Adakah Pluralisme Dalam Islam ?

images/index_r1_c1.gif
 
 
Adakah Pluralisme Dalam Islam ?
 
Sebelum saya berbicara tentang pluralisme terlebih dahulu saya  akan menyinggung istilah “pluralisme” dengan harapan agar tidak terjadi kesalah-pahaman di antara semua di hadapan istilah tersebut.
Pluralisme sering di artikan oleh penyerunya sebagai sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat mejemuk disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan sebagai sesuatu yang bernilai positif, dan merupakan rahmat Allah kepada bangsa menusia . Pluralisme idak sekedar menyadari akan kemajemukan. Akan tetapi lebih dari itu harus ada  keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut . Seorang pluralis adalah orang yang menyadari kemajemukan sebagai sesuatu yang positif sekaligus dapat berinteraksi aktif dalam lingkungan kemajemukan .
Jika demikian adanya maka pluralisme adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin . Bahkan jika benar begitu makna pluralisme maka ia adalah sesuatu yang sangat asasi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Sebenarnya ummat Islam tidak butuh dengan istilah pluralisme sebab makna yang terkandung didalam Islam amat melampaui hakekat pluralisme Kalau bukan karena maraknya istilah pluralisme dan banyaknya kejanggalan prilaku penyeru pluralisme niscaya tidak akan ada istilah pluralisme dalam tulisan ini. Dan semestinya umat islam sudah tidak boleh menggunakannya karena istilah pluralisme telah banyak diberi makna beda lalu digunakan pendusta-pendusta perdamaian dan agama untuk menutupi kebusukan maksud yang terkandung di kalbunya.
Berinteraksi aktif-positif bukan berarti menyamakan agama dalam kebenaran (menganggap semua agama benar). Anggapan semua agama itu benar adalah anggapan  yang salah, dan itu ungkapan yan tidak bermakna. Sebab agama tertuang dalam sebuah keyakinan. Bagaimana dua yang bertentangan dalam masalah keyakinan kita katakan benar semua. Pasti salah satunya salah  atau dua-duanya harus salah dan yang  benar  adalah  di luar itu.
Dalam  beragama harus  ada  keyakinan, yang  tidak  yakin dengan kebenaran agama bukanlah orang yang beragama. Dalam beragama ada yang namanya perubahan keyakinan sesuai dengan kuat-lemah dan benar-tidaknya sebuah hujjah (argumentasi). Tetapi seseorang yang berubah  keyakinanya tetap tidak keluar dari yang namanya keyakinan.
Meyakini kebenaran agama yang dipeluknya lalu menganggap  agama  yang  lainya salah, tidak  ada  hubunganya  dengan  pluralisme dan juga  tidak  bertentangan dengan  pluralisme. Sebab pluralisme dalam arti berinteraksi aktif–positif dalam kemajemukan, baik di saat adanya perbedaan keyakinan atau tidak. Berbeda keyakinan bukan halangan untuk mewujudkan semangat pluralisme, begitu juga di saat tidak adanya perbedaan bukan berarti pluralisme telah terwujud.
Orang yang menganggap semua agama benar adalah si dungu yang berkhianat terhadap keyakinan dan agamanya. Itu sama artinya dengan orang yang tidak beragama. Anggapan semua kitab-kitab (yang  sering  disebut  kitab  suci) yang  ada  sekarang  ini masih  asli semua adalah  bentuk yang lain  lagi  dari  kedunguan  penghianat agama.
Yang tidak meyakini kebenaran kitab suci agama yang dipeluknya akan menghasilkan pendustaan kepada agama kitab suci itu sendiri. Sebab seseorang yang meyakini kebenaran kitab suci lalu menemukan kitab suci agama orang lain terdapat beberapa hal yang sangat bertentangan dengan kitab sucinya, apakah mungkin dengan akal sehatnya bisa meyakini kebenaran kedua kitab suci tersebut ?. (Perbedaan yang  saya maksud adalah perbedaan dalam prinsip-prinsip keimanan seperti  masalah  ketuhanan, kenabian, hari akhir dll)
Pluralisme baginya tidak lebih dari sekedar basa-basi sosial tanpa ada motivasi yang pasti yang mendorong seseorang untuk saling  mengerti dalam  kemajemukan. Yang diharap di dalam melaksanakan tugas kemanusiaan yang agung ini adalah imbalan dari manusia, atau agar diperlakukan sebagaimana yang ia lakukan untuk orang lain.
Hal itu amat jauh nilainya jika dibandingkan dengan pluralisme orang beragama. Orang beragama berkeyakinan bahwa imbalan yang sejati adalah imbalan dari Tuhan. Imbalan dari manusia tidak masuk dalam perhitungannya. Artinya, motivasi perbuatannya adalah perkenan Tuhan. Seorang yang beragama dituntut untuk berbuat baik kepada sesama, baik di saat dia diperlakukan orang lain dengan baik atau tidak. Hal ini teramat jelas terurai dalam ajaran Islam yang disebut dengan istilah ikhlas, berbuat hanya karena Allah. Bahkan amal perbuatan tidak akan di terima Allah jika tidak dilakukan dengan ikhlas.

Pluralisme; Milik Kita yang Hilang

Diantara masalah yang akhir-akhir ini amat kerap disebut dalam diskusi atau berbagai studi sosial dan keagamaan adalah pluralisme. Namun ia lebih seperti salah satu anggota keluarga yang tidak pernah di sebut kecuali setelah ia tiada. Dalam masyarakat pluralis, penyebutan istilah pluralisme volumenya akan sangat kecil, yaitu di saat pluralisme tidak hanya sekedar dalam teori dan jargon. Tetapi benar-benar telah diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Madinah di zaman Nabi SAW adalah sample paripurna masyarakat madani yang pluralis. Harmoni kehidupan benar-benar tercipta, mulai dari perbedaan tradisi antar suku yang beragama sama hingga yang berbeda agama. Kesiagaan untuk berinteraksi aktif-positif  benar-benar terjamin dan tercipta saat itu. Padahal sebelumnya masyarakat ini amat sulit dipersatukan dalam satu kesepakatan dalam perbedaan, lebih lagi jika itu perbedaan keyakinan.
Hal yang demikian itu (yakni keharmonisan) terbentuk karena adanya komando yang dipatuhi yang menyeru kepada sikap menerima perbedaan pendapat sekaligus cara menjalani hidup dengan perbedaan dengan cara yang sebaik-baiknya. Komando yang saya maksud adalah ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Nabi yang diutus Allah untuk menciptakan kasih sayang yang bukan hanya diantara pengikutNya, tetapi kasih sayang diantara  bangsa  manusia  semuanya (rahmatan lil’alamiin).
Dalam masyarakat seperti ini seorang Yahudi atau Kristiani tidak akan pernah merasa risih berinteraksi dengan kaum muslimin. Bahkan di saat ada dari kaum muslimin yang mengabaikan haknya dengan lega dan pasti mengangkat permasalahanya keatasan. Dan atasan yang adilpun akan menjatuhkan vonis sesuai dengan tata aturan perlindungan hak asasi manusia yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam.
Masyarakat yang telah menyadari pentingnya pluralisme tidak lagi menggembar-gemborkannya dengan lafal, tapi mereka akan lebih sibuk untuk menjadikan kebersamaan tersebut sebagai asas yang mendasari sepak terjangnya dalam mengarungi kehidupan ini. Dan sebaliknya, jika asas ini telah keropos atau bahkan punah, jangankan untuk saling berintraksi aktif-pasitif dengan orang yang berbeda agama, sesama agama atau bahkan dalam rumah sendiripun (keluarga) keharmonisan akan sulit diwujudkan.
Problem yang amat komplek di masyarakat kita yang bertahun-tahun tidak kunjung usai. Pertikaian antar agama dan antar suku yang sering muncul adalah karena tidak adanya kesadaran  akan pluralisme. Dan kita semua tidak membicarakan pluralisme, kecuali karena pluralisme di Indonesia memang telah hilang .

Pluralisme Yang Teraniaya

Di saat tidak adanya kesadaran akan pentingnya pluralisme (dalam arti pluralisme tidak lagi dijadikan pijakan untuk hidup bermasyarakat) maka pluralisme disebut dan dihadirkan  untuk memberi solusi problem yang merebak. Menjadikan pluralisme sebagai solusi adalah kedzaliman pertama bangsa manusia terhadapnya, menyusul berikutnya kedzaliman dalam cara menghadirkan pluralisme dalam sebuah komunitas.
Kita tidak ingin pluralisme dijadikan senjata sekelompok orang untuk memonopoli situasi demi sebuah ideologi atau kepentingan kelompok. Kita tidak ingin pluralisme di jadikan alat penjajahan ideologi. Sebab yang semestinya, pluralisme adalah pelindung ideologi.Adanya indikasi yang demikian adalah yang telah menjadikan benih pluralisme  terbunuh sebelum dilahirkan. Bahkan untuk sebagian orang, kelahirannyapun tidak diharapkan.
Hal lain yang perlu diamati adalah semangat pluralisme hendaknya tidak hanya diserukan diantara umat yang berbeda agama. Tetapi diantara sesama agama, atau lebih khusus lagi keluarga (yakni antara warga dalam keluarga), kesadaran pentingnya pluralisme juga  harus  dihidupkan. Suatu kedunguan yang nyata menyeru pluralisme antar agama sementara di dalam rumahnya sendiri semangat ini telah mati. Ini adalah titik penting yang sering dilupakan. Dalam Hadits Nabi SAW disebutkan (yang artinya): “Sebaik-baik kalian adalah yang bisa berbuat baik kepada keluarganya”.
Betapa banyak orang yang bisa beramah-tamah dengan orang lain tetapi bersama keluarganya yang tampak hanya suramnya. Mulai dari omongan yang kasar, juga perbuatan yang merugikan bahkan ada yang begitu mudah mendaratkan telapak tanganya di pipi sang istri.Begitu juga dalam sebuah agama (Islam misalnya), ketegangan sering hadir di kalangan mereka sendiri. Kadangkala disebabkan oleh orang-orang yang amat lantang menyeru pluralisme. Yang tidak mampu menjaga kebersamaan dalam agamanya, bagaimana mungkin akan menyeru kebersamaan dengan agama lain?
Orang bijak adalah orang yang pandai menghindari atau memperkecil perpedaan pendapat, dan sebisa mungkin menjelaskan agar perbedaan pendapat jangan menjadi sebab permusuhan. Bebasnya media hendaknya kita manfaatkan untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat bukan untuk membingungkan masyarakat.
Gejala semacam ini jika tidak segera ditanggulangi atau kita beri solusi, akan membesar menjadi problem masyarakat luas. Puncaknya adalah ancaman bagi terwujudnya semangat pluralisme. Semangat pluralisme yang menggebu-nggebu dalam upaya menciptakan keharmonisan antar agama jika tidak dibarengi dengan semangat pluralisme dalam masyarkat seagama, akan menimbulkan kesan bahwa pluralisme antar agama hanya akan merusak kerukunan masyarakat seagama. Ini adalah lain lagi dari kedzaliman kita kepada pluralisme.

Islam dan Pluralisme
Sebagai seorang yang beragama Islam sayapun akan mencoba menampilkan wajah agama yang saya peluk sebagai gambaran umum sekaligus asasi tentang Islam dan pluralisme. Jika benar penerjemahan kata ”tasamuh” adalah toleransi, maka pluralisme di dalam Islam bukanlah maknanya membudayakan toleransi. Didalam islam tidak ada toleransi sebab toleransi baru dihadirkan di saat satu  dengan yang lainnya telah sama–sama tidak  bisa menjalankan kewajiban dan  memberikan hak orang lain. Suatu hal  yang amat berbeda dengan “pluralisme” dalam Islam yang merupakan ketetapan hukum yang  harus   senantiasa dihadirkan dalam  segala kondisi.
Jika kita berbuat baik kepada tetangga atu orang yang berbeda agama dengan kita  atau perkenan Islam kepada non-muslim  untuk tinggal di dalam masyarakat Islam (negara Islam) berikut kebebasanya dalam beraktifitas dengan masyarakat Islam atau non-Islam juga kebebasan dalam beribadah bukanlah sebuah toleransi, tetapi hal merupakan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Suatu kesalahan jika ketetapan hukum dianggap sebagai toleransi. Sebab toleransi tidak lebih dari menjatuhkan hak atau merelakan haknya untuk tidak dipenuhi dan itupun ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Bukan  pujian  terhadap  Islam  jika  hukum  yang  ditetapkan  Islam untuk non-muslim itu  disebut sebagai  toleransi. Karena  anggapan  ini  seolah-olah mengingkari  jika  yang  demikian  itu  adalah ketetapan  hukum.
Untuk lebih jelasnya kita bisa merujuk pada Nabi Islam, sosok pluralis yang paripurna. Para pengikutnyapun seharusnya meniti jejak beliau. Mewujudkan pluralisme dalam Islam tidak diperlukan berbagai macam toleransi, sebab pluralisme sendiri telah ditetapkan Islam dalam hukum-hukum yang jelas. Hanya dengan kembali kepada agamanya seorang muslim  akan menjadi seorang yang pluralis.
Di saat Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah, beliau menjamin masyarakat Yahudi dengan kebebasan beraktifitas dan menikmati haknya serta memberikan perlindungan keamanan dari penghianatan dan gangguan dari luar (Ibnu Hisyam 106/2). Padahal jika seandainya Nabi SAW menghardik atau memusnahkan mereka, beliau tidak akan dicela. Sebab Nabi SAW pernah dikhianati oleh Yahudi Bani Quraidhoh pasca perang Badar Kubra begitu juga Yahudi Bani Nadzir pasca perang Uhud. Penghianatan yang lain datang dari Yahudi Bani Quraidhah pasca perang Khondak. Pun demikian Nabi SAW yang diutus untuk membawa dan memberikan kasih sayang itu, senantiasa lemah lembut terhadap mereka dengan harapan keharmonisan bisa tercipta, biarpun orang-orang Yahudi tidak menghendakinya.
Begitu pula pada masa Kholifah Abu Bakar r.a, penerus dakwah Nabi SAW. Amat banyak cerita yang menunjukan bahwa beliau itu amat pluralis sebagaimana pendahulunya. Diantaranya adalah sepuluh wasiat beliau yang diberikan kepada Usamah bin Zaid yang berisi larangan menghianati lawan (dalam perang); mencincang; membunuh anak kecil, orang tua, wanita; merusak tanaman; membunuh binatang kecuali untuk dimakan; menghancurkan tempat peribadatan, dst. Wasiat semacam ini disampaikan di saat ada perlawanan dari orang non Islam. Dalam Islam tidak ada istilah memusnahkan orang di luar Islam  tetapi yang ada adalah menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan  penuh damai. Status keberadaan non muslim dalam  masyarakat Islam juga  beliau  kukuhkan sebagai mana  pendahulunya Nabi Muhammad SAW.
Kholifah Umar r.a pun demikian, seiring  dengan  berbondong-bondongnya  orang  masuk  Islam, wilayah  Islampun  dengan  sendirinya meluas. Persilangan budaya, tradisi dan  agama beliau selesaikan dengan cukup kembali kepada hukum yang ditetapkan pendahulunya Nabi Muhammad SAW. Bahkan di saat terjadinya  peperangan sekalipun beliau tidak lupa mengingatkan pasukanya. seperti  yang  disampaikan  kepada Sa’ad bin Abi Waqqas agar menjauhkan pasukanya dari pemukiman non muslim. Ini dengan tujuan agar tidak memperkenankan siapapun dari kaum  muslimin memasuki pemukiman mereka kecuali orang yang benar-benar bisa dipercaya, sehingga tidak berbuat aniaya terhadap hak milik mereka, sebab mereka punya kehormatan yang harus dilindungi.
Yang mereka lakukan bukanlah untuk sebuah toleransi, tetapi  karena  itulah ketetapan  hukum Islam. Dan masih banyak lagi suri-tauladan pluralisme pada masa Nabi SAW dan sahabat. Begitu juga sejarah perluasan Islam, termasuk masuknya Islam ke negara kita yang penuh kedamaian, bukan melalui peperangan atu penindasan. Adakah makna pluralisme selain dari itu semua?.Pluralisme punya satu hakikat yang sungguh diseru oleh Islam. Siapapun harus bisa membedakan antara pemeluk Islam dan Islam itu sendiri. Gagalnya pluralisme dalam masyarakat Islam di sebabkan oleh kurang dekatnya mereka kepada ajaran agamanya.

Musuh-Musuh Pluralisme

Jika kita mengamati sekitar kita, terdapat dua kelompok yang amat berbahaya terhadap eksistensi pluralisme. Bahkan  keberadaan mereka tanpa disadari telah menghancurkan bangunan pluralisme yang semakin hari semakin rapuh. Mereka adalah :
1-Orang-orang yang eksklusif dalam pemikiran keberagamaan, terkesan sekali dalam sepak terjang mereka menganggap dunia ini hanya mereka saja yang layak menghuninya. Sementara pemeluk lain tidak lebih sebagai makhluk jahat yang tidak boleh diberi kesempatan untuk hidup di bumi ini. Eksklusivisme ini sering muncul dalam wajah-wajah ekstrim setiap agama termasuk di dalamnya agama Islam, Yahudi, Kristen, dan lain-lain.

Ekstrimisme inipun hadir bukan tanpa sebab, tetapi ia adalah sesuatu yang terlahir dari salah satu dari dua hal berikut ini :
a-Keberadaan agama itu sendiri yang eksklusif, sarat dengan doktrin-doktrin memusnahkan siapapun yang tidak sepaham dengan agama tersebut.
b-Kebodohan sang pemeluk agama (padahal  agamanya  sangat inklusif). Beragam aktifitas yang diatas namakan agama yang sering dikomandokan pemikir agama yang sempit, hanya akan menciptakan masyarakat eksklusif, sempit pandangan dan acuh tak acuh  dalam aktifitas dalam masyarakat yang plural. Orang  seperti  ini  telah  mengotori  agamanya  sendiri tanpa ia sadari.

2- Orang yang tidak teguh dalam beragama dalam arti tidak teguh dalam meyakini agamanya (kelompok ini datang khusus dari agama yang tidak menyeru pada eksklusivisme).

Bahaya yang datang dari kelompok ini lebih besar dari yang sebelumnya. Sebab sebelum segala sesuatunya kelompok ini telah menghianati agama itu sendiri dan kemudian membohongi pemeluk-pemeluknya. Kelompok ini sering hadir dalam bentuk penyamaan terhadap semua agama, membenarkan semua agama.

Jelasnya begini, saya adalah pemeluk agama Islam, lalu saya menyeru kepada umat Islam bahwa agama Kristen itu juga sama seperti agama Islam. Kitab suci orang Kristen juga masih asli seperti Alquran. Kemudian masyarakat yang percaya kepada saya akan menerima omongan saya mentah-mentah sembari meyakininya. Namun setelah mereka benar-benar berinteraksi dengan agama Kristen ternyata antara dua agama itu terdapat perbedaan dan pertentangan. Di saat ia mencoba mengerti tentang agama Kristen ternyata agama itu telah mengklaim kebenaran agamanya, begitu juga saat ia kembali pada agama Islam, masyarakat Islam pun demikian meyakini kebenaran agamanya.

Apa yang terjadi setelah itu? Orang yang amat mendengar seruan saya tersebut berangkat dari semangat pluralismenya yang tulus akan dengan serta merta menyalahkan orang-orang yang mengklaim kebenaran agama masing-masing. Baik itu dari masyarakat yang seagama dengannya ataupun yang berbeda.

Kesimpulannya, ia telah menciptakan dua musuh dalam waktu yang bersamaan. Musuh dari luar dan musuh dari dalam sendiri. Maka orang tersebut akan menjadi sumber kerusakan dalam rumah sendiri, juga di luar rumah.

Sementara yang harus kita yakini sebagai umat beragama adalah :
Perbedaan harus ada dalam hidup bermasyarakat. Ini merupakan kesepakatan semua  orang yang berakal, termasuk di dalamnya perbedaan di dalam beragama. Pluralisme berfungsi dalam arena interaksi dengan sesama untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Berangkat dari memahami perbedaan sesorang akan mudah dalam mewujudkan masyarakat yang pluralis.

Perhatikan, betapa dungunya orang yang mengatakan dua berbeda itu sama; dua kitab  suci yang jelas berbeda bahkan  kadang bertentangan adalah  sama; dua  agama  yang  saling bertentangan adalah  sama-sama benar. Akal sehat mana yang bisa  mempercayai pernyataan seperti itu? Ia adalah musuh besar pluralisme yang mendakwakan dirinya sebagai pembela pluralisme. Ia adalah maling pluralisme yang menuduh orang lain sebagai maling. Inilah penyakit yang di idap oleh kaum liberalis  akan tetapi mereka tidak menyadari.

Bersama Menuju Pluralisme

Ada banyak hal yang amat menghambat kita dalam mewujudkan semangat pluralisme di Indonesia diantaranya:

A . Problem nasional yang tidak kunjung padam, serta tidak adanya jaminan keamanan bagi masyarakat dari penguasa, berikut lambatnya penguasa menangani konflik. Hal yang akan menjadikan semua serba panas, bikin sesak dada, rasa ingin berontak, saling menyalahkan yang tidak hanya mempertinggi volume ketegangan antar agama tapi juga antar suku yang kadang juga masih seagama. Solusi problem yang satu ini lebih tepat jika diserahkan kepada pemerintah dengan  syarat “sungguh-sungguh”.

B . Problem  seagama.
Dalam Islam misalnya, masih sering terjadi permusuhan antar kelompok. Berbeda pendapat adalah wajar, tetapi mengklaim kekafiran atau bid`ah terhadap kelompok tertentu tanpa prosedur yang sah dalam Islam amat mengganggu jalannya pluralisme. Belum lagi adanya isu-isu aneh tentang pemikiran (yang seolah-olah Islami) yang sering diangkat ke permukaan, yang hanya akan menambah suasana yang sudah panas ini bertambah panas. Untuk problem ini solusinya adalah mengembalikan permasalahannya kepada pakar Islam. Pakar yang benar-benar pakar, tercatat pernah mempelajari Islam dengan benar dengan bimbingan guru yang benar, punya mata rantai keilmuan dengan guru pluralis Nabi Muhammad SAW.

C.Problem moral.
Banyaknya  kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat  kita, mulai  dari pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, dll adalah potret nyata jauhnya masyarakat kita dari tata moral agama. Pelakunyapun merata di seluruh  lapisan  masyarakat. Mulai dari rakyat  kecil, pejabat, orang  awam, bahkan tokoh  agama. Hal semacam ini  yang  menimbulkan  keraguan  terhadap  fungsi  agama  sebagai  cara dan  jalan  hidup. Padahal jelas kesalahan  bukan  di agama  tapi  pada  pemeluk  agama. Orang  yang  semacam  ini amatlah  sulit  untuk  diajak  mengerti tentang  pluralisme, apa  lagi  untuk  menerapkanya. Padahal  pluralisme  dalah  puncak  moralitas.

Untuk  problem  yang  satu  ini  adalah  Pekerjaan Rumah (PR) bagi  semuanya, mulai  dari  penguasa, tokoh  agama, lembaga-lembaga  sosial dan keagamaan dan  setiap  individu, untuk  sama-sama  menyadari pentingnya  bermoral dalam  beragama dan  bermasyarakat. Karena  moral  sifatnya “kesadaran penuh” saat  disaksikan  orang  atau  tidak. Maka  pembinaannyapun  tidak  cukup dengan penegakan  hukum  oleh  penguasa, tapi  lebih  dari  itu, harus tercipta  kesadaran dalam  beragama. Artinya keyakinan akan  adanya  hari  pembalasan, keyakinan bahwa  yang  lolos  dari  hukuman  di dunia  tidak  akan  lolos   dari hukuman  Tuhan di hari  pembalasan. Dan  kebaikan  yang  kita  lakukan  sekarang  akan  kitak  petik  buahnya  kelak.

Dengan demikian  pintu  akan terbuka lebar untuk  mewujudkan  pluralisme atau  bahkan  dengan  sendirinya  pluralisme  akan  terwujud. Karena  pluralisme tidak  lain  dari  tata  moral  dalam  bermasyarakat, baik  itu  sesuku, seagama, antar  agama dan  antar bangsa dengan  menjauhkan  problem  sosial,agama dan  moral dalam individu  dan  masyarakat.

Dengan penuh pengharapan kepada Allah semoga pluralisme tidak hanya di layar atau di selebaran terbaca dan meja diskusi. Tetapi akan benar-benar tertanam dalam hati bangsa Indonesia lalu  di terjemahkan  kedalam dunia  interaksi hingga negeri ini akan  tentram  damai  penuh  rahmat  dan   pengampunan dari Allah SWT. Wallahu a’lam.


 
 
images/index_r1_c1.gif

Tidak ada komentar