MAWLID
MAWLID
Walaupun Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada 12 Rabiulawwal, namun
kelaziman di Indonesia hari lahir (mawlid) RasululLah diperingati dalam 3 bulan
berturut-turut: Rabiulawwal, Rabiulakhir dan Jumadilawwal, yaitu dalam bulan
ke-3, ke-4 dan ke-5 penanggalan Hijriyah. Bentuk peringatan itu juga
bermacam-macam, seperti misalnya mulai dari bentuk membaca riwayat Nabi karya
Ja'far Al Barzanji, ataupun dalam bentuk ceramah, sampai kepada diskusi-diskusi.
Tidak ketatnya waktu dan bentuk peringatan itu dapat dimaklumi oleh karena dalam
Al Quran tidak ada suruhan untuk memperingati kelahiran RasululLah, demikian
pula di dalam sunnah, beliau tidak pernah menyuruh ummatnya untuk aktivitas
tersebut.
Walaupun tidak ada dalam Al Quran maupun dalam sunnah Nabi, kelahiran
RasululLah itu diperingati juga, karena dalam Al Quran dan sabda Nabi tidak ada
larangan untuk memperingati mawlid.*) Lagi pula sesungguhnya
dalam peringatan itu disampaikan pesan-pesan yang bernilai Islam. Dan itu
berarti peringatan mawlid itu merupakan sub-sistem dari sistem pendidikan Islam,
yaitu pendidikan informal yang termasuk dalam jenis pendidikan lingkungan.
Adapun pendidikan informal itu, suatu sistem pendidikan yang tidak menuntut
persyaratan formal, baik bagi yang menyampaikan pesan, maupun khalayak yang akan
menerima pesan. Demikian pula tidak ada kurikulum tertentu, juga tidak mesti
pada tempat yang tertentu.
Meskipun peringatan mawlid yang sifatnya informal itu tidak mempunyai
kurikulum tertentu, namun biasanya ada dua thema sentral dari pesan-pesan dalam
peringatan-peringatan itu. Yang pertama adalah dari S. Al Ahzab 21, laqad kaana
lakum fie rasulilLahi uswatun hasanah, adalah bagi kamu pada diri RasululLah
terdapat teladan yang baik. Dan thema yang kedua adalah dari S. Al Anbiyaa' 157,
wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil'aalamien, dan tidaklah Kuutus engkau (hai
Muhammad) untuk rahmat bagi beberapa alam (alam sekitar, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup).
Sebenarnya ada thema lain yang kurang begitu diperhatikan dalam
peringatan mawlid ini. Rasulullah SAW pada waktu hijrah tiba di Madinah dalam
bulan Rabiulawwal. Dengan demikian dilihat dari segi bulan, yaitu Rabiulawwal,
mawlid Nabi tidak dapat dilepaskan dari thema hijrah. Memang seperti kita telah
maklumi bersama dilihat dari segi tahun, peristiwa hijrah itu dijadikan patokan
perhitungan tahun dalam sistem Penanggalan Hijriyah. Akan tetapi RasululLah pada
waktu hijrah tidaklah sampai di Madinah dalam bulan Muharram, melainkan dalam
bulan Rabiulawwal.
Dalam menyambut mawlid Nabi SAW, maka isi tulisan ini mengambil thema
hijrah. Hijrah adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam da'wah risalah
(message) RasululLah SAW. Perjuangan Nabi SAW untuk menegakkan kebenaran,
membawa risalah, berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap Makkiyah dan tahap
Madaniyah. Dalam tahap yang pertama yaitu di Makkah, adalah tahap pembinaan
aqiedah, pembinaan pribadi Muslim. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Makkah,
yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyah, kalimatnya pendek-pendek berisikan
materi keimanan. Dalam periode Makkah ini ummat Islam menjadi maf'ulun bih,
obyek, bulan-bulanan. Yaitu ummat Islam hidup dalam suasana lingkungan yang
penuh tekanan, siksaan dan terror. Keadaan lingkungan yang demikian itu ibarat
palu godam yang menempa pribadi-pribadi Muslim di Makkah itu menjadi mantap
aqiedahnya, tahan uji, tahan derita, bermental baja. Ujian akhir pembinaan
aqiedah itu terlaksana 20 bulan sebelum hijrah, yaitu peristiwa Isra-Mi'raj
RasululLah SAW. Keimanan ummat Islam di Makkah diuji, percaya atau tidak,
beriman atau kafir terhadap peristiwa itu. Maka terjadilah kristalisasi ummat
Islam. Ada yang lulus dalam ujian keimanan ini, tetapi tidak kurang pula kembali
menjadi kafir. Ummat Islam secara kwantitas menurun, namun secara kwalitas
meningkat. Mereka inilah yang menjadi kaum Muhajirin, orang-orang berhijrah, 20
bulan kemudian.
Peristiwa hijrah merupakan titik balik perjuangan RasululLah dan ummat
Islam. Yaitu dari keadaan yang maf'ulun bih, obyek, di Makkah berbalik menjadi
faa'il, subyek, pelaku di Madienah. Kaum Anshar di Madinah bersama-sama dengan
kaum Muhajirin yang dari Makkah membina masyarakat dan Negara Islam di Madinah.
Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Madinah, yang disebut dengan ayat-ayat
Madaniyah, kalimatnya panjang-panjang dan berisikan pedoman-pedoman tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seruan-seruan ayat-ayat bukan lagi ya
ayyuhalladziena aamanuw, hai orang-orang beriman, melainkan menjadi ya
ayyuhannaas, hai manusia.
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara disebutkan bahwa Pembangunan
Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Maka secara intuitif Bangsa Indonesia
mencontoh metode yang telah dilaksnakan oleh RasuluLlah SAW seperti yang dibahas
di atas: pembangunan aqiedah, yaitu pemabangunan manusia seutuhnya di Makkah,
yang disusul dengan pembangunan masyarakat di Madinah. Itu persamaannya.
Perbedaannya ialah metode pembangunan Nabi SAW dilaksanakan secara beruntun,
seri, pembangunan manusia lebih dahulu. Setelah manusianya selesai dibangun,
barulah dilaksanakan pembangunan masyarakat. Artinya manusia-manusia yang akan
membangun masyarakat itu telah siap dan matang untuk membangun. Sedangkan yang
kita lakukan sekarang, pembangunan manusia dengan pembangunan masyarakat
dilaksanakan secara serempak, paralel. Dengan demikian ada manusia yang sudah
siap dan matang untuk membangun, namun tentu ada pula yang belum siap dan matang
untuk membangun, disuruh juga membangun. Maka akibatnya Badan Pengawas Keuangan,
Irjen, dan pengadilan menjadi sibuk dibuatnya. Inilah efek sampingan dari
berpacu dengan waktu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment