Penolakan Farid Dalam Persoalan Ini
Penolakan Farid Dalam Persoalan Ini
"Kenyataan
inilah yang berlaku dalam undang-undang perkawinan sejalan dengan undang-undang
sipil yang berlaku, yang samasekali bertentangan dengan ajaran agama dan hampir
tidak dijumpai selain bangsa Barat yang beragama Kristen. Seluruh aliran dan
kepercayaan, termasuk di dalamnya kaum Brahma, Buddhis, Polytheis dan Majusi,
semuanya melaksanakan undang-undang perkawinannya menurut tuntunan agamanya
masing-masing. Sekalipun kadang-kadang kita dapati di antara mereka ada yang
membuat undang-undang sipil dalam beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran
agamanya. Tetapi tidak kita jumpai di kalangan mereka yang membuat
undang-undang sipil dalam bidang perkawinan yakni dalam urusan perkawinan,
talaq dan sebagainya bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebab aliran dan
kepercayaan-kepercayaan ini memungkinkan untuk menjalankan praktek hidup dan
menyalurkan naluri manusia dalam persoalan ini (baca perkawinan). Hanya
orang-orang Kristen saja yang mengingkari agamanya dari segi praktek perkawinan
pada umumnya dan dalam persoalan talaq pada khususnya. Karena mereka sendiri
sudah mengetahui, bahwa ajaran agamanya dalam persoalan ini bertentangan dengan
realita dan bersikap masa bodoh terhadap naluri manusia dan tidak mungkin dapat
diterapkan dalam kehidupan."24
Agama Kristen Hanya Obat Sementara, Bukan Syariat yang Universal
Kalau
benar apa yang terdapat dalam Injil tentang persoalan talaq, bukan mengalami
perubahan sebagaimana yang terjadi pada abad-abad pertama, maka tidak diragukan
lagi, bahwa orang yang mau berfikir tentang Injil --sampai pun yang ada
sekarang ini-- akan mengetahui dengan jelas, bahwa al-Masih tidak bermaksud
menetapkan agama ini sebagai hukum yang universal dan abadi. Tetapi dia hanya
bermaksud akan melawan kesewenang-wenangan orang Yahudi terhadap hal-hal yang
oleh Allah telah diberikan rukhshah, sebagaimana apa yang mereka perbuat dalam
masalah talaq ini.
Injil
Matius fasal 19 menerangkan: "Tatkala Jesus telah menyudahkan segala
ucapan itu, berangkatlah Ia dari tanah Galilea, lalu sampai ke tanah Judea yang di seberang sungai Jordan . Maka amatlah banyak orang
mengikuti dia, lalu disembuhkannya mereka itu di sana . Maka datanglah orang Parisi kepadanya
hendak mencobai dia, serta bertanya kepadanya: Halalkah orang mencerai bininya
karena tiap-tiap sebab? Maka jawab Jesus, katanya: Tidakkah kamu membaca, bahwa
Ia yang menjadikan manusia pada mulanya menjadikan laki-laki dan perempuan,
lalu berfirman: "Karena sebab itu orang hendaklah meninggalkan
ibu-bapanya, dan berdamping dengan bininya; lalu keduanya itu menjadi
saudara-daging?" Sehingga mereka itu bukannya lagi dua orang, melainkan
sedarah-daging adanya. Sebab itu yang telah dijodohkan oleh Allah, janganlah
diceraikan oleh manusia. Maka kata mereka itu kepadanya: Kalau begitu, apakah
sebabnya Musa menyuruh memberi surat
talaq serta menceraikan dia? Maka kata Jesus kepada mereka itu: Oleh sebab
keras hatimu, Musa meluluskan kamu menceraikan binimu; tetapi pada mulanya
bukan demikian adanya. Aku berkata kepadamu: Barangsiapa yang menceraikan
bininya kecuali sebab hal zina, lalu berbinikan orang lain, ialah berzina. Dan
barangsiapa berbinikan perempuan yang sudah diceraikan demikian, iapun berzina
juga. Maka kata murid-murid itu kepadanya: Jikalau demikian ini perihal
laki-laki dengan bini, tiada berfaedah kawin." (Matius
19: 1 - 10)25
Dari
percakapan ini jelas, bahwa Jesus (Isa) hanya bermaksud membatasi
kesewenang-wenangan orang Yahudi dalam mempergunakan izin talaq yang telah
diberikan Musa kepadanya, kemudian ia menghukumi mereka ini dengan larangan
bercerai kecuali sebab si perempuan itu berbuat zina. Dengan demikian, apa yang
diperbuatnya itu adalah obat sementara untuk waktu tertentu, sehingga datanglah
agama yang universal dan abadi; yaitu dengan diutusnya Nabi Muhammad s.a.w.
Tidak
rasional kalau al-Masih menghendaki hukumnya ini bersifat abadi dan berlaku
untuk segenap ummat manusia. Sebab murid-muridnya sendiri telah menyatakan
keberatannya terhadap hukum yang sangat berat ini. Mereka berkata:
"Jikalau demikian ini perihal laki dengan bini, tiada berfaedah kawin."
Sebab semata-mata kawin dengan seorang perempuan, berarti dia menjadikan
perempuan itu sebagai belenggu di lehernya yang tidak mungkin dapat dilepaskan
dengan apapun, kendatipun hatinya penuh kebencian, kesempitan dan kemurkaan;
dan betapapun watak dan pembawaan kedua belah pihak itu berbeda.
Dahulukala
seorang failasuf berkata: "Sebesar-besar bencana, adalah beristerikan
seorang perempuan yang tidak kamu setujui tetapi tidak juga kamu cerai."
Dan
berkatalah seorang penyair Arab:
Barangsiapa
menghalang-halangi kebebasan dunia,
Maka
pasti dia akan menemui musuh dari kawan seiringnya sendiri.
Islam Membatasi Persoalan Talaq
Syariat
Islam telah meletakkan beberapa ikatan yang membendung jalan yang akan membawa
kepada perceraian, sehingga terbatas dalam lingkaran yang sangat sempit.
Oleh
karena itu talaq yang dijatuhkan tanpa suatu alasan yang mengharuskan dan tanpa
meninjau jalan-jalan lain seperti yang kami sebutkan di atas, adalah talaq yang
diharamkan dalam Islam. Sebab talaq seperti itu --sebagaimana dikatakan oleh
sebagian ahli fiqih-- cukup membahayakan, baik pada dirinya sendiri maupun pada
isterinya. Sedang mengabaikan maslahah yang sangat diperlukan untuk kedua belah
pihak tanpa ada suatu kepentingan yang mengharuskan, hukumnya haram, seperti
merusak harta benda. Sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
"Tidak
boleh membuat bahaya dan membalas bahaya." (Riwayat Ibnu Majah dan
Thabarani dan lain-lain)
Adapun
apa yang diperbuat oleh orang-orang yang suka berselera dan suka mencerai isteri,
adalah satu hal yang samasekali tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya. Seperti
sabda Rasulullah s.a.w.:
"Saya
tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan yang suka kawin
cerai." (Riwayat Thabarani dan Daraquthni)
Dan
sabdanya pula:
"Sesungguhnya
Allah tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan-perempuan
yang suka kawin cerai." (Riwayat Thabarani)
Abdullah
bin Abbas juga berkata: "Talaq itu hanya dibenarkan karena suatu
kepentingan."
Mencerai Perempuan Waktu Datang Bulan
Apabila
ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talaq, tidak berarti seorang
muslim diperkenankan untuk segera menjatuhkan talaqnya kapan pun ia suka,
tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat. Sedang waktu yang tepat itu --menurut
yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih,
yakni tidak datang bulan, baru saja melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis
disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan tersebut
jelas dalam keadaan mengandung,
Karena
dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas, mengharuskan seorang suami untuk
menjauhi isterinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat
vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena itu si suami
diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci,
kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu disetubuhinya.
Sebagaimana
diharamkannya mencerai isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai
di waktu suci sesudah bersetubuh. Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu
memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si
suami setelah mengetahui bahwa isterinya hamil kemudian dia akan merubah
niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama isteri karena ada janin yang
dikandungnya.
Tetapi
bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si
perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk
bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di saat
yang demikian dia tidak berdosa mencerainya.
Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar
Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu
Rasulullah s.a.w. masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah s.a.w.,
maka jawab Nabi kepada Umar:
"Suruhlah
dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang
isterinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut
mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai
Nabi! Apabila kamu hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya.
Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci."
Di satu
riwayat disebutkan:
"Perintahlah
dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian cerailah dia dalam keadaan
suci atau mengandung." (Riwayat Bukhari)
Akan
tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau
tidak?
Pendapat
yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara
ahli fiqih berpendapat tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak
menurut aturan syara' dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin
dapat dikatakan berlaku dan sah?
Diriwayatkan:
"Sesungguhnya
Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang
mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan kepada si penanya
tentang kisahnya ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan Rasulullah s.a.
w. niengembalikan isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya
sedikitpun." (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sahih)
Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram
Seorang
muslim tidak dibenarkan menjadikan talaq sebagai sumpah untuk mengerjakan ini
atau meninggalkan itu, atau untuk mengancam isterinya. Misalnya ia berkata
kepada isterinya: "Apabila dia berbuat begitu, maka ia tertalaq."
Sumpah
dalam Islam mempunyai redaksi khusus, tidak boleh lain, yaitu bersumpah dengan
nama Allah: Demi Allah. Sebab Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Barangsiapa
bersumpah dengan selain asma' Allah, maka sungguh ia berbuat syirik."
(Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)
Dan
sabdanya pula:
"Barangsiapa
bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diam." (Riwayat
Muslim)
Perempuan yang Dicerai Tetap Tinggal di Rumah Suami Selama dalam Iddah
Dalam
syariat Islam, perempuan yang dicerai wajib tetap tinggal di rumah suaminya
selama dalam iddah. Dia diharamkan keluar rumah, dan suami diharamkan
mengeluarkan bekas isterinya itu dari rumah tanpa suatu alasan yang dapat
dibenarkan.
Hal ini
disebabkan suami, selama dalam iddah, masih diperkenankan merujuk dan
mengembalikan isteri kepada perlindungan perkawinan untuk sekali lagi --apabila
talaq ini baru satu atau dua kali. Sedang tinggalnya seorang isteri di dalam
rumah suami sangat memungkinkan untuk membangkitkan perasaan suami dan
mengingat-ingat serta berfikir sebelum habis iddah itu, dan sebelum berakhirnya
bulan-bulan iddah dimana perempuan diperintahkan supaya menunggu guna
mendapatkan suatu keyakinan bersihnya rahim serta melindungi hak suami dan
kehormatan isteri. Sebab hati selalu berubah, fikiran selalu baru, seorang yang
sedang marah kadang-kadang menjadi rela, orang yang naik pitam kadang-kadang
menjadi dingin dan orang yang benci kadang-kadang menjadi cinta.
Sehubungan
dengan persoalan perempuan yang dicerai ini, Allah s.w.t. telah berfirman dalam
al-Quran sebagai berikut:
"Dan
takutlah kamu kepada Allah, Tuhanmu. Jangan kamu usir mereka itu dari
rumah-rumah mereka dan jangan sampai mereka itu keluar rumah, kecuali apabila
mereka berbuat kejahatan yang terang-terangan; dan yang demikian itu adalah
batas-batas ketentuan Allah, dan barangsiapa melanggar batas-batas ketentuan
Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dirinya sendiri; kamu tidak
tahu barangkali Allah akan mengadakan hal baru sesudah itu." (at-Thalaq: 1)
Kalau
perceraian antara suami-isteri itu satu hal yang tidak mungkin dielakkan lagi,
maka yang dituntut dari kedua belah pihak supaya perceraiannya itu dilakukan
dengan baik, tidak menyakitkan, tidak bikin-bikin dan tidak mengabaikan hak.
Firman
Allah:
"Tahanlah
mereka dengan baik atau cerailah mereka dengan baik pula." (at-Thalaq: 2)
"Maka
tahanlah dengan baik atau lepaslah dengan baik pula." (at-Thalaq: 299)
"Untuk
perempuan-perempuan yang dicerai harus diberi hiburan (mata') dengan baik,
sebagai kewajiban atas orang-orang yang taqwa." (al-Baqarah: 241)
25. Huququl Islam.
Post a Comment