut." (an-Nahl: 14)
"Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai
perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar." (al-Maidah: 96)
Di sini Allah menyampaikan secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan,
sedang Allah tidak akan lupa (wamakana rabbuka nasiyan).
2.1.17.1.2 Binatang darat yang haram
Tentang binatang darat, al-Quran tidak jelas menentukan yang haram,
melainkan babi, darah, bangkai dan yang disembelih bukan karena Allah,
sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat terdahulu, dengan susunan yang
terbatas pada empat macam dan diperinci menjadi 10 macam.
Tetapi di samping itu al-Quran juga mengatakan:
"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 157)
Yang disebut Khabaits (yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor
oleh perasaan manusia secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap
tidak kotor. Justru itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota
pada hari Khaibar.
Hadisnya itu berbunyi sebagai berikut:
Dan untuk itu
diriwayatkan bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang
berkuku mencengkeram:
"Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan
burung yang berkuku mencengkeram." (Riwayat Bukhari)
Yang dimaksud Binatang Was (siba'), yaitu binatang yang menangkap binatang
lainnya dan memakan dengan bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan
apa yang dimaksud dengan burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi),
yaitu yang kukunya itu dapat melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak
bangkai dan burung yang sejenis dengan elang.
Ibnu Abbas berpendapat, bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat
seperti yang tersebut dalam ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di
atas dan lain-lain sebagai mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena
hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya.
Ibnu Abbas juga pernah berkata: "Bahwa orang-orang jahiliah pernah
makan sesuatu dan meninggalkan sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah
mengutus nabiNya dan menurunkan kitabNya. Di situlah menghalalkan yang halal
dan mengharamkan yang haram. Oleh karena itu, apa yang dihalalkan, berarti
halal, dan apa yang diharamkan, berarti haram, sedang yang didiamkan berarti
dimaafkan (halal). Kemudian ia membaca ayat:
"Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku
tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali ..." (al-An'am: 145)5
Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai kota itu
halal.
Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak
menganggap haram terhadap binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia
hanya menganggap makruh.
Yang sudah pasti, bahwa penyembelihan secara syara' tidak mempengaruhi
halalnya binatang-binatang yang haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya
kulit sehingga tidak perlu lagi disamak.
3. Muhalla 6:159.
4. Sementara ada juga berpendapat, bahwa haramnya
keledai kota di sini karena ada suatu sebab tertentu, yaitu karena saat itu
keledai-keledai kota
sedang dibutuhkan untuk dipakai kendaraan. Hal ini
sebagaimana yang berlaku sekarang sementara pemerintah melarang memotong anak
sapi, karena daging yang sangat dibutuhkan itu ialah menunggu besarnya sapi
tersebut.
5.
Riwayat Abu Daud, dari Ibnu Abbas.
Post a Comment