Cara Mendakwahi Orang Kafir Agar Mau Masuk Islam
Cara Mendakwahi Orang Kafir Agar Mau
Masuk Islam
Metode yang paling jitu
dan sempurna untuk mendakwahi orang-orang kafir agar mereka memeluk agama Islam
adalah metode Al-Qur’ân Al-Karîm, karena hujjah-nya yang jelas, buktinya
yang nyata, petunjuknya yang lurus, dan arahannya yang jelas dan gamblang.
Ketika kita memperhatikan
dengan seksama metode-metode Al-Qur’ân untuk mendakwahi orang-orang kafir
–dengan perbedaan agama dan madzhab yang ada pada diri mereka –, kita akan
mendapatkan metode-metode tersebut terhimpun pada beberapa poin berikut[2]:
1. Menjelaskan tentang kebaikan, kesempurnaan dan keindahan agama Islam
dari segi akidah, ibadah dan muamalah. Syaikh ‘Abdul `Azîz bin Bâz rahimahullâh
pernah mengatakan, “Kaum muslimin dan seluruh manusia di dunia pada saat ini
sangat membutuhkan penjelasan tentang agama Islam dan penampakan
keindahan-keindahan Islam serta dijelaskan hakikat Islam. Demi Allah!
Seandainya orang-orang pada saat ini mengenal agama Islam dan seluruh alam pun
mengenal hakikat Islam, niscaya mereka akan berbondong-bondong untuk masuk
Islam.”[3]
2. Menyebutkan bukti-bukti kebenaran ajaran Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallamagar siapa saja yang menghendaki kebenaran dan jujur (terhadap
kebenaran itu) akan mendapatkan petunjuk, dan agar dapat
menegakkan hujjah atas para penentangnya.
3. Mematahkan syubhat orang-orang kafir terhadap agama ini dan membantah
semua hal yang mereka jadikan sebagai hujjah atau segala sesuatu yang
mereka gunakan untuk mendebat kaum muslimin. Al-Qur’ân telah menunjukkan bukti
yang paling jelas dan hujjah yang paling kuat dan cukup untuk menunjukkan
kebenaran dan menumpas kebatilan.
4. Mengingatkan orang-orang kafir akan hukuman yang telah diperoleh umat
terdahulu dan kebinasaan yang Allah timpakan kepada umat yang membangkang
dengan berbagai bentuk hukuman dan berbagai jenis siksaan.
5. Memberikan peringatan kepada mereka terhadap apa-apa yang telah Allah
siapkan untuk orang-orang kafir berupa hukuman-hukuman di dunia dan akhirat.
6. Memadukan antara metode targhîb (pemberian motivasi)
dan tarhîb (peringatan dengan menyampaikan ancaman) dengan cara
menyebutkan apa yang akan mereka peroleh jika mereka masuk Islam, berupa:
faidah yang agung, hasil yang bermanfaat, dan kebaikan yang terus menerus di
dunia dan akhirat. Dan menyebutkan apa yang akan mereka peroleh jika mereka
tetap berada dalam kekafiran, berupa: keburukan-keburukan yang banyak,
bahaya-bahaya yang mengkhawatirkan dan kerusakan yang berkesinambungan di dunia
dan akhirat. Di antara contoh penerapan metode ini adalah surat
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamkepada Raja Romawi, Heraklius.
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
(( أَمَّا بَعْدُ
فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ
أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ
))
Artinya: “…Amma ba’du, Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam.
Berislamlah, maka engkau akan selamat dan Allah akan melipatgandakan
pahalamu dua kali. Namun jika engkau berpaling, engkau akan menanggung dosa
para pengikutmu.”[4]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dalam
perkataannya ini metode targhîb dantarhîb.[5]
7. Menjelaskan kepada mereka tentang kebatilan yang ada pada agama
mereka, berupa: jenis-jenis kejelekan, kerusakan, akibat-akibat buruk,
kontradiksi, dan kegoncangan.
8. Memperingatkan mereka agar tidak menaati para pemimpin keburukan dan
para penyeru untuk menuju neraka. Barangsiapa yang mengikuti mereka, sungguh
dia pasti akan menyesal.
9. Mengingatkan mereka atas segala nikmat yang terus-menerus Allah
berikan kepada mereka. Dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah sendiri yang
menciptakan, mengatur, memberikan nikmat yang zahir (tampak) dan batin (tidak
tampak). Selanjutnya, kita menjelaskan kepada mereka bahwa hanya Dia-lah yang
berhak untuk diibadahi dan ditaati dan tidak diberikan kepada selain-Nya.
10. Membandingkan antara keindahan dan kesempurnaan yang ada dalam agama
Islam dengan kejelekan, kebodohan, dan kontradiksi yang ada pada agama mereka.
11. Mendebat mereka dengan ilmu yang mendalam, bukti yang nyata,
dan hujjahyang jelas. (Ibnul-Qayyim berkata), “Terdapat dua faidah dari
perdebatan tersebut:
i. Memalingkan mereka dari kebatilan agar kembali kepada kebenaran.
ii. Mencegah dari kejelekan dan permusuhan yang ada pada mereka dan
orang-orang memahami bahwa apa yang ada pada mereka adalah sebuah kebatilan.”[6]
Menghilangkan berbagai pemahaman mereka yang
salah atau gambaran-gambaran (image) yang tidak benar terhadap agama ini. Hal
tersebut bisa jadi disebabkan karena agama ini sampai kepada sebagian mereka
dalam gambaran yang tidak sebenarnya, dengan sebab kesalahan sebagian orang
yang telah memeluk agama ini, di mana mereka tergabung ke dalam
kelompok-kelompok sesat yang mengaku bagian dari agama Islam atau bisa juga
karena kebodohan yang ada pada sebagian orang yang menukil tentang agama ini
kepada orang-orang yang didakwahi, sehingga tidak tampak roh Islam, hakikat,
keindahan, dan kesempurnaan Islam di hadapan mereka. Akibatnya, hal tersebut
menjadi sebab mereka menarik diri untuk tidak memeluk Islam dan menolaknya.
Jika gambaran-gambaran (image) yang tidak benar
dan pemahaman yang salah tersebut telah dihilangkan, akan tampak keindahan
Islam di hadapan mereka, kesempurnaannya, dan jauhnya agama ini dari berbagai
bentuk sifat berlebihan dan penyelewengan.
Suatu ketika Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah
didatangi oleh tiga orang pendeta. Kemudian, ia mendebat mereka dan
menegakkan hujjah atas mereka. Ia menerangkan bahwasanya mereka
orang-orang kafir dan mereka tidak berada di atas agama Ibrâhîm
dan al-Masîh (Nabi ‘Îsâ)‘alaihimassalâm.
Para pendeta tersebut berkata kepada
Syaikhul-Islam, “Kami melakukan sebagaimana yang kalian lakukan. Kalian
menyembah Nafîsah* sedang kami menyembah Maryam, padahal kita sepakat bahwa
al-Masîh dan Maryam lebih utama daripada Hasan dan Nafîsah. Selain
itu, kalian juga memohon pertolongan di saat genting kepada orang-orang soleh
sebelum kalian dan kami pun demikian.”
Syaikh Islam pun menjawab, “Benar. Siapa saja
yang melakukan hal yang telah kalian sebutkan, maka dia memiliki keserupaan
dengan kalian. Tetapi, itu semua bukanlah agama yang Nabi Ibrâhîm
‘alaihissalâm berada di atasnya. Sesungguhnya agama yang Nabi Ibrâhîm
‘alaihissalâmberada di atasnya adalah tidak beribadah kecuali hanya kepada
Allah semata, Dia tidak memiliki sekutu, tandingan, istri dan anak. Kami
tidak mempersekutukannya dengan malaikat, matahari, bulan dan bintang. Demikian
juga, kami tidak mempersekutukannya dengan salah seorang nabi di antara para
nabi dan tidak juga dengan orang soleh.” Kemudian beliau menjelaskan kepada
mereka tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan rasul dan hakikat dari
tauhid tersebut.
Beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya tauhid para
nabi dan rasul berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pelaku kebatilan
tersebut.
Setelah mereka mendengar hal tersebut dari
beliau, mereka pun berkata, “Agama yang engkau sebutkan lebih baik daripada
agama yang kami dan orang-orang tersebut berada di atasnya.” Setelah itu,
mereka pun pergi meninggalkannya.[7]
12. Berlemah-lembut terhadap mereka, berusaha sebisa mungkin menasehati
dan melunakkan hati mereka, dan bersabar dalam menjalankan semua itu tanpa
sikap tergesa-gesa ingin melihat hasil dan buah dari semua amalan tersebut.
Usaha melunakkan hati mereka memberikan kesan
yang mendalam pada diri mereka. Di antara kesan tersebut adalah tertariknya
hati mereka kepada kebaikan, tumbuhnya rasa cinta untuk mendapatkan hidayah
(petunjuk), dan timbulnya motivasi untuk memeluk Islam. (Syaikul-Islam
berkata), “Imam Abu Dâwûd meriwayatkan bahwasanya Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam suatu ketika diminta melakukan istisqâ’ (memohon
turunnya hujan) oleh sebagian kaum musyrikîn. Beliau pun memenuhi
permintaan mereka.[8] Perbuatan itu merupakan bentuk perbuatan baik dari Rasul kepada
mereka untuk melunakkan hati mereka dengan memohonkan hujan. Hal tersebut
sebagaimana perbuatan beliau yang lainnya untuk melunakkan hati mereka.”[9]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Shofwân bin
Umayyah radhiallâhu ‘anhu, bahwasanya ia berkata:
(( أَعْطَانِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَوْمَ حُنَيْنٍ وَإِنَّهُ لأَبْغَضُ
النَّاسِ إِلَيَّ فَمَا زَالَ يُعْطِينِي حَتَّى صَارَ إِنَّهُ
لأَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ ))
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu
pemberian kepadaku saat perang Hunain. Padahal, pada saat itu beliau merupakan
manusia yang paling aku benci. Setelah itu, Rasulullah terus memberikan
pemberian kepadaku hingga jadilah beliau manusia yang paling aku cintai.”[10]
Imam Al-Bukhâri meriwayatkan di dalam kitabnya
Al-Adabul-Mufrad dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Mujahid, bahwasanya ia
berkata:
(( كُنْتُ عِنْدَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَغُلاَمُهُ
يَسْلُخُ شَاةً - فَقَالَ : يَا غُلاَمُ
إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ - فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : الْيَهُودِيُّ أَصْلَحَكَ
اللَّهُ -
قَالَ : إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُوصِي بِالْجَارِ حَتَّى خَشِينَا أَوْ رُئِينَا أَنَّهُ
سَيُوَرِّثُهُ ))
Artinya: Suatu ketika saya bersama ‘Abdullâh bin ‘Amr, anak
laki-lakinya yang masih kecil sedang menguliti kambing. ‘Abdullah pun berkata,
“Wahai anakku! Apabila engkau telah selesai, mulailah bersedekah dengan
tetangga kita yang beragama Yahudi!” Lalu seorang laki-laki dari kaumnya
berkata, “Orang Yahudi?! Semoga Allah memperbaiki keadaanmu.” Beliau pun
menjawab, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berwasiat
agar berbuat baik dengan tetangga sehingga kami khawatir atau kami mengira
bahwasanya beliau akan menjadikannya sebagai ahli warisnya.’”[11]
Membujuk orang yang didakwahi, berlemah lembut
terhadap mereka, berbuat baik kepada mereka dan perbuatan lain yang semisalnya,
memiliki bekas yang mendalam pada diri mereka sehingga menjadikan mereka mau
menerima kebaikan dan merasa puas dengannya.
[1] Diterjemahkan
dari ‘Bab Tharîqatu Da’watil-Kuffâri Ilal-Islâm’ dalam buku beliau
yang berjudul ‘Makânatud-Da’wati ilallah wa Asas Da’wati Ghairil-Muslimîn’ oleh
Abu Ahmad Said Yai.
[2] Lihat Al-Qawâ’idul
Hisân Al-Muta-a’lliqah bi Tafsîril Qur-ân hal. 9.
[3] Majmû’
Muallafâtis-Syaikh Ibni Bâz (I/338)
[4] ShahîhAl-Bukhâri no.
7.
[5] Lihat Fathul-Bâri (I/39).
[6] Ash-Shawâ’iqul-Mursalah (IV/1276).
* Dia
adalah Nafîsah binti Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin ‘Ali bin
Abi Thâlib. Beliau meninggal pada tahun 208 H, berumur 85 tahun dan dimakamkan
di Mesir . Beliau adalah wanita yang solehah, terkenal dengan ibadah, sedekah
dan kezuhudannya. Beliau bertemu dengan Imam Asy-Syâfi’i, bahkan diriwayatkan
bahwa Imam Asy-Syâfi’i memperdengarkan beberapa hadîts kepada beliau. Banyak
orang yang mengunjungi kuburan beliau dan berdoa kepada beliau, karena
memandang kuburan beliau memiliki keberkahan dan tempat mustajab untuk berdoa.
(Lihat:Wafayâtul-A’yân libni Khalkân (V/423-424), Al-Wâfi
bil-wafayât lish-Shafadi (VII/358) danBidâyah wan-Nihâyah libni
Katsîr (X/286). ) (Tambahan dari penerjemah)
[7] Lihat Majmû’
al-Fatâwâ (I/370-371).
[8] Berkata
penulis: “Saya tidak menemukan riwayat seperti ini di dalam kitab Sunan Abu
Dâwûd. Imam Al-Bukhâri meriwayatkan semisal hadîts ini
di dalam kitab Shahîh-nya no. 4821 dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd radhiallâhu
‘anhu, disebutkan di dalam hadîts tersebut,
“Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wasallam didatangi dan dikatakan
kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah! Mohonkanlah kepada Allah agar menurunkan
hujan untuk Mudhar.’ Beliau berkata: ‘Untuk Mudhar! Berani sekali kamu
(memintaku untuk memohonkan rahmat bagi kaum musyrikîn -pent).’ Beliau pun
memohonkan hujan dan dikabulkan….” (Al-Hadîts)
[9] Majmû’
al-Fatâwâ (I/145)
[10] Al-Musnad (VI/465),
lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (II/364)
[11] Al-Adabul
Mufrad no. 128. Syaikh Al-Albâni menyatakan bahwa hadîts ini shahîh di
dalam kitab Shahîhul Adabil Mufrad no. 95.
Post a Comment