QUR-AN DAN SAINS MODERN (1/3)
I. PENGANTAR
Secara apriori mengasosiasikan Qur-an dengan Sains, adalah
mengherankan, apalagi jika asosiasi tersebut berkenaan
dengan hubungan harmonis dan bukan perselisihan antara
Qur-an dan Sains. Bukankah untuk menghadapkan suatu kitab
suci dengan pemikiran-pemikiran yang tak ada hubungannya
seperti ilmu pengetahuan, merupakan hal yang paradoks bagi
kebanyakan orang pada zaman ini? Sesungguhnya sekarang para
ahli Sains yang kebanyakannya terpengaruh oleh teori
materialis, menunjukkan sikap acuh tak acuh bahkan sifat
rnerendahkan terhadap soal-soal agama, karena mereka
memandangnya sebagai hal yang didasarkan atas legenda.
Selain daripada itu, di negeri Barat (negeri pengarang, dan
kalangan orang-orang yang terpelajar menurut sistem Barat),
jika seseorang berbicara tentang Sains dan agama, kata agama
itu difahami sebagai agama Yahudi dan Kristen tetapi tak ada
orang yang memasukkan Islam dalam kata agama itu. Tentang
Islam, orang Barat mempunyai gambaran yang salah dan karena
itu mereka juga menunjukkan penilaian yang salah, sehingga
sampai hari ini sangat susah bagi mereka untuk mendapatkan
gambaran yang tepat dan sesuai dengan ajaran Islam yang
sebenarnya.
Sebagai pengantar untuk konfrontasi antara Wahyu Islam dan
Sains, adalah sangat perlu untuk memberikan suatu tinjauan
tentang agama yang sangat tidak dikenal di negeri kita
(Europa, Perancis).
Penilaian yang salah terhadap Islam di Barat adalah akibat
kebodohan atau akibat sikap meremehkan dan mencemoohkan yang
dilakukan secara sistematis. Akan tetapi di antara
kekeliruan-kekeliruan yang tersiar, yang paling berbahaya
adalah kekeliruan-kekeliruan atau pemalsuan fakta; jika
kekeliruan penilaian dapat dimaafkan, maka penyajian fakta
yang bertentangan dengan fakta yang sebenarnya, tidak dapat
dimaafkan. Adalah menyedihkan jika kita membaca
kebohongan-kebohongan besar dalam buku-buku yang serius yang
ditulis oleh pengarang-pengarang yang mestinya sangat ahli.
Umpamanya kita baca dalam Encyclopedia Universalis, jilid
VI, artikel : Evangile (Injil), suatu isyarat kepada
perbedaan antara Injil dan Qur-an. Pengarang artikel
tersebut menulis: "Pengarang-pengarang Injil tidak
mengaku-aku, seperti Qur-an, menyampaikan otobiografi
(riwayat hidup diri sendiri) yang didiktekan oleh Tuhan
kepada Rasulnya secara ajaib." Begitulah kata penulis itu,
padahal Qur-an bukan otobiografi. Qur-an adalah tuntunan dan
nasehat. Terjemahan Qur-an yang paling jelek juga dapat
mengungkapkan kenyataan ini kepada pengarang artikel
tersebut. Pernyataan tersebut di atas, yakni bahwa Qur-an
itu otobiografi sama besar kesalahannya dengan orang yang
mengatakan bahwa Injil itu adalah riwayat hidup
pengarangnya.Yang bertanggung jawab tentang pemalsuan
terhadap idea Qur-an itu adalah seorang guru besar di
Fakultas teologi Yesuite di kota Lion (Perancis selatan);
tersiarnya kekeliruan semacam ini telah membantu memberi
gambaran yang salah tentang Qur-an dan Islam.
Walaupun begitu tetap ada harapan untuk memperbaiki keadaan,
karena sekarang agarna-agama tidak hidup sendiri-sendiri;
banyak agama yang mencari perkenalan dan pemahaman timbal
balik. Kita terharu dengan fakta bahwa pada eselon tertinggi
orang-orang Katolik berusaha untuk memelihara hubungan
dengan umat Islam, serta menghilangkan kesalahfahaman dan
mengoreksi gambaran-gambaran yang keliru tentang Islam.
Saya telah menyebutkan perubahan besar yang terjadi
pada-tahun-tahun yang terakhir ini dan menyebutkan pula
suatu dokumen yang dikeluarkan oleh Sekretariat Vatikan
untuk orang-orang bukan Kristen. Dokumen tersebut berjudul:
Orientasi untuk dialog antara umat Kristen dan umat Islam,
dokumen itu sangat berarti karena sikap-sikap baru terhadap
Islam. Dalam cetakan ketiga (1970) kita dapatkan ajakan
untuk "meninjau kembali sikap-sikap kita terhadap Islam, dan
mengkritik purbasangka kita" kita dapatkan pula kata-kata
seperti "kita harus bekerja keras lebih dahulu untuk merubah
cara berfikir saudara-saudara umat Kristen, secara bertahap;
ini adalah yang paling penting," "kita harus meninggalkan
gambaran gambaran kuno yang kita warisi dari masa lampau
atau gambaran-gambaran yang dirubah oleh prasangka dan
fitnahan," "kita harus mengakui ketidak adilan yang
dilakukan oleh Barat yang beragama Kristen terhadap umat
Islam."1 Dokumen Vatikan yang terdiri dari 150 halaman itu
menolak pandangan-pandangan kuno umat Kristen terhadap Islam
dan menerangkan hal-hal yang sebenarnya .
Di bawah judul: "membebaskan diri kita daripada
prasangka-prasangka yang sangat mashur," para penulis
dokumen tersebut mengajak umat Kristen sebagai berikut: "Di
sini kita harus melakukan pembersihan yang mantap dalam cara
berfikir kita. Secara khusus kami pikirkan penilaian
tertentu yang "sudah jadi" yang sering dilakukan orang
secara sembrono terhadap Islam. Adalah sangat penting untuk
tidak menghidup-hidupkan dalam hati sanubari kita,
pandangan-pandangan yang dangkal dan arbitrer yang tidak
dikenal oleh orang Islam yang jujur.
Salah satu daripada pandangan arbitrer yang sangat penting
untuk diberantas adalah pandangan yang mendorong untuk
memakai kata "Allah" secara sistematis untuk menunjukkan
Tuhannya umat Islam, seakan-akan Tuhannya umat Islam itu
bukan Tuhannya umat Kristen.
Allah dalam bahasa Arab berarti Tuhan, Tuhan yang maha Esa,
maha Tunggal. Oleh karena itu untuk menterjemahkannya dalam
bahasa Perancis kita harus rnemakai kata "Dieu," dan tidak
cukup hanya mengambil alih kata arab ("Allah") karena kata
ini tak dimengerti orang Perancis. Bagi umat Islam, Allah
itu juga Tuhannya Nabi Musa dan Tuhannya Yesus."
Dokumen Sekretariat Vatikan bagi umat bukan Kristen
menekankan hal yang fundamental ini sebagai berikut:
"Adalah tak berguna untuk mengikuti pendapat beberapa orang
Barat bahwa Allah itu sesungguhnya bukan Tuhan! Teks-teks
yang dihasilkan oleh Konsili telah membenarkan kata-kata di
atas. Orang tidak akan dapat meringkaskan kepercayaan Islam
tentang Tuhan, secara lebih baik dari kata-kata Lumen
Gentium (cahaya bagi manusia ) bagian dari Dokumen Konsili
Vatikan II (1962-1965) yang berbunyi: "Orang-orang Islam
yang mengikuti aqidah Nabi Ibrahim menyembah bersama kita
kepada Tuhan yang Tunggal, yang maha penyayang, yang akan
mengadili manusia pada hari akhir."2
Semenjak itu orang mengerti mengapa orang Islam melakukan
protes terhadap kebiasaan orang Barat memakai kata 'Allah'
untuk Tuhan. Orang-orang Islam yang terpelajar memuji
terjemahan Qur-an oleh D. Masson yang memakai kata "Dieu"
(Tuhan) dan tidak memakai kata "Allah."3
Orang Islam dan orang Kristen menyembah Tuhan yang maha
Tunggal.
Kemudian Dokumen Vatikan mengkritik penilaian-penilaian lain
yang salah terhadap Islam.
"Fatalisme" Islam, suatu prasangka yang tersiar luas,
dibahas dengan mengutip beberapa ayat Qur-an. Dokumen
Vatikan tersebut menunjukkan hal-hal yang sebalik Fatalisme,
yakni bahwa manusia itu akan diadili menurut tindakannya di
Dunia.
Dokumen Vatikan tersebut juga menunjukkan bahwa konsep
yuridisme atau legalisme dalam Islam itu salah, yang benar
adalah sebaliknya, yakni kesungguhan dalam Iman.
Dibawakannya pula dua ayat yang sangat tidak dikenal orang
di Barat. Ayat pertama: "Tak ada paksaan dalam agama" (Surat
2 ayat 256). Ayat kedua: "Dan Tuhan tidak menjadikan dalam
agama sesuatu hal yang memaksa." (Surat 22 ayat 78)
Dokumen Vatikan tersebut juga menentang ide yang tersiar
luas bahwa Islam itu adalah agama "rasa takut," dan
menjelaskan bahwa Islam adalah agama cinta, cinta kepada
orang-orang yang dekat, cinta yang berakar dalam Iman kepada
Allah. Dokumen Vatikan tersebut juga menolak anggapan bahwa
tak ada "moral Islam," serta anggapan yang dianut oleh orang
Yahudi dan orang Kristen bahwa Islam itu adalah agama
fanatisme. Dalam hal ini Dokumen tersebut mengatakan:
"Sesungguhnya, Islam dalam sejarahnya tidak pernah lebih
fanatik daripada kota-kota suci Kristen ketika kepercayaan
Kristen bercampur dengan nilai politik." Di sini para
pengarang Dokumen Vatikan menyantumkan ayat-ayat Qur-an yang
diterjemahkan oleh orang Barat sebagai "Perang Suci."4
"Perang suci yang dimaksudkan, dalam bahasa Arabnya adalah:
Al Jihad fi sabililah, usaha keras untuk menyiarkan agama
Islam dan mempertahankannya terhadap orang-orang yang
melakukan agressi." Dokumen Vatikan meneruskan
keterangannya: "Al Jihad bukan "kherem" yang tersebut dalam
Injil. Jihad tidak bermaksud untuk memusnahkan orang lain,
akan tetapi untuk menyiarkan hak-hak Tuhan dan hak-hak
manusia di negeri-negeri baru."
Kekerasan yang timbul dalam Jihad adalah gejala-gejala yang
mengikuti hukum perang. Pada waktu peperangan Salib bukanlah
orang- Islam yang selalu melakukan pembantaian
besar-besaran.
Dokumen Vatikan akhirnya membicarakan purbasangka bahwa
Islam itu adalah agama beku yang mengungkung para pengkutnya
dalam Abad Pertengahan yang sudah lampau dan menjadikan
mereka tidak sanggup untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan
tehnik pada zaman modern. Dokumen tersebut menyebutkan
perbandingan dengan situasi-situasi serupa yang terdapat di
negara-negara Kristen dan menyatakan "Kami menemukan dalam
perkembangan tradisional pemikiran Islam suatu prinsip
evolusi yang dapat menjadi pedoman untuk masyarakat
beradab."
Bahwa Vatikan mempertahankan Islam, saya yakin, akan
mengherankan pengikut-pengikut agama masa kini, baik ia
orang Yahudi, orang Kristen atau orang lslam. Gejala
tersebut merupakan manifestasi kesungguhan dan pikiran yang
terbuka yang bertentangan sama sekali dengan sikap-sikap di
masa dahulu. Tetapi sayang, sangat sedikit sekali
orang-orang Barat yang mengetahui pergantian sikap yang
diambil oleh eselon tertinggi daripada Gereja Katolik.
Setelah kita mengetahui hal tersebut di atas kita tidak
begitu heran untuk mendengarkan langkah-langkah konkrit
selanjutnya yang dilaksanakan untuk pendekatan ini.
Mula-mula adalah kunjungan resmi kepala Secretariat Vatikan
untuk orang-orang bukan Kristen kepada (almarhum) Sri
Baginda Raja Faesal, raja Saudi Arabia, kemudian kunjungan
ulama-ulama Besar dari Saudi Arabia kepada Sri Paus Paul Vl
pada tahun 1974. Kita merasakan arti spiritual yang dalam
ketika Monsigneur Elchinger menerima para ulama itu di
Cathedral Strasbourg dan mempersilahkan mereka untuk
sembahyang di tengah-tengah Cathedral, walaupun menghadap ke
arah Ka'bah.
Jika wakil-wakil tertinggi daripada umat Islam dan umat
Kristen, dalam rasa kepercayaan kepada Tuhan yang sama dan
rasa hormat menghormat terhadap perbedaan yang ada diantara
mereka telah sefaham untuk melakukan dialog agama, apakah
tidak wajar jika aspek-aspek lain dari kedua agama itu juga
dihadapi? Maksud daripada konfrontasi ini adalah
penyelidikan tentang Kitab Suci atas dasar hasil-hasil
penyelidikan ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan kritik
kebenaran. Penyelidikan teks-teks ini harus dilakukan
terhadap Qur-an sebagaimana ia telah dilakukan terhadap
agama Yahudi dan Kristen.
(bersambung 2/3)
|
Post a Comment