Sebelum saya berbicara tentang pluralisme
terlebih dahulu saya akan menyinggung istilah “pluralisme” dengan harapan agar
tidak terjadi kesalah-pahaman di antara semua di hadapan istilah tersebut.
Pluralisme sering di artikan oleh penyerunya
sebagai sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat
mejemuk disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan sebagai
sesuatu yang bernilai positif, dan merupakan rahmat Allah kepada bangsa menusia
. Pluralisme idak sekedar menyadari akan kemajemukan. Akan tetapi lebih dari itu
harus ada keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut . Seorang
pluralis adalah orang yang menyadari kemajemukan sebagai sesuatu yang positif
sekaligus dapat berinteraksi aktif dalam lingkungan kemajemukan .
Jika demikian adanya maka pluralisme adalah
sesuatu yang telah ditetapkan oleh Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin .
Bahkan jika benar begitu makna pluralisme maka ia adalah sesuatu yang sangat
asasi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Sebenarnya ummat Islam tidak
butuh dengan istilah pluralisme sebab makna yang terkandung didalam Islam amat
melampaui hakekat pluralisme Kalau bukan karena maraknya istilah pluralisme dan
banyaknya kejanggalan prilaku penyeru pluralisme niscaya tidak akan ada istilah
pluralisme dalam tulisan ini. Dan semestinya umat islam sudah tidak boleh
menggunakannya karena istilah pluralisme telah banyak diberi makna beda lalu
digunakan pendusta-pendusta perdamaian dan agama untuk menutupi kebusukan maksud
yang terkandung di kalbunya.
Berinteraksi aktif-positif bukan berarti
menyamakan agama dalam kebenaran (menganggap semua agama benar). Anggapan semua
agama itu benar adalah anggapan yang salah, dan itu ungkapan yan tidak
bermakna. Sebab agama tertuang dalam sebuah keyakinan. Bagaimana dua yang
bertentangan dalam masalah keyakinan kita katakan benar semua. Pasti salah
satunya salah atau dua-duanya harus salah dan yang benar adalah di luar
itu.
Dalam beragama harus ada keyakinan, yang
tidak yakin dengan kebenaran agama bukanlah orang yang beragama. Dalam beragama
ada yang namanya perubahan keyakinan sesuai dengan kuat-lemah dan benar-tidaknya
sebuah hujjah (argumentasi). Tetapi seseorang yang berubah keyakinanya tetap
tidak keluar dari yang namanya keyakinan.
Meyakini kebenaran agama yang dipeluknya lalu
menganggap agama yang lainya salah, tidak ada hubunganya dengan
pluralisme dan juga tidak bertentangan dengan pluralisme. Sebab pluralisme
dalam arti berinteraksi aktif–positif dalam kemajemukan, baik di saat adanya
perbedaan keyakinan atau tidak. Berbeda keyakinan bukan halangan untuk
mewujudkan semangat pluralisme, begitu juga di saat tidak adanya perbedaan bukan
berarti pluralisme telah terwujud.
Orang yang menganggap semua agama benar adalah si
dungu yang berkhianat terhadap keyakinan dan agamanya. Itu sama artinya dengan
orang yang tidak beragama. Anggapan semua kitab-kitab (yang sering disebut
kitab suci) yang ada sekarang ini masih asli semua adalah bentuk yang
lain lagi dari kedunguan penghianat agama.
Yang tidak meyakini kebenaran kitab suci agama
yang dipeluknya akan menghasilkan pendustaan kepada agama kitab suci itu
sendiri. Sebab seseorang yang meyakini kebenaran kitab suci lalu menemukan kitab
suci agama orang lain terdapat beberapa hal yang sangat bertentangan dengan
kitab sucinya, apakah mungkin dengan akal sehatnya bisa meyakini kebenaran kedua
kitab suci tersebut ?. (Perbedaan yang saya maksud adalah perbedaan dalam
prinsip-prinsip keimanan seperti masalah ketuhanan, kenabian, hari akhir
dll)
Pluralisme baginya tidak lebih dari sekedar
basa-basi sosial tanpa ada motivasi yang pasti yang mendorong seseorang untuk
saling mengerti dalam kemajemukan. Yang diharap di dalam melaksanakan tugas
kemanusiaan yang agung ini adalah imbalan dari manusia, atau agar diperlakukan
sebagaimana yang ia lakukan untuk orang lain.
Hal itu amat jauh nilainya jika dibandingkan
dengan pluralisme orang beragama. Orang beragama berkeyakinan bahwa imbalan yang
sejati adalah imbalan dari Tuhan. Imbalan dari manusia tidak masuk dalam
perhitungannya. Artinya, motivasi perbuatannya adalah perkenan Tuhan. Seorang
yang beragama dituntut untuk berbuat baik kepada sesama, baik di saat dia
diperlakukan orang lain dengan baik atau tidak. Hal ini teramat jelas terurai
dalam ajaran Islam yang disebut dengan istilah ikhlas, berbuat hanya karena
Allah. Bahkan amal perbuatan tidak akan di terima Allah jika tidak dilakukan
dengan ikhlas.
Pluralisme; Milik Kita yang Hilang
Diantara masalah
yang akhir-akhir ini amat kerap disebut dalam diskusi atau berbagai studi sosial
dan keagamaan adalah pluralisme. Namun ia lebih seperti salah satu anggota
keluarga yang tidak pernah di sebut kecuali setelah ia tiada. Dalam masyarakat
pluralis, penyebutan istilah pluralisme volumenya akan sangat kecil, yaitu di
saat pluralisme tidak hanya sekedar dalam teori dan jargon. Tetapi benar-benar
telah diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Madinah di zaman Nabi SAW adalah
sample paripurna masyarakat madani yang pluralis. Harmoni kehidupan benar-benar
tercipta, mulai dari perbedaan tradisi antar suku yang beragama sama hingga yang
berbeda agama. Kesiagaan untuk berinteraksi aktif-positif benar-benar terjamin
dan tercipta saat itu. Padahal sebelumnya masyarakat ini amat sulit dipersatukan
dalam satu kesepakatan dalam perbedaan, lebih lagi jika itu perbedaan
keyakinan.
Hal yang demikian itu (yakni keharmonisan)
terbentuk karena adanya komando yang dipatuhi yang menyeru kepada sikap menerima
perbedaan pendapat sekaligus cara menjalani hidup dengan perbedaan dengan cara
yang sebaik-baiknya. Komando yang saya maksud adalah ajaran agama yang dibawa
Nabi Muhammad SAW. Nabi yang diutus Allah untuk menciptakan kasih sayang yang
bukan hanya diantara pengikutNya, tetapi kasih sayang diantara bangsa manusia
semuanya (rahmatan lil’alamiin).
Dalam masyarakat seperti ini seorang Yahudi atau
Kristiani tidak akan pernah merasa risih berinteraksi dengan kaum muslimin.
Bahkan di saat ada dari kaum muslimin yang mengabaikan haknya dengan lega dan
pasti mengangkat permasalahanya keatasan. Dan atasan yang adilpun akan
menjatuhkan vonis sesuai dengan tata aturan perlindungan hak asasi manusia yang
sangat dijunjung tinggi oleh Islam.
Masyarakat yang telah menyadari pentingnya
pluralisme tidak lagi menggembar-gemborkannya dengan lafal, tapi mereka akan
lebih sibuk untuk menjadikan kebersamaan tersebut sebagai asas yang mendasari
sepak terjangnya dalam mengarungi kehidupan ini. Dan sebaliknya, jika asas ini
telah keropos atau bahkan punah, jangankan untuk saling berintraksi
aktif-pasitif dengan orang yang berbeda agama, sesama agama atau bahkan dalam
rumah sendiripun (keluarga) keharmonisan akan sulit diwujudkan.
Problem yang amat komplek di masyarakat kita yang
bertahun-tahun tidak kunjung usai. Pertikaian antar agama dan antar suku yang
sering muncul adalah karena tidak adanya kesadaran akan pluralisme. Dan kita
semua tidak membicarakan pluralisme, kecuali karena pluralisme di Indonesia
memang telah hilang .
Pluralisme Yang Teraniaya
Di saat tidak
adanya kesadaran akan pentingnya pluralisme (dalam arti pluralisme tidak lagi
dijadikan pijakan untuk hidup bermasyarakat) maka pluralisme disebut dan
dihadirkan untuk memberi solusi problem yang merebak. Menjadikan pluralisme
sebagai solusi adalah kedzaliman pertama bangsa manusia terhadapnya, menyusul
berikutnya kedzaliman dalam cara menghadirkan pluralisme dalam sebuah
komunitas.
Kita tidak ingin pluralisme dijadikan senjata
sekelompok orang untuk memonopoli situasi demi sebuah ideologi atau kepentingan
kelompok. Kita tidak ingin pluralisme di jadikan alat penjajahan ideologi. Sebab
yang semestinya, pluralisme adalah pelindung ideologi.Adanya indikasi yang
demikian adalah yang telah menjadikan benih pluralisme terbunuh sebelum
dilahirkan. Bahkan untuk sebagian orang, kelahirannyapun tidak diharapkan.
Hal lain yang perlu diamati adalah semangat
pluralisme hendaknya tidak hanya diserukan diantara umat yang berbeda agama.
Tetapi diantara sesama agama, atau lebih khusus lagi keluarga (yakni antara
warga dalam keluarga), kesadaran pentingnya pluralisme juga harus dihidupkan.
Suatu kedunguan yang nyata menyeru pluralisme antar agama sementara di dalam
rumahnya sendiri semangat ini telah mati. Ini adalah titik penting yang sering
dilupakan. Dalam Hadits Nabi SAW disebutkan (yang artinya): “Sebaik-baik kalian
adalah yang bisa berbuat baik kepada keluarganya”.
Betapa banyak orang yang bisa beramah-tamah
dengan orang lain tetapi bersama keluarganya yang tampak hanya suramnya. Mulai
dari omongan yang kasar, juga perbuatan yang merugikan bahkan ada yang begitu
mudah mendaratkan telapak tanganya di pipi sang istri.Begitu juga dalam sebuah
agama (Islam misalnya), ketegangan sering hadir di kalangan mereka sendiri.
Kadangkala disebabkan oleh orang-orang yang amat lantang menyeru pluralisme.
Yang tidak mampu menjaga kebersamaan dalam agamanya, bagaimana mungkin akan
menyeru kebersamaan dengan agama lain?
Orang bijak adalah orang yang pandai menghindari
atau memperkecil perpedaan pendapat, dan sebisa mungkin menjelaskan agar
perbedaan pendapat jangan menjadi sebab permusuhan. Bebasnya media hendaknya
kita manfaatkan untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat bukan untuk
membingungkan masyarakat.
Gejala semacam ini jika tidak segera
ditanggulangi atau kita beri solusi, akan membesar menjadi problem masyarakat
luas. Puncaknya adalah ancaman bagi terwujudnya semangat pluralisme. Semangat
pluralisme yang menggebu-nggebu dalam upaya menciptakan keharmonisan antar agama
jika tidak dibarengi dengan semangat pluralisme dalam masyarkat seagama, akan
menimbulkan kesan bahwa pluralisme antar agama hanya akan merusak kerukunan
masyarakat seagama. Ini adalah lain lagi dari kedzaliman kita kepada
pluralisme.
Islam dan Pluralisme
Sebagai seorang yang beragama Islam sayapun akan
mencoba menampilkan wajah agama yang saya peluk sebagai gambaran umum sekaligus
asasi tentang Islam dan pluralisme. Jika benar penerjemahan kata ”tasamuh”
adalah toleransi, maka pluralisme di dalam Islam bukanlah maknanya membudayakan
toleransi. Didalam islam tidak ada toleransi sebab toleransi baru dihadirkan di
saat satu dengan yang lainnya telah sama–sama tidak bisa menjalankan kewajiban
dan memberikan hak orang lain. Suatu hal yang amat berbeda dengan “pluralisme”
dalam Islam yang merupakan ketetapan hukum yang harus senantiasa dihadirkan
dalam segala kondisi.
Jika kita berbuat baik kepada tetangga atu orang
yang berbeda agama dengan kita atau perkenan Islam kepada non-muslim untuk
tinggal di dalam masyarakat Islam (negara Islam) berikut kebebasanya dalam
beraktifitas dengan masyarakat Islam atau non-Islam juga kebebasan dalam
beribadah bukanlah sebuah toleransi, tetapi hal merupakan ketetapan hukum yang
telah ditetapkan oleh Islam. Suatu kesalahan jika ketetapan hukum dianggap
sebagai toleransi. Sebab toleransi tidak lebih dari menjatuhkan hak atau
merelakan haknya untuk tidak dipenuhi dan itupun ada batasan-batasan yang harus
dipatuhi. Bukan pujian terhadap Islam jika hukum yang ditetapkan Islam
untuk non-muslim itu disebut sebagai toleransi. Karena anggapan ini
seolah-olah mengingkari jika yang demikian itu adalah ketetapan hukum.
Untuk lebih jelasnya kita bisa merujuk pada Nabi
Islam, sosok pluralis yang paripurna. Para pengikutnyapun seharusnya meniti
jejak beliau. Mewujudkan pluralisme dalam Islam tidak diperlukan berbagai macam
toleransi, sebab pluralisme sendiri telah ditetapkan Islam dalam hukum-hukum
yang jelas. Hanya dengan kembali kepada agamanya seorang muslim akan menjadi
seorang yang pluralis.
Di saat Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah,
beliau menjamin masyarakat Yahudi dengan kebebasan beraktifitas dan menikmati
haknya serta memberikan perlindungan keamanan dari penghianatan dan gangguan
dari luar (Ibnu Hisyam 106/2). Padahal jika seandainya Nabi SAW menghardik atau
memusnahkan mereka, beliau tidak akan dicela. Sebab Nabi SAW pernah dikhianati
oleh Yahudi Bani Quraidhoh pasca perang Badar Kubra begitu juga Yahudi Bani
Nadzir pasca perang Uhud. Penghianatan yang lain datang dari Yahudi Bani
Quraidhah pasca perang Khondak. Pun demikian Nabi SAW yang diutus untuk membawa
dan memberikan kasih sayang itu, senantiasa lemah lembut terhadap mereka dengan
harapan keharmonisan bisa tercipta, biarpun orang-orang Yahudi tidak
menghendakinya.
Begitu pula pada masa Kholifah Abu Bakar r.a,
penerus dakwah Nabi SAW. Amat banyak cerita yang menunjukan bahwa beliau itu
amat pluralis sebagaimana pendahulunya. Diantaranya adalah sepuluh wasiat beliau
yang diberikan kepada Usamah bin Zaid yang berisi larangan menghianati lawan
(dalam perang); mencincang; membunuh anak kecil, orang tua, wanita; merusak
tanaman; membunuh binatang kecuali untuk dimakan; menghancurkan tempat
peribadatan, dst. Wasiat semacam ini disampaikan di saat ada perlawanan dari
orang non Islam. Dalam Islam tidak ada istilah memusnahkan orang di luar Islam
tetapi yang ada adalah menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan penuh damai.
Status keberadaan non muslim dalam masyarakat Islam juga beliau kukuhkan
sebagai mana pendahulunya Nabi Muhammad SAW.
Kholifah Umar r.a pun demikian, seiring dengan
berbondong-bondongnya orang masuk Islam, wilayah Islampun dengan
sendirinya meluas. Persilangan budaya, tradisi dan agama beliau selesaikan
dengan cukup kembali kepada hukum yang ditetapkan pendahulunya Nabi Muhammad
SAW. Bahkan di saat terjadinya peperangan sekalipun beliau tidak lupa
mengingatkan pasukanya. seperti yang disampaikan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas
agar menjauhkan pasukanya dari pemukiman non muslim. Ini dengan tujuan agar
tidak memperkenankan siapapun dari kaum muslimin memasuki pemukiman mereka
kecuali orang yang benar-benar bisa dipercaya, sehingga tidak berbuat aniaya
terhadap hak milik mereka, sebab mereka punya kehormatan yang harus
dilindungi.
Yang mereka lakukan bukanlah untuk sebuah
toleransi, tetapi karena itulah ketetapan hukum Islam. Dan masih banyak lagi
suri-tauladan pluralisme pada masa Nabi SAW dan sahabat. Begitu juga sejarah
perluasan Islam, termasuk masuknya Islam ke negara kita yang penuh kedamaian,
bukan melalui peperangan atu penindasan. Adakah makna pluralisme selain dari itu
semua?.Pluralisme punya satu hakikat yang sungguh diseru oleh Islam. Siapapun
harus bisa membedakan antara pemeluk Islam dan Islam itu sendiri. Gagalnya
pluralisme dalam masyarakat Islam di sebabkan oleh kurang dekatnya mereka kepada
ajaran agamanya.
Musuh-Musuh Pluralisme
Jika kita mengamati
sekitar kita, terdapat dua kelompok yang amat berbahaya terhadap eksistensi
pluralisme. Bahkan keberadaan mereka tanpa disadari telah menghancurkan
bangunan pluralisme yang semakin hari semakin rapuh. Mereka adalah :
1-Orang-orang yang eksklusif dalam pemikiran
keberagamaan, terkesan sekali dalam sepak terjang mereka menganggap dunia ini
hanya mereka saja yang layak menghuninya. Sementara pemeluk lain tidak lebih
sebagai makhluk jahat yang tidak boleh diberi kesempatan untuk hidup di bumi
ini. Eksklusivisme ini sering muncul dalam wajah-wajah ekstrim setiap agama
termasuk di dalamnya agama Islam, Yahudi, Kristen, dan lain-lain.
Ekstrimisme inipun hadir bukan tanpa sebab, tetapi ia adalah sesuatu
yang terlahir dari salah satu dari dua hal berikut ini :
a-Keberadaan agama
itu sendiri yang eksklusif, sarat dengan doktrin-doktrin memusnahkan siapapun
yang tidak sepaham dengan agama tersebut.
b-Kebodohan sang pemeluk agama
(padahal agamanya sangat inklusif). Beragam aktifitas yang diatas namakan
agama yang sering dikomandokan pemikir agama yang sempit, hanya akan menciptakan
masyarakat eksklusif, sempit pandangan dan acuh tak acuh dalam aktifitas dalam
masyarakat yang plural. Orang seperti ini telah mengotori agamanya sendiri
tanpa ia sadari.
2- Orang yang tidak teguh dalam beragama dalam arti
tidak teguh dalam meyakini agamanya (kelompok ini datang khusus dari agama yang
tidak menyeru pada eksklusivisme).
Bahaya yang datang dari kelompok ini
lebih besar dari yang sebelumnya. Sebab sebelum segala sesuatunya kelompok ini
telah menghianati agama itu sendiri dan kemudian membohongi pemeluk-pemeluknya.
Kelompok ini sering hadir dalam bentuk penyamaan terhadap semua agama,
membenarkan semua agama.
Jelasnya begini, saya adalah pemeluk agama
Islam, lalu saya menyeru kepada umat Islam bahwa agama Kristen itu juga sama
seperti agama Islam. Kitab suci orang Kristen juga masih asli seperti Alquran.
Kemudian masyarakat yang percaya kepada saya akan menerima omongan saya
mentah-mentah sembari meyakininya. Namun setelah mereka benar-benar berinteraksi
dengan agama Kristen ternyata antara dua agama itu terdapat perbedaan dan
pertentangan. Di saat ia mencoba mengerti tentang agama Kristen ternyata agama
itu telah mengklaim kebenaran agamanya, begitu juga saat ia kembali pada agama
Islam, masyarakat Islam pun demikian meyakini kebenaran agamanya.
Apa
yang terjadi setelah itu? Orang yang amat mendengar seruan saya tersebut
berangkat dari semangat pluralismenya yang tulus akan dengan serta merta
menyalahkan orang-orang yang mengklaim kebenaran agama masing-masing. Baik itu
dari masyarakat yang seagama dengannya ataupun yang
berbeda.
Kesimpulannya, ia telah menciptakan dua musuh dalam waktu yang
bersamaan. Musuh dari luar dan musuh dari dalam sendiri. Maka orang tersebut
akan menjadi sumber kerusakan dalam rumah sendiri, juga di luar
rumah.
Sementara yang harus kita yakini sebagai umat beragama adalah
:
Perbedaan harus ada dalam hidup bermasyarakat. Ini merupakan kesepakatan
semua orang yang berakal, termasuk di dalamnya perbedaan di dalam beragama.
Pluralisme berfungsi dalam arena interaksi dengan sesama untuk menciptakan
keharmonisan hidup bermasyarakat. Berangkat dari memahami perbedaan sesorang
akan mudah dalam mewujudkan masyarakat yang pluralis.
Perhatikan, betapa
dungunya orang yang mengatakan dua berbeda itu sama; dua kitab suci yang jelas
berbeda bahkan kadang bertentangan adalah sama; dua agama yang saling
bertentangan adalah sama-sama benar. Akal sehat mana yang bisa mempercayai
pernyataan seperti itu? Ia adalah musuh besar pluralisme yang mendakwakan
dirinya sebagai pembela pluralisme. Ia adalah maling pluralisme yang menuduh
orang lain sebagai maling. Inilah penyakit yang di idap oleh kaum liberalis
akan tetapi mereka tidak menyadari.
Bersama Menuju Pluralisme
Ada
banyak hal yang amat menghambat kita dalam mewujudkan semangat pluralisme di
Indonesia diantaranya:
A . Problem nasional yang tidak kunjung padam,
serta tidak adanya jaminan keamanan bagi masyarakat dari penguasa, berikut
lambatnya penguasa menangani konflik. Hal yang akan menjadikan semua serba
panas, bikin sesak dada, rasa ingin berontak, saling menyalahkan yang tidak
hanya mempertinggi volume ketegangan antar agama tapi juga antar suku yang
kadang juga masih seagama. Solusi problem yang satu ini lebih tepat jika
diserahkan kepada pemerintah dengan syarat “sungguh-sungguh”.
B .
Problem seagama.
Dalam Islam misalnya, masih sering terjadi permusuhan antar
kelompok. Berbeda pendapat adalah wajar, tetapi mengklaim kekafiran atau bid`ah
terhadap kelompok tertentu tanpa prosedur yang sah dalam Islam amat mengganggu
jalannya pluralisme. Belum lagi adanya isu-isu aneh tentang pemikiran (yang
seolah-olah Islami) yang sering diangkat ke permukaan, yang hanya akan menambah
suasana yang sudah panas ini bertambah panas. Untuk problem ini solusinya adalah
mengembalikan permasalahannya kepada pakar Islam. Pakar yang benar-benar pakar,
tercatat pernah mempelajari Islam dengan benar dengan bimbingan guru yang benar,
punya mata rantai keilmuan dengan guru pluralis Nabi Muhammad
SAW.
C.Problem moral.
Banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh
masyarakat kita, mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, dll
adalah potret nyata jauhnya masyarakat kita dari tata moral agama. Pelakunyapun
merata di seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari rakyat kecil, pejabat,
orang awam, bahkan tokoh agama. Hal semacam ini yang menimbulkan keraguan
terhadap fungsi agama sebagai cara dan jalan hidup. Padahal jelas
kesalahan bukan di agama tapi pada pemeluk agama. Orang yang semacam
ini amatlah sulit untuk diajak mengerti tentang pluralisme, apa lagi
untuk menerapkanya. Padahal pluralisme dalah puncak
moralitas.
Untuk problem yang satu ini adalah Pekerjaan Rumah (PR)
bagi semuanya, mulai dari penguasa, tokoh agama, lembaga-lembaga sosial dan
keagamaan dan setiap individu, untuk sama-sama menyadari pentingnya
bermoral dalam beragama dan bermasyarakat. Karena moral sifatnya “kesadaran
penuh” saat disaksikan orang atau tidak. Maka pembinaannyapun tidak cukup
dengan penegakan hukum oleh penguasa, tapi lebih dari itu, harus tercipta
kesadaran dalam beragama. Artinya keyakinan akan adanya hari pembalasan,
keyakinan bahwa yang lolos dari hukuman di dunia tidak akan lolos dari
hukuman Tuhan di hari pembalasan. Dan kebaikan yang kita lakukan
sekarang akan kitak petik buahnya kelak.
Dengan demikian pintu
akan terbuka lebar untuk mewujudkan pluralisme atau bahkan dengan
sendirinya pluralisme akan terwujud. Karena pluralisme tidak lain dari
tata moral dalam bermasyarakat, baik itu sesuku, seagama, antar agama dan
antar bangsa dengan menjauhkan problem sosial,agama dan moral dalam
individu dan masyarakat.
Dengan penuh pengharapan kepada Allah semoga
pluralisme tidak hanya di layar atau di selebaran terbaca dan meja diskusi.
Tetapi akan benar-benar tertanam dalam hati bangsa Indonesia lalu di
terjemahkan kedalam dunia interaksi hingga negeri ini akan tentram damai
penuh rahmat dan pengampunan dari Allah SWT. Wallahu a’lam.
Post a Comment