Dengan Niat, Amal Dunia Jadi Ladang Akhirat
Dengan Niat, Amal Dunia Jadi Ladang Akhirat
Segala
puji hanya untuk Allah Shubhanahu wa
ta’alla Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllah Shubhanahu wa ta’allau’alaihi wa
sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Allah Shubhanahu wa ta’alla Azza wa Jalla telah
menggariskan bahwa kehidupan umat manusia bukan hanya sekali, namun dua kali.
Kehidupan dunia yang fana sebagai awal dari kehidupan dan akan dilanjutkan
dengan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Sukses Anda di dunia belum tentu
berkelanjutan hingga di akhirat. Namun sebaliknya, sukses di akhirat menjadikan
Anda lupa akan kegagalan selama hidup di dunia, bagaimanapun beratnya. Apalagi
bila Anda ternyata hidup di dunia sukses dan akhirat surga menjadi milik Anda.
ANTARA SIAL DUNIA DAN BERKAH AKHIRAT.
Di
dunia ini banyak ditemukan pasar, tempat orang mengais kesuksesan di dunia. Dan
tentunya ada pula pasar-pasar akhirat, tempat menaburkan benih-benih pahala.
Karenanya tidak layak bila kesibukan mewujudkan sukses di dunia, melalaikan
Anda dari akhirat. Terlalai dari akhirat karena sibuk menumpuk dunia berarti
sengsara selamanya. Nabi Muhammad ShalAllah
Shubhanahu wa ta’allau ‘alaihi wa sallam bersabda.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ » [رواه البخاري]
Semoga
kesengsaraan menimpa para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (harta
kekayaan), bila diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi
benci. Semoga ia menjadi sengsara dan terus menerus menderita. Dan bila ia
tertusuk duri, semoga tiada yang sudi mencabut duri itu darinya. [HR. Bukhari].
Sebaliknya, lalai dari dunia karena sibuk membangun akhirat berarti sukses di dunia dan akhirat.
قال الله تعالى: ﴿فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ
أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ
ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأٓخِرِۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ
لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ
بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣ ﴾ [الطلاق: 2-3 ]
... Dan barang siapa yang bertakwa
kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar
dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, niscaya Allah Shubhanahu wa
ta’alla akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla (berkuasa
untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya Allah Shubhanahu
wa ta’alla telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." [at
Thalaq/65:2-3].
Selanjutnya terserah kepada Anda,
ingin sukses dunia akhirat atau sengsara selamanya, walau hidup di lumbung
harta benda. Sahabat Ali Radhiyallah
Shubhanahu wa ta’allau anhu berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ارْتَحَلَتِ
الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ
مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ
أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ
وَلاَ عَمَلَ» [رواه ابن أبي شيبة]
Kehidupan
dunia bergegas menjauh, sedang akhirat kian mendekat, dan masing-masing
memiliki pengikut, maka jadilah pengikut akhirat, serta janganlah engkau
menjadi pengikut dunia. Karena sejatinya sekarang ini adalah waktu untuk
beramal tanpa ada hisab, sedangkan esok (di akhirat) adalah waktu hisab dan
bukan beramal. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 8/155]
DENGAN KETULUSAN NIAT, ANDA PASTI
BERUNTUNG.
Suatu yang wajar bila dalam
suatu perniagaan ada yang beruntung dan ada pula yang merugi. Namun keuntungan
adalah cita-cita setiap insan, termasuk Anda. Bukankah demikian saudaraku?
Karenanya, sudikah Anda saya tunjukkan kepada kiat-kiat meraih keuntungan dan
tidak pernah bunting? Sukses di dunia dengan untung segunung dan di akhirat
keuntungan Anda tiada berujung?
Tahukah Anda kiat apakah itu? Ketahuilah, kiat itu adalah dengan menjaga hati Anda sehingga selalu tulus karena Allah Shubhanahu wa ta’alla atas apapun yang Anda kerjakan, baik ibadah ataupun amal kebiasaan Anda. Dengan niat yang baik, apalagi tulus karena Allah Shubhanahu wa ta’alla, amal kebiasaan Anda bernilai ibadah, tanpa mengurangi sedikitpun dari fungsi amal kabiasaan Anda. Demikianlah dahulu para ulama’ menjalani kehidupan mereka. Sahabat Mu’az bin Jabal Radhiyallahu’anhu berkata :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِى
نَوْمَتِى مَا أَرْجُو فِى قَوْمَتِى » [متفق عليه]
Adapun aku, maka aku tidur dan juga shalat malam, namun dari tidurku aku mengharapkan (bisa meraih) apa yang aku harapkan (bisa diraih) dari shalat malamku. [Muttafaqun ‘alaih].
Akan tetapi, sebaliknya, karena lalai
dari niat, maka bisa menyebabkan amal ibadah Anda hanya bernilai kebiasaan dan
rutinitas semata. Dahulu dinyatakan:
«عِبَادَاتُ أَهْلِ الْغَفْلَةِ
عَادَاتٌ، وَعَادَاتُ أَهْلِ الْيَقْظَةِ عِبَادَاتٌ»
Amal
ibadah orang yang lalai hanyalah rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada
semuanya bernilai ibadah (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhamad
Ibnu Utsaimin, hlm. 9).
Subhanallah, walaupun Anda tidur pulas hingga mendengkur, namun itu tidak menghalangi pahala mengalir ke lembaran-lembaran amal Anda. Dengan demikian, indahnya dunia dapat Anda nikmati dan pahala akhirat pun terus mengalir tiada henti. Enak bukan ?
STATUS AMALAN ANDA SELARAS DENGAN
NIAT ANDA.
Setelah mengetahui bahwa
dengan niat, rutinitas Anda dapat bernilai ibadah, mungkin Anda berkata,
"Apabila benar demikian, betapa mudahnya jalan menuju surga?" Betul
saudarku, namun walau demikian, ternyata selama ini Anda berjalan di tempat dan
sehingga tetap saja jauh dari pintu surga. Untuk membuktikannya, perkenankan
saya bertanya, "Berapa amalankah yang Anda kerjakan ketika Anda membaca
tulisan saya ini?" Tahukah anda, bahwa sejatinya saat ini Anda sedang
mengerjakan beratus-ratus amalan dan mungkin beribu-ribu amalan? Anda terkejut
keheranan dan bahkan tidak percaya?
Untuk membuktikanya, izinkan
saya kembali bertanya, "Apakah saat ini Anda sedang berzina? Apakah saat
ini Anda sedang memakan daging babi? Apakah saat ini Anda sedang menyembah
patung? Apakah saat ini Anda sedang mencari sanjungan (riya’ dan sum’ah)?
Apakah saat ini Anda sedang memakan riba? Apakah saat ini Anda sedang minum
khamer? Dan masih banyak lagi pertanyan serupa yang sudah pasti jawabannya
adalah, "Tidak". Walau demikian, selama ini Anda tidak menyadari
bahwa Anda sedang mengerjakan semua amalan tersebut ketika Anda membaca tulisan
ini atau beraktifitas lainnya. Bila demikian adanya, tentu Anda tidak
mendapatkan pahala darinya, padahal Anda telah melakukannya.
Ibnu Hajar al-Asqalani
rahimahullah berkata, “Yang benar, meninggalkan suatu amalan tanpa disertai
niat tidak mendapatkan pahala. Anda hanya mendapat pahala bila Anda dengan
sadar meninggalkan suatu hal. Sehingga barang siapa di hatinya tidak terbersit sama-sekali tentang suatu
amal maksiat, tentu tidak sama dengan orang yang mengingatnya, lalu ia menahan
diri darinya karena takut kepada Allah
Shubhanahu wa ta’alla.” [Fathul Bari 1/15]
Penjelasan Ibnu Hajar ini
menggambarkan betapa pentingnya menghadirkan niat baik dalam setiap aktifitas
Anda. Tanpa perlu waktu, tenaga atau bekal apapun, lautan pahala menjadi milik
Anda. Semua itu dengan mudah Anda gapai hanya berbekal niat baik dalam hati
anda. Ibnul
Qayyim rahimahullah lebih jauh menjelaskan, “Sungguh tujuan dan keyakinan hati
diperhitungkan pada setiap perbuatan, dan ucapan, sebagaimana diperthitungkan
pula pada amal kebaikan dan ibadah. Tujuan, niat dan keyakinan dapat menjadikan
satu amalan halal atau haram, benar atau salah, ketaatan atau maksiat.
Sebagaimana niat dalam amal ibadah menjadikannya dihukumi wajib atau sunnah,
haram atau halal, dan benar atau salah. Dalil-dalil yang mendasari kaedah ini
terlalu banyak untuk disebutkan di sini.” [I’lamul Muwaqî’in, 3/118].
Hadits berikut adalah salah satu
dalil yang melandasi penjelasan ulama’ di atas :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا
لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ » [متفق عليه]
Sesungguhnya
setiap amalan pastilah disertai dengan niat. Dan setiap pelaku amalan hanyalah
mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka orang yang berhijrah karena menaati
perintah Allah Shubhanahu wa ta’alla dan rasul -Nya,
maka ia mendapatkan pahala dari Allah Shubhanahu wa ta’alla karenanya, dan
orang yang berhijrah karena urusan dunia, atau wanita yang hendak ia nikahi,
maka hanya itulah yang akan ia dapatkan (tidak mendapatkan pahala di akhirat.
[Muttafaqun alaih].
MENGENAL DUA MACAM AMALAN.
Untuk dapat menjadikan setiap
aktifitas Anda bernilai ibadah, maka terlebih dahulu Anda harus mengenali
berbagai aktifitas Anda dan niat-niat Anda pada setiap amalan. Para Ulama’
menjelaskan bahwa secara global amalan terbagi menjadi dua :
1.
Amalan Yang Tidak Sah Bila Tanpa Niat.
Contoh amalan jenis ini ialah
berbagai amal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji, wudhu dan lain
sebagainya. Andai Anda melakukan amal ini tanpa disertai dengan niat, niscaya amalan
Anda tertolak dan tidak mendapatkan pahala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لَا
صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ » [رواه أبو أبو
داود والترمذي]
Tiada
(ada) puasa bagi orang yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum
terbit fajar. [HR. Abu Dawud, at-Tirmizi dan lainnya]
2.
Amalan Yang Sah Walau Tanpa Niat.
Berbagai amal ibadah yang
mendatangkan manfaaat bagi pelakunya atau orang lain adalah contoh nyata dari
amalan jenis ini. Misalnya menolong orang kesusahan, menyambung tali
silaturahmi, sedekah, dan yang serupa. Dan diantara contoh amalan ini ialah
amalan dalam bentuk meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam syari’at.
Misalnya, bersuci najis, mengembalikan barang rampasan, membayar hutang, dan
yang semisal denganya. Bila Anda mengamalkan amalan jenis ini tanpa niat, maka
amalan Anda sah alias menggugurkan kewajiban, namun Anda tidak mendapatkan
pahala darinya.
BEDA ANTARA SAH DAN DITERIMA.
Mungkin
Anda bertanya, sebenarnya apa sih perbedaan antara sah dengan diterima?
Ketahuilah saudaraku, bahwa setiap amalan yang diterima pastilah sah, namun
belum tentu amalan yang sah diterima Allah
Shubhanahu wa ta’alla. Karenanya, walaupun ibadah orang-orang munafiq sah
di dunia, namun di akhirat tidak diterima. Sebagaimana shalat orang yang
mendatangi dukun sah di dunia, namun di akhirat tidak mendapatkan pahala, alias
tidak diterima.
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ
تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً » [رواه مسلم]
Barangsiapa
mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya sesuatu kepadanya, maka tidak akan
diterima satu shalatpun darinya selama empat puluh hari. [HR. Muslim].
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksud hadits ini, shalatnya tidak mendapat pahala, walaupun sah dan bisa menggugurkan kewajiban si pelaku dan tidak perlu diulang.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi rahimahullah, 14/227].
DUA MACAM NIAT
Para ulama’ juga menjelaskan
bahwa Anda dituntut untuk menghadirkan dua jenis niat, pada setiap kali beramal
:
1.
Niat menjalankan amalan alias mengamalkan amalan dengan sadar.
Niat
macam ini merupakan syarat sah suatu amalan. Niat dengan kategori inilah yang
biasanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Bila Anda berenang di kolam renang,
namun Anda lupa bila Anda sedang junub, maka walaupun sekujur tubuh Anda telah
basah kuyup sebagaimana orang mandi junub, namun tetap saja janabah Anda belum
sirna. Karena Anda melupakan niat yang merupakan syarat sah mandi junub.
2.
Niat menjalankan amalan karena Allah Shubhanahu wa ta’alla (ikhlas).
Dengan
niat macam ini Anda mendapatkan pahala dari amalan ibadah Anda. Imam as Suyuthi rahimahullah
berkata: “Sebagian ulama’ terkini menegaskan bahwa ikhlas adalah suatu yang
lebih sebatas niat. Keikhlasan tidaklah mungkin terwujud tanpa niat, namun
sebaliknya niat bisa saja terwujud walaupun tanpa ikhlas. Sedangkan para Ulama’
ahli fikih biasanya hanya membicarakan sebatas niat, dan berbagai hukum yang
mereka sebutkan hanya berkisar padanya. Adapun keikhlasan, maka itu hanya Allah Shubhanahu wa ta’alla yang
mengetahuinya." [al-Asybah wan Nazhair, hlm. 20].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para
Ulama’ telah sepakat bahwa suatu amalan yang tidak mungkin diamalkan melainkan
sebagai ibadah, tidak sah kecuali dengan niat. Berbeda dengan amalan yang
kadang dilakukan sebagai amal ibadah dan di lain kesempatan sebagai suatu
rutinitas, semisal menunaikan amanat dan membayar piutang. [Majmu’ Fatawa,
18/259]. Niat jenis ini merupakan syarat diterimanya setiap amalan.
Sehingga amal apapun tidak mungkin diterima dan mendapatkan pahala bila
dilakukan dengan tidak ikhlas karena Allah
Shubhanahu wa ta’alla.
AMALAN YANG DAPAT BERNIALAI IBADAH
DENGAN NIAT.
Amalan yang dapat memiliki
nilai ibadah karena Anda melakukannya dengan niat yang baik ialah amalan
rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan niat yang baik,
maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda melakukannya karena
sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih pahala, maka Anda
tidak mendapatkan pahala darinya. Dan yang dimaksud bernilai ibadah ialah Anda
mendapatkan pahala dari rutinitas tersebut, tanpa mengurangi fungsi dan manfaat
dari rutinitas Anda itu. Sebagai contoh; berhubungan badan dengan istri, adalah
cara Anda untuk melampiaskan kebutuhan biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan
niat demi menjaga diri Anda dan istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini
mendatangkan pahala bagi Anda, tanpa mengurangi kepuasan Anda dari hubungan
badan tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam
bersabda :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ , قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟
قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى
حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى
الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ . » [رواه مسلم]
"Dan dengan melampiaskan syahwat birahimu engkau bisa
mendapatkan pahala”. Spontan para sahabat bertanya keheranan, "Wahai
Rasulullah, mungkinkah dengan melampiaskan syahwat birahi, kita mendapatkan
pahala karenanya?" Rasulullah balik bertanya, “Apa pendapat kalian bila ia
melampiaskannya pada perbuatan haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula
sebaliknya bila ia melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia
mendapatkan pahala.” [HR. Muslim].
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat
bernilai ibadah. Hubungan badan misalnya, bernilai ibadah bila dilakukan
dengan niat memenuhi hak istri, atau memperlakukannya dengan cara yang baik
sebagaimana yang Allah Shubhanahu wa
ta’alla peritahkan. Demikian juga dengan tujuan mendapatkan keturunan yang
shaleh, atau menjaga dirinya atau istrinya dari perbuatan haram. Dan bisa juga
dengan maksud melindungi keduanya dari memandang hal haram, membayangkan, atau
menginginkannya atau niat-niat baik yang lain.” [Syarah Shahih Muslim oleh An
Nawawi 7/92].
Kalau ini baru Anda ketahui,
berarti selama ini, Anda rugi besar, karena begitu banyak amal rutinitas Anda
yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu Anda sia-siakan. Setiap pagi Anda
makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti selera perut semata. Andai Anda
membubuhkan niat agar dapat kembali kuat sehingga bisa menjalankan ibadah,
tentu segunung pahala dapat menjadi milik Anda. Dengan demikian, niat-niat
yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas Anda, seakan-akan
sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan lainnya pastilah
tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau tidak. Namun tidak
demikian dengan pahala dan keridhaan Allah Shubhanahu
wa ta’alla. Tanpa niat yang baik nan
tulus, Anda tidak mungkin meraihnya. Sekali lagi renungkan! Anda memberi uang
belanja kepada istri, tentu membuat mereka senang dan akhirnya setia kepada
anda. Namun bila Anda membubuhkan niat menjalankan kewajiban yang telah
diamanatkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla kepada Anda sebagai suami, tentu ini akan menjadi amal ketaatan
yang bernilai tinggi. Disamping istri Anda tetap senang dan dengan izin Allah Shubhanahu wa ta’alla semakin setia
kepada Anda. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam
bersabda :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا
وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
» [متفق عليه]
Sesungguhnya
tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi mendapatkan keridhaan Allah
Shubhanahu wa ta’alla, melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai pun
sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu. [Muttafaqun ‘alaih].
Bila demikian, manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai rutinitas belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allah Shubhanahu wa ta’alla padanya? Jawabannya, tentu yang kedua.
MENGGABUNGKAN NIAT DUNIA DAN AKHIRAT.
Setelah membaca keterangan di
atas, mungkin Anda menduga bahwa Anda tidak dibenarkan untuk menggabungkan niat
menikmati rutinitas dengan mencari keridhaan Allah Shubhanahu wa ta’alla Azza wa Jalla? Tidak demikian saudaraku!
Menggabungkan antara keduanya adalah sah-sah saja, namun tentu nilai ibadah
Anda pun berbeda. Semakin Anda berhasil memurnikan niat pada rutinitas Anda
hanya karena Allah Shubhanahu wa ta’alla,
semakin besar pula pahala Anda. Namun sebaliknya semakin besar keinginan Anda
untuk mewujudkan kepentingan pribadi Anda, maka semakin kecil pula nilai ibadah
amalan Anda. Renungkan kisah berikut dari Nabi muhammad Shalallahu‘alaii wa salam:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: « أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى
قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا
أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَال: أُرِيدُ أَخًا
لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ
تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ
بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ » [رواه مسلم]
Ada seorang lelaki hendak menjenguk saudaranya yang berdomisili di kampung lain. Maka Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan seorang malaikat untuk mencegatnya di tengah jalan. Tatkala lelaki itu melintasi malaikat tersebut, malaikat bertanya, "Kemanakah engkau hendak pergi?" Ia menjawab, "Aku hendak menjenguk saudaraku di kampung ini." Kembali malaikat bertanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu kepentingan yang hendak engkau selesaikan darinya?" Kembali ia menjawab, "Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah Shubhanahu wa ta’alla." Mendengar jawaban itu, malaikat itupun berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk menkabarkan kepadamu bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla telah mencintaimu, sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu karena -Nya.” [HR. Muslim].
Berkunjung ke sahabat atau
saudara, pasti mendatangkan banyak manfaat di dunia. Namun tatkala lelaki di
atas tidak memiliki niat lain dari kunjungannya terhadap saudaranya itu selain
karena upaya melanggengkan hubungannya yang tulus karena Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla-pun mencintainya.
Suatu pahala yang sangat besar yang sangat didamba oleh setiap insan yang
beriman kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla Subhanahu wa Ta’ala, termasuk Anda.
Dan dari alur kisah hadits di atas,
dapat dipahami bahwa andai lelaki itu memiliki kepentingan lain yang tidak
bertentangan dengan ketulusan cintanya, tentu ia tidak mendapatkan keutamaan
tersebut.
PENUTUP
Apa yang telah saya paparkan
pada tulisan sederhana ini tentunya hanya sekelumit dari pembahasan tentang
niat. Terlalu banyak pembahasan tentang niat yang seyogyanya kita ketahui,
terlebih kiat-kiat mewujudkan niat yang tulus dan benar dalam hidup nyata. Hati
Anda walau terletak dalam dada anda, namun tidak mudah untuk menundukkannya.
Sufyan ats-Tsauri berkata :
«مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ
عَلَيَّ مِنْ نَفْسِي مَرَّةً لِي وَمَرَّةً عَلَيَّ »
Aku
tidak pernah membenahi suatu hal yang lebih berat dibanding jiwaku sendiri.
Kadang kala patuh dengan keinginanku dan sering pula tidak.” .
Ya Allah, Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah niat kami di atas ketaatan kepada -Mu. Amiin.
Post a Comment