Larangan Ihram
Larangan Ihram
Segala
puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan
Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku juga bersaksai bahwa
Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah
seorang hamba dan utusanNya. Amma ba'du:
Barangsiapa yang ingin
menunaikan ibadah umrah maupun haji maka wajib bagi dirinya untuk menjauhi
larangan-larangan ihram. Yaitu perkara-perkara yang tidak boleh dilakukan
manakala dirinya telah masuk manasik, berniat untuk mengerjakan rangkaian
ibadah haji maupun umrah. Diantara larangan-larangan tersebut adalah:
- Mencabut rambut
dari kepala, baik dengan cara mencukur atau dengan cara lainya.
Dan masuk dalam kategori
ini, sebagaimana di terangkan oleh para ulama adalah mencabut seluruh rambut
yang ada di badan karena hal tersebut termasuk bagian dari sarana
bersenang-senang (berdandan). Diantara dalil yang melarang hal tersebut ialah
firman Allah ta'ala:
﴿
وَلَا تَحۡلِقُواْ رُءُوسَكُمۡ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡهَدۡيُ مَحِلَّهُۥۚ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ بِهِۦٓ أَذٗى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ
أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ١٩٦ ﴾ [ البقرة : 196 ]
"Dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau
berkorban". (QS
al-Baqarah: 196).
Adapun rambut jenggot maka haram
mencukurnya, baik dalam keadaan ihram maupun dalam kondisi lainya, berdasarkan
hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau
mengatakan: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى »
[أخرجه البخاري و مسلم]
"Selesihilah oleh
kalian orang-orang musyrik (dengan) memendekkan kumis dan memanjangkan jenggot".
HR Bukhari no: 5893. Muslim no: 259.
- Memotong
kuku.
Di nyatakan oleh Ibnu Mundzir dalam
bukunya al-Ijma': "Para ulama telah bersepakat kalau muhrim (orang yang
sedang berihram) dilarang untuk mengambil kukunya". [1]
Al-Hafidh Ibnu Katsir mengatakan dalam
tafsirnya tatkala menafsirkan firman Allah ta'ala:
﴿
ثُمَّ لۡيَقۡضُواْ تَفَثَهُمۡ ٢٩
﴾ [ الحج: 29 ]
"Kemudian, hendaklah
mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka". (QS
al-Hajj: 29).
Beliau mengatakan: "Berkata Ibnu
Abbas: "Yang dimaksud menghilangkan kotoran di sini ialah seorang yang sedang
ihram dari memotong rambut, memakai pakaian yang berjahit, mengerat kuku, dan
sebagainya".[2]
Kemudian para ulama memasukan dalam kategori memangkas rambut segala perkara
yang mengantarkan pada perbuatan bermewah-mewahan.
- Memakai
minyak wangi setelah berniat masuk manasik.
Maka seorang yang sedang berihram
dilarang untuk memakai minyak wangi baik dibadan maupun baju ihramnya.
Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, yang dikeluarkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim, diantara perkara yang dilarang bagi seorang yang
sedang ihram yaitu memakai pakaian, kemudian Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam
berkata:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
وَلَا تَلْبَسُوا مِنْ الثِّيَابِ شَيْئًا
مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Janganlah kalian memakai sedikitpun za'faran dan minyak wangi di pakaian ihram kalian". HR Bukhari no:
1542. Muslim no: 1177.
Dan juga berdasarkan
haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, yang menjelaskan bahwa ada seorang
sahabat yang bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam lalu dirinya terlempar
jatuh dari hewan tunggangannya kemudian meninggal disaat dia dalam kondisi
berihram. Maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentangnya:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ
فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا »
[أخرجه البخاري و مسلم]
"Mandikanlah jenazahnya dengan air dan daun bidara, kemudian
kafani dengan bajunya, dan jangan kalian beri minyak wangi, jangan pula kalian
tutupi kepalanya, sesungguhnya dia akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat
dalam keadaan bertalbiyah". HR Bukhari no: 1851, Muslim no: 1206.
Maka hadits-hadits ini
menyimpulkan dengan jelas kalau seorang yang sedang berihram dilarang untuk
memakai minyak wangi tatkala sedang berihram karena hal itu termasuk sarana
untuk bermewah-mewah.
Namun, dirinya masih
dibolehkan memakai minyak wangi sebelum berihram tapi di badan bukan dipakaian
ihramnya. Dan tidak mengapa kalau minyak tersebut masih menempel setelah
ihramnya. Karena masuk dalam dalam kaidah: "Tidak boleh jika dilakukan
untuk pertama kalinya akan tetapi boleh bila menyisakan bekas dari pekerjaan
yang pertama tadi".
Dan yang mendasari hal itu
ialah haditsnya Aisyah radhiyallahu 'anha, di mana beliau mengatakan: "Aku
mengolesi minyak wangi pada Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam tatkala
beliau akan ihram yaitu ketika berpakain ihram, setelah tahalul (dan) sebelum
melakukan thawaf (ifadhah) di Ka'bah". HR Bukharin no: 1538. Muslim
no: 1189.
Demikian juga didukung oleh
hadits lain, yang masih dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah beliau
menceritakan: "Seakan-akan aku melihat pada sisa minyak wangi yang
berkilauan di belahan rambut Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sedangkan waktu
itu beliau sedang berihram". HR Bukhari no: 271. Muslim no: 1190.
- Menutup kepala
dan wajah dengan sesuatu yang langsung menempel pada wajahnya.
Berdasarkan hadits dahulu
yang melarang seorang muhrim untuk memakai pakaian, dimana Nabi shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
لَا يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلَا
الْعَمَائِمَ » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Dan (ia) tidak boleh memakai kemeja dan imamah (serban)".
HR Bukhari no: 1542. Muslim no: 1117.
Dan juga berdasarkan
haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, tentang kisahnya seorang sahabat
yang jatuh dari ontanya lalu meninggal dalam kondisi berihram. Nabi shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا
تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مُلَبِّيًا » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Mandikanlah jenazahnya dengan air dan daun bidara, kemudian
kafani dengan bajunya, dan jangan kalian beri minyak wangi, jangan pula kalian
tutupi kepalanya, sesungguhnya dia akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat
dalam keadaan bertalbiyah". HR Bukhari no: 1851, Muslim no: 1206.
Adapun berteduh dengan
sesuatu yang tidak menempel langsung di kepala, seperti memakai payung,
berteduh di dalam atau bawah mobil, dalam kemah, atau yang lainnya, maka hal
ini tidak mengapa.
Sebagaimana dijelaskan dalam
sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Bahwa Usamah bin Zaid dan
Bilal radhiyallahu 'anhuma. Keduanya pernah bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa
sallam manakala melempar jumrah Aqabah, kemudian salah seorang diantara mereka
berdua mengambil tali kekang ontanya dan satunya mengangkat pakaian untuk
menutupi dari panas matahari sampai dirinya selesai melempar jumrah Aqabah. HR
Muslim no: 1298.
Demikian pula haditsnya
Jabir radhiyallahu 'anhu yang menjelaskan sifat hajinya Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam, yang mana disitu dijelaskan: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam turun di kubah (kemah) yang sudah dibuatkan untuk beliau di
Namirah sampai matahari condong".
HR Muslim no: 1218.
- Memakai pakaian
yang berjahit.
Dan ini khusus bagi
laki-laki, maka ia tidak boleh untuk memakai pakaian yang berjahit yang
membentuk tubuh, seperti kemeja atau celana, dan masuk dalam hal ini sepatu dan
kaos kaki. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ
وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا السَّرَاوِيلَ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Tidak boleh seorang yang sedang berihram memakai gamis, serban
tidak pula memakai burnus (pakaian yang menutup kepala) dan celana panjang".
HR Bukhari no: 134. Muslim no: 1177.
Kecuali memang
benar-henar dalam kondisi tidak menjumpai kain ihram, maka boleh bagi dirinya
untuk memakai celana, demikian pula bagi yang tidak mendapati sendal maka boleh
baginya untuk memakai sepatu tanpa harus memotongnya. Berdasarkan haditsnya
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sebagaimana telah tetap didalam shahih Bukhari
dan Muslim, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ
الخُفَّيْنِ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ السَرَاوِيلَ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Barangsiapa tidak mendapati sendal maka tidak mengapa dia
memakai sepatu. Dan barangsiapa tidak menjumpai kain (pakain ihram) maka boleh
baginya memakai sarung". HR Bukhari no: 5852. Muslim no: 1177.
Dan bagi wanita, haram
baginya memakai sesuatu yang berjahit untuk menutupi wajahnya seperti Burqa'
atau cadar demikian pula tidak boleh memakai penutup kedua tangan seperti
sarung tangan, berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ » [أخرجه البخاري]
"Seorang wanita yang sedang ihram tidak boleh baginya memakai
cadar tidak pula memakai sarung tangan". HR Bukhari no: 1838.
Yang dimaksud dengan al-Qufazain
ialah sesuatu yang terbuat dari kain atau wol kemudian dijahit membentuk kedua
tangan (sarung tangan.pent).
Dan dibolehkan baginya
untuk memakai yang berjahit selain kedua hal tersebut, seperti halnya memakai baju,
celana, sepatu, kaos kaki, serta yang semisal dengannya.
Demikian pula dibolehkan
untuknya menurunkan tutup kepala ke wajah jika diperlukan tanpa mengikatnya,
dan jika penutup tersebut menempel diwajahnya maka tidak mengapa. Berdasarkan
haditsnya Fatimah binti Mundzir beliau berkata: "Kami menurunkan kain
penutup kepala kewajah-wajah kami sedangkan waktu itu kami dalam keadaan
berihram, dan kami saat itu bersama Asma binti Abi Bakar ash-Shidiq".
HR Malik dalam Muwatha hal: 213 no: 978. hadits ini juga dikeluarkan oleh
al-Hakim dalam mustadraknya 2/104 no: 1711. Beliau mengatakan shahih dan
disepakati oleh adz-Dzhahabi.
- Membunuh buruan
binatang darat.
Hal itu berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡتُلُواْ ٱلصَّيۡدَ وَأَنتُمۡ
حُرُمٞۚ ٩٥ ﴾ [ المائدة: 95 ]
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang
ihram". (QS al-Maaidah: 95).
Demikian pula firmanNya Allah
ta'ala:
﴿
وَحُرِّمَ عَلَيۡكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَرِّ مَا دُمۡتُمۡ حُرُمٗاۗ ٩٦ ﴾ [ المائدة: 96]
"Dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram". (QS al-Maaidah: 96).
Dan berdasarkan firman Allah
ta'ala yang lain:
﴿
غَيۡرَ مُحِلِّي ٱلصَّيۡدِ وَأَنتُمۡ حُرُمٌۗ ١ ﴾ [ المائدة: 1 ]
"(Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji". (QS al-Maaidah: 1).
Dan juga firman Allah ta'ala:
﴿
وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ ٢
﴾ [ المائدة: 2 ]
"Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, maka bolehlah berburu". (QS al-Maaidah: 2).
Ayat-ayat
di atas tadi, semuanya menunjukan bahwa seorang muhrim, semenjak niat masuk
manasik sampai dirinya selesai, maka tidak boleh baginya untuk berburu binatang
darat, begitu pula tidak boleh membantu
dalam proses berburu, baik dengan ikut langsung atau hanya sekedar menunjukan
tempatnya, pada orang yang tidak berihram.
Hal itu,
didasari dengan haditsnya Abu Qatadah, yang mana diceritakan bahwasannya beliau
sedang bersama beberapa para sahabat dalam perjalanan, ketika itu mereka sedang
berihram, dan cuma dia seorang yang tidak.
Selanjutnya
mereka melihat ada keledai liar, maka Abu Qatadah berhasil menangkapnya lantas
beliau menyembelih dan memasaknya, lalu menghidangkan pada mereka. Kemudian
mereka pun memakannya. Lalu ada seseorang yang berkata: "Apakah kita
memakan daging buruan sedang kita masih dalam keadaan ihram?
Kemudian
kami bawa sisa daging hewan buruan tadi menghadap Nabi shalallahu 'alaihi wa
sallam, maka beliau berkata:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا
أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا قَالُوا لَا قَالَ فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Apakah ada salah seorang diantara kalian yang
menyuruhnya atau ikut mengejar atau menunjukan tempatnya? Mereka menjawab:
"Tidak". Beliau melanjutkan: "Kalau demikian makanlah yang masih
tersisa dari dagingnya". HR Bukhari no: 1824. Muslim no: 1196.
- Menikah atau melamar.
Tidak
boleh bagi seorang yang sedang ihram untuk menikah tidak pula menikahkan orang
lain, baik sebagai wali maupun mewakilinya. Begitu pula tidak boleh melamar
seorang wanita. Berdasarkan dengan hadits shahih dari Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam bahwasannya beliau bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ » [أخرجه مسلم]
"Seorang yang sedang ihram tidak boleh menikah
tidak pula menikahkan untuk orang lain atau melamar". HR Muslim no:
1409.
- Berhubungan badan yang
mewajibkan mandi besar.
Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ
فِي ٱلۡحَجِّۗ ١٩٧ ﴾
[ البقرة: 197 ]
"Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji". (QS al-Baqarah: 197).
Yang dimaksud dengan ar-Rafats
dalam ayat diatas ialah hubungan badan sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah ta'ala yang lainnya:
﴿
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ ١٨٧ ﴾ [ البقرة: 187 ]
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu".
(QS
al-Baqarah: 187).
Maka
barangsiapa melakukan hubungan badan bersama istri atau suaminya secara sengaja
sebelum tahalul awal maka ibadah haji atau umrahnya rusak.
- Bercumbu selain dari
pada hubungan badan sebelum tahalul yang pertama dengan berciuman atau
yang lainnya.
Namun,
dalam kondisi ini tidak sampai menjadikan manasik hajinya rusak, akan tetapi,
dirinya telah melanggar larangan ihram dan wajib bagi dirinya bertaubat dan
istighfar, dan sebagian ulama mewajibkan untuknya membayar fidyah.
Kaidah penting:
Barangsiapa mengerjakan salah satu dari larangan-larangan ihram tadi,
maka keadaanya tidak terlepas pada tiga kondisi:
Pertama: Dirinya melakukan larangan ihram karena tidak ada
keperluan dan udzur, maka dalam hal ini dirinya berdosa dan wajib ia membayar
fidyah.
Kedua: Dirinya mengerjakan larangan ihram karena ada
keperluan yang mengharuskan hal tersebut, maka dalam hal ini wajib baginya
membayar fidyah dan tidak berdosa.
Hal tersebut berdasarkan firman Allah ta'ala:
﴿ فَمَن كَانَ مِنكُم
مَّرِيضًا أَوۡ بِهِۦٓ أَذٗى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ
صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ١٩٦ ﴾ [ البقرة: 196 ]
"Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan
di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu:
berpuasa atau bersedekah atau berkorban".
(QS
al-Baqarah: 196).
Demikian
pula berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
dari Ka'ab bin U'jrah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulallah shalallahu 'alaihi
wa sallam melihat pada wajah beliau kutu yang berjatuhan diwajahnya. Maka
beliau bertanya: "Apakah hewan-hewan ini menyakitimu? Ia, jawabnya. Maka
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh supaya dirinya bercukur ketika
sampai di Hudaibiyah. Dan ketika itu para sahabat belum merasa bertahalul,
sedangkan mereka begitu rindu ingin masuk Makkah dan melakukan manasik.
Maka
Allah ta'ala menurunkan ayat yang berkaitan tentang fidyah, kemudian Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh dirinya untuk memberi makan enam orang
fakir miskin atau menyembelih kambing, atau berpuasa selama tiga
hari". HR Bukhari no: 1817. Muslim no: 1201.
Ketiga: Dirinya melakukan larangan ihram. Ada kemungkinan
karena tidak tahu atau lupa atau terpaksa, maka dalam kondisi seperti ini dia
tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah.
Hal itu berdasarkan firman Allah azza wa jalla:
﴿
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ ٢٨٦﴾ [ البقرة: 286 ]
"(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah". (QS al-Baqarah: 286).
Dan dalam
sebuah hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه » [أخرجه ابن ماجه]
"Sesungguhnya Allah mengangkat (dosa) atas
umatku, perbuatan (karena) salah, lupa dan yang mereka terpaksa melakukannya".
HR Ibnu Majah no: 2045, Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibni
Majah 1/248 no: 1664.
Akan
tetapi apabila udzur ini hilang dan dirinya mengetahui bahwa hal tersebut
adalah dilarang, atau di ingatkan oleh orang lain, atau sudah tidak ada paksaan
lagi atau terbangun dari tidurnya maka dirinya wajib segera meninggalkan
larangan ihram tersebut.
Adapun
empat sisa dari larangan ihram yang lainnya maka hal ini berbeda sesuai dengan
kondisi dan waktu, dan hendaknya dilihat dalam buku-buku fikih yang membahas
perkara tersebut secara rinci.[3]
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi
Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi
kita Muhammad, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[3] . Daftar Pustaka: at-Tahqiq wal Idhaah Syaikh Ibnu Baz
hal: 33-39. Shifatul Hajj Syaikh Ibnu Utsaimin hal: 33-37. Tabshirun Nasik bii
Ihkamil Manasik Syaikh Abdul Muhsin al-Badr hal: 49-65. Al-Umrah wal Hajj wa
Ziyarah Syaikh Sa'id al-Qahthani hal: 80-91. Kaifa Yahujul Muslim wa Ya'tamir
Syaikh Abdullah ath-Thayar hal: 42-45.
Post a Comment