Hak-hak Anak dalam Islam
Hak-hak Anak dalam Islam
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala. Anugerah yang membuat sepasang hati semakin bertambah bahagia.
Kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan harta-benda.
Anak adalah rezki dari Allah. Sudah sepantasnya pasangan
suami istri bersyukur atas rezki itu. Allah subhanahu wa tala berfirman:
﴿ لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ
الذُّكُورَ . أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا
وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ ﴾ [ الشورى: 49 - 50 ]
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi.
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan
kepada siapa yang dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa
yang dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan
perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Dan Dia menjadikan mandul siapa
yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
(QS Asy-Syura : 49-50)
Di antara bentuk rasa syukur adalah memperhatikan
hak-hak anak. Sehingga dengan demikian, terjalinlah hubungan yang harmonis di
dalam keluarga, terciptalah anak-anak yang taat kepada orang tuanya,
terbentuklah watak-watak anak soleh yang siap membangun agama, bangsa dan
negara.
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Islam telah
mengajarkan seluruh aspek kehidupan. Islam telah mengajarkan hak-hak anak yang
harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya.
Di antara hak-hak anak dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1. MEMILIHKAN PASANGAN YANG SOLEH/SOLEHAH SEBELUM
MENIKAH
Sebelum anak dilahirkan, maka seorang yang akan menikah
harus benar-benar memperhatikan dengan siapa ia akan melanjutkan kehidupannya.
Benarnya pilihan akan menentukan kebahagiaan di masa yang akan datang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajarkan kepada pria yang ingin menikah untuk memilih wanita yang solehah
dan beragama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
(( تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ))
Artinya: “Seorang wanita dinikahi dengan empat alasan,
yaitu: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena
agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, maka tanganmu akan berdebu (dalam
bahasa arab ini adalah doa agar mendapat kebaikan atau keberuntungan).”[1]
Hadis ini tidak membatasi bahwa wanita tidak boleh
memilih. Wanita juga dapat memilih siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya.
Untuk mendapatkan pasangan yang soleh/solehah
–alhamdulillah– kita bisa banyak menemukannya di dalam masyarakat muslimin.
Hanya saja, yang paling dibutuhkan oleh seorang yang ingin mencari jodoh adalah
rasa qana’ah (merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh
Allah). Dia harus menyadari bahwa pria/wanita tidak ada yang sempurna.
Dia akan merasakan suatu kesenangan tersendiri apabila
ternyata pasangan hidupnya adalah orang yang soleh, taat dan dapat mendidik
anak-anaknya. Kenikmatan yang tidak dimiliki jika bersama dengan orang yang
hanya mengandalkan harta, kedudukan atau kecantikan saja.
2. MENGUCAPKAN DOA SEBELUM BERHUBUNGAN BADAN UNTUK
MENJAGANYA DARI GANGGUAN SETAN
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajarkan doa ketika berhubungan badan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
(( لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا - فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ ))
Artinya: “Seandainya seseorang di antara kalian ketika
mendatangi istrinya membaca, ‘BISMILLAH ALLAHUMMA JANNIBNASY-SYAITHAN WA
JANNIBISY-SYAITHAN MA RAZAQTANA’ (Dengan nama Allah. Ya Allah, Jauhkanlah setan
dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami). Jika
Allah menakdirkan (dengan hubungan itu terlahir) seorang anak, maka setan tidak
akan bisa memudaratkannya.”[2]
3. MEMPERHATIKANNYA KETIKA BERADA DI RAHIM IBUNYA
Sepasang suami-istri harus memperhatikan keadaan anaknya
ketika berada di rahim, baik yang berhubungan dengan kesehatan bayi yang
dikandungnya maupun sifat-sifat yang akan diturunkan dari ibunya ke anaknya.
Seorang ibu harus sadar terhadap apa yang dikerjakan di kesehariannya. Jangan
sampai dia memiliki kebiasaan-kebiasaan jelek yang secara tidak dia sadari akan
berpengaruh terhadap perilaku bayinya nanti.
Seorang ayah wajib menafkahi ibu yang mengandung
anaknya, walaupun dia sudah benar-benar ditalak tiga atau talak bain. Alasannya
adalah ibu tersebut mengandung anaknya dan menafkahi anak itu wajib.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق:6]
Artinya: “Jika mereka (wanita-wanita itu) sedang hamil,
maka nafkahilah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS Ath-Thalaq :
6)
4. MEMPERLIHATKAN RASA SENANG KETIKA DIA DILAHIRKAN
Ketika sang anak dilahirkan sudah sepantasnya seorang
ayah dan ibu menunjukkan rasa senangnya. Bagaimanapun keadaan anak itu. Baik
laki-laki maupun perempuan. Terkadang sebagian orang tua memiliki rasa benci jika
yang dilahirkan adalah perempuan.
Perlu kita ketahui ini, rasa kebencian itu merupakan
sifat jahiliah yang masih dimiliki oleh sebagian kaum muslimin.
Allah subhanahu wa ta’ala telah
mengabarkan di dalam Al-Qur’an tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh
orang-orang Quraisy di masa Jahiliah. Mereka membunuh bayi-bayi perempuan
mereka yang baru dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
﴿ وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ
وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ
مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا
سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59) ﴾ [النحل : 58-59]
Artinya: “Dan apabila seseorang di antara mereka diberi
kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, maka hitamlah (merah padamlah)
mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dia akan menguburkannya ke
dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah! Alangkah buruknya apa yang mereka
tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)
Terkadang Allah menguji sang Ayah dan sang Ibu dengan
anak yang cacat. Mereka diuji dengan kebutaan, kebisuan, ketulian atau cacat
yang lainnya pada sang Anak. Orang yang paham bahwa itu adalah ujian, maka dia
akan berlapang dada untuk menerimanya dan tetap merasa senang. Sebaliknya orang
yang tidak paham, maka dia tidak akan senang, tidak rida bahkan terkadang bisa
sampai mengarah ke perceraian atau pembunuhan sang Anak.
5. MENJAGANYA AGAR TETAP HIDUP BAIK KETIKA DI DALAM
RAHIM MAUPUN KETIKA TELAH LAHIR
Anak pun memiliki hak untuk hidup. Allah subhanahu wa
ta’ala berkata:
﴿ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ
وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا ﴾ [الأسراء :31]
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut kemiskinan! Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS
Al-Isra’ : 31)
Bentuk pembunuhan yang banyak dilakukan adalah dengan
peraktek aborsi. Aborsi hukumnya adalah haram, terkecuali ada alasan darurat
yang membolehkannya. Yang sungguh mengherankan –berdasarkan data yang penulis
dapatkan-, justru ibu-ibu yang telah memiliki dua atau tiga anaklah yang paling
banyak melakukan peraktek ini. Hendaklah mereka segera bertobat dan memohon
ampun kepada Allah.
6. MEMBERI NAMA DENGAN NAMA YANG BAIK
Anak pun memiliki hak untuk diberi nama yang baik dan
bagus didengar. Nama itulah yang mewakili dirinya untuk kehidupannya kelak.
Oleh karena itu, janganlah salah dalam memilihkan nama.
Islam telah mengajarkan agar memilih nama-nama islami
dan menjauhi nama-nama yang mengandung unsur penyerupaan dengan agama lain atau
penyerupaan dengan pelaku-pelaku kemaksiatan. Sudah sepantasnya seorang muslim
bangga dengan nama islaminya.
Memilih nama yang islami tidak perlu susah-susah.
Penulis teringat dengan nasihat Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad
(Ahli hadis Madinah) ketika beliau ditanya tentang beberapa nama arab yang agak
asing didengar ditelinga, kemudian beliau menjawab, “Pilihlah nama-nama yang
tidak perlu ditanyakan lagi apakah boleh memakai nama itu ataukah tidak!”.
Nama-nama yang seperti di maksudkan oleh Syaikh
‘Abdul-Muhsin sangat banyak sekali, seperti: ‘Abdullah, ‘Abdurrahman,
‘Abdurrahim dan sejenisnya, nama-nama para nabi, nama-nama sahabat yang
terkenal dll. Begitu pula untuk anak perempuan, banyak sekali nama
wanita-wanita solehah, seperti: Fatimah, Khadijah, Aisyah dll.
7. MENYUSUINYA DENGAN ASI SAMPAI DIA MERASA CUKUP SERTA
MEMPERHATIKAN GIZI YANG DIA MAKAN/MINUM
Anak memiliki hak untuk dijaga kesehatannya. Makanan
yang paling bagus untuk bayi di bawah umur dua tahun adalah ASI (Air Susu Ibu).
﴿ وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ
بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
﴾ [البقرة :233]
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi rezki (makanan) dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya. Dan orang yang mendapatkan warisan pun berkewajiban demikian…”
(QS Al-Baqarah: 233).
Ibnu Hazm berkata, “Seorang ibu wajib menyusui anaknya,
baik dia itu adalah seorang yang merdeka ataupun budak, atau seorang yang
berada di bawah tanggungan suaminya, tuannya ataupun tidak di bawah tanggungan
siapa-siapa. Hal ini disebabkan karena hak anaknya yang berasal dari air mani
yang dinisbatkan kepada suaminya atau selain suaminya, baik dia itu senang atau
tidak, bahkan anak seorang khalifah pun dipaksa untuk itu.
Terkecuali wanita yang ditalak, maka dia tidak dipaksa
untuk menyusui anak yang berasal dari yang mentalaknya. Akan tetapi, jika dia
mau menyusuinya, maka harus diperbolehkan …”[3]
8. BERAKIKAH (AQIQAH) DENGAN MENYEMBELIH SATU EKOR
KAMBING UNTUK ANAK PEREMPUAN DAN DUA EKOR KAMBING UNTUK ANAK LAKI-LAKI SERTA
MENCUKUR RAMBUTNYA DI HARI KE TUJUH KELAHIRANNYA
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ ))
Artinya: “Seorang anak tergadaikan dengan akikahnya,
disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama dan dicukur kepalanya.”[4]
Meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama
tentang kewajiban berakikah, sudah sepantasnya sebagai seorang muslim untuk
selalu berusaha mengikuti semua sunnah/ajaran nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam.
9. MEMPERHATIKAN KEBERSIHAN TUBUHNYA DAN MENGHILANGKAN
BERBAGAI GANGGUAN DARINYA
Orang tua wajib memperhatikan kebersihan anaknya. Secara
tidak disadari, hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental sang
Anak. Begitu pula, sudah sepantasnya orang tua mengajarkan cara menjaga kebersihan.
Sebagai contoh kecil, mengajarkannya untuk tidak membuang sampah kecuali di
tempat sampah, mengajarkannya untuk membersihkan tempat tidur dan
membiasakannya untuk menggosok giginya.
Islam adalah agama yang yang sangat memperhatikan
kebersihan. Di antara bentuk ajaran Islam yang menjelaskan tentang kebersihan
adalah disyariatkannya berkhitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
[1] HR Al-Bukhari no. 5090
dan Muslim no. 3635
[2] HR Al-Bukhari no. 3283
dan Muslim no. 3533
[3] Al-Muhalla milik
Ibnu Hazm, Jilid X Hal. 335, Idarah Ath-Thiba’ah Al-Muniriyah
[4] HR Abu Dawud no. 2837,
At-Tirmidzi no. 1522 dan Ibnu Majah no. 3165, di-shahih-kan oleh Syaikh
Al-Albani di Shahih Abi Dawud no. 2527-2528, Irwa’ul-ghalil no.
1165 dan Al-Misykahno. 4153.
10. MENAFKAHINYA SAMPAI DIA BESAR
Anak juga memiliki hak untuk diberi nafkah, seperti:
makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ ))
Artinya: “Seseorang dianggap berdosa jika dia tidak
menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[1]
(( أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ))
Artinya: “Dinar (uang) yang paling afdhal yang diinfakkan oleh seorang laki-laki
adalah dinar yang diinfakkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya,
dinar yang diinfakkan kepada hewan tunggangannya (untuk berjihad) di jalan
Allah dan dinar yang diinfakkan kepada teman-temannya (yang sedang berjihad) di
jalan Allah.”[2]
11. MENGAJARINYA ILMU-ILMU YANG BERMANFAAT
Orang tua wajib mengajari anaknya ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Jika dia tidak mampu, maka dia wajib mencari orang lain untuk
mengajarinya, baik dengan menyekolahkannya atau memberikan kursus-kursus.
Ilmu yang bermanfaat sangat banyak sekali, meliputi ilmu
agama dan ilmu duniawi.
Untuk ilmu agama –ini yang seharusnya lebih diperhatikan-
orang tua memiliki kewajiban untuk mengajarkan anaknya pengetahuan-pengetahuan
yang wajib diketahui oleh sang Anak. Anak harus diajarkan tiga landasan utama
yang harus diketahui oleh setiap muslim.
Ketiga landasan utama itu adalah: mengenal Allah, Rasul-Nya
dan agama Islam. Anak harus mengetahui hal-hal tersebut dengan dalil-dalilnya
secara ringkas.
Anak juga harus mengetahui hal-hal yang diwajibkan dan
diharamkan oleh Allah. Kewajiban dan keharaman yang dimaksud di sini adalah
sesuatu yang harus diketahui oleh setiap muslim dan orang-orang awam di negeri
Islam pasti mengetahui kewajiban dan keharaman tersebut, seperti: wajibnya
shalat, zakat, puasa dan lain-lain serta haramnya zina, minum-minuman keras,
mencuri dll.
Anak juga harus dibiasakan untuk berbahasa arab, karena
bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an, as-sunnah dan agama Islam. Orang tua harus
menanamkan rasa cinta kepada bahasa Arab melebihi bahasa-bahasa selainnya.
Untuk ilmu dunia, orang tua memiliki kewajiban untuk
mengajarkan anaknya pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya wajib diketahui dan
sangat dibutuhkan di lingkungan di mana dia berada, seperti: ilmu baca-tulis,
berhitung, dll, sehingga dia tidak bisa dibodohi dan dipermainkan oleh orang
lain.
12. MENGAJARKANNYA UNTUK BERAMAL SOLEH, BERADAB DAN
BERAKHLAK MULIA
Orang tua wajib mengajarkan kepada anaknya bagaimana
beramal soleh, beradab dan berakhlak mulia. Selain dengan perkataan, orang tua
harus mengajarkannya dengan memperaktekkannya pada diri orang tua sendiri.
Dengan demikian sang Anak bisa meniru tingkah laku kedua orang tuanya.
Pengajaran dengan memperlihatkan peraktek langsung lebih
berpengaruh daripada hanya sekedar dengan perkataan. Tidak mungkin
seorang bapak ingin mengajarkan kepada anaknya shalat berjamaah di masjid, tapi
ternyata bapaknya sendiri tidak shalat di masjid. Banyak sekali para koruptor
yang ketika ditanya tentang alasan mengapa dia melakukan korupsi, mereka
menjawab, “Saya tahu perbuatan ini salah. Akan tetapi, lingkungan keluarga saya
menganggap mencuri adalah hal yang biasa, sehingga saya juga menganggapnya
sebagai hal yang biasa.”
13. MEMBERIKAN HUKUMAN KEPADANYA DENGAN HUKUMAN YANG
DIBENARKAN OLEH SYARIAT KETIKA DIA MENINGGALKAN KEWAJIBAN ATAU
MENGERJAKAN DOSA ATAU MAKSIAT
Orang tua wajib melakukan hal ini. Memberikan hukuman
telah diajarkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَ شْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ))
Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat
ketika umur mereka tujuh tahun. Pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat
ketika umur mereka sepuluh tahun. Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka.”[3]
Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman yang tidak
membekas di kulit dan bukan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang ketika
memukul anaknya. mereka memukul anaknya sampai berbekas di kulit, bahkan ada
yang memukul anaknya sampai cacat.
Sebagian orang menyangka bahwa sang anak tidak boleh
dihukum dan harus dibebaskan untuk melakukan segala yang dikehendakinya, dengan
alasan hukuman dapat menghambat perkembangan mental sang Anak. Anggapan itu
salah dan tidak sesuai dengan syariat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada orang tua untuk
memukul anaknya jika dia meninggalkan kewajiban atau mengerjakan dosa.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak yang tidak
pernah dihukum oleh orang tuanya karena suatu dosa, maka kebanyakan dari mereka
memiliki sikap berani kepada orang tuanya dan tidak menurut. Maukah Anda
didurhakai oleh anak Anda di masa nanti?
Akan tetapi yang perlu menjadi catatan, setiap anak
memiliki kebebasan untuk bermain dan bersikap. Tidak sepantasnya orang tua
selalu menghukum, mencaci dan melarang anaknya pada hal-hal yang tidak sampai
jatuh kepada perbuatan yang diharamkan. Pada kondisi ini orang tua cukup
memberikan nasihat. Ini ditujukan agar sang anak bisa menjadi kreatif dan tidak
terhambat perkembangan mentalnya.
14. MEMBERINYA WAKTU UNTUK BERMAIN DENGAN TETAP
MENGONTROL JENIS PERMAINANNYA, TEMPAT BERMAINNYA DAN DENGAN SIAPA SAJA DIA
BERMAIN
Anak pun punya hak untuk bermain. Orang tua sudah
sepantasnya memberikan waktu-waktu bermain untuk anaknya, baik di pagi, siang
ataupun sore hari. Ketika waktu maghrib datang, orang tua diperintahkan untuk
“memegang” anaknya dengan tidak membiarkan anaknya bermain di luar rumah sampai
datang waktu ‘isya’.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إِذَا اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ أَوْ قَالَ جُنْحُ اللَّيْلِ
فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ فَإِذَا
ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ الْعِشَاءِ فَخَلُّوهُمْ ))
Artinya: “Jika malam atau awal malam datang maka
‘peganglah’ anak-anak kalian. Sesungguhnya setan-setan menyebar pada saat itu.
Jika waktu isya’ telah masuk maka biarkanlah mereka.”[4]
Setelah waktu isya’ datang tidak sepantasnya anak-anak
bermain, karena waktu itu adalah waktu tidur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bersenda gurau pada
saat itu.
Orang tua juga harus memperhatikan jenis permainan
anaknya, jangan sampai dia bermain dengan permainan yang mengandung unsur dosa,
seperti: adu kelereng dan kartu (yang mengandung unsur perjudian), memanah ayam
atau sejenisnya dll. Orang tua sebaiknya memilihkan permainan yang bermanfaat
untuk diri anaknya kelak dan mengandung unsur pembelajaran.
Orang tua juga harus memperhatikan dengan siapa anaknya
bergaul dan bermain. Anak-anak sangat mudah menerima rangsangan orang-orang di
sekitarnya.
Syaikh ‘Abdulmuhsin Al-Qasim[5] berkata, “Sifat manusia adalah cepat
terpengaruh dengan siapa dia bergaul (berinteraksi). Manusia bisa terpengaruh
bahkan dengan seekor binatang ternak.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
:
(الْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ)
Artinya : “Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada
orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala unta. Dan ketenangan
terdapat pada pengembala kambing”[6]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengabarkan
bahwa, di dalam pengembalaan unta terdapat kesombongan dan keangkuhan serta di
dalam pengembalaan kambing terdapat ketenangan. Jika dengan hewan saja, yang
dia itu tidak punya akal dan Anda tidak tahu apa maksud dari suaranya, manusia
bisa terpengaruh …maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara
dengan anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak
Anda kepada hawa nafsunya serta menghiasi Anda dengan syahwat? Bukankan dia itu
lebih berpengaruh?”[7]
Oleh karena itu, orang tua harus memperhatikan teman
bergaul anaknya. Dengan mengajaknya bergaul dan berkumpul dengan orang yang
lebih dewasa dan soleh, maka ini akan sangat membantunya untuk cepat berpikir
dewasa dan menjadi anak yang soleh.
15. MEMBERIKAN RASA AMAN DAN MENJAUHKAN DARI HAL-HAL
YANG MENAKUTKANNYA ATAU HAL-HAL YANG MERUSAK AGAMANYA
Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya,
menjaganya dari berbagai gangguan dan memberikannya rasa aman. Orang tua juga
harus terus memantau keadaan anaknya dan mencarinya jika dia hilang.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
mencari Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu ketika dia hilang di pasar Bani
Qainuqa’ dan berkata, “Dimana Laka’?
Panggilkan Laka’[8]?”[9]
Orang tua juga tidak boleh menakut-nakuti anaknya dengan
sesuatu yang bisa merusak mental dan agamanya, seperti mengancamnya dengan
pisau atau perkataan kasar dan mengatakan kepadanya ketika malam datang, “Awas
hantu?”.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
(لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا)
Artinya: “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti
muslim (yang lain).”[10]
Perkataan “Awas hantu?” ternyata dapat menumbuhkan rasa
takut yang berlebih terhadap sesuatu yang tidak jelas. Jenis takut yang seperti
ini dilarang dalam agama.
16. MENGHARGAI DAN MENGHORMATINYA SEBAGAI SEORANG
MANUSIA DAN TIDAK MEMBERIKAN JULUKAN-JULUKAN YANG JELEK KEPADANYA
Anak juga termasuk keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dia adalah manusia
yang memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperlakukan
seperti hewan yang hina. Dia harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu,
tidak dibenarkan untuk memberikan julukan-julukan atau panggilan-panggilan
jelek kepadanya, seperti ucapan ‘anjing’, ‘babi’, ‘goblok’ dan sejenisnya.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
﴿ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴾ [الإسراء :233]
Artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam,
memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada
mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk
yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)
17. MEMPERHATIKAN PERKEMBANGAN MENTAL-SPRITUALNYA,
MELATIH DAN MENGARAHKANNYA KEPADA APA YANG COCOK UNTUKNYA KELAK
Orang tua wajib memperhatikan perkembangan
mental-spritual sang anak. Sang Anak harus terus diawasi, jangan sampai
dia terjerumus ke hal-hak yang merusak moral dan dirinya.
Dengan berjalannya waktu, pikiran anak akan semakin
berkembang dan semakin banyak yang ingin diketahuinya. Merupakan kewajiban
orang tua menjelaskan kepada sang anak sesuai kapasitas ilmu yang mereka miliki
dan tahapan hidup yang mereka jalani.
Terkadang anak yang berumur 5-6 tahun sudah mulai
bertanya terutama kepada sang Ibu, “Ummi darimana saya dilahirkan?” maka
jawabannya, “Dari perut?”. Akan tetapi untuk anak yang sudah berumur mendekati
usia baligh, maka jawabannya tentu tidak bisa seperti itu. Oleh karena itu,
sangat penting mengetahui bagaimana jawaban yang cocok untuk di setiap tahapan
kehidupan sang anak.
Anak-anak memiliki potensi diri yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Di antara mereka ada yang memiliki kecondongan terhadap ilmu,
ada juga yang memiliki kecondongan untuk aktif bekerja, berdagang atau terampil
pada suatu bidang keterampilan, ada juga yang memiliki kecondongan untuk
menjadi penegak hukum, penjaga keamanan dan semisalnya dan ada juga yang
memiliki kecondongan yang lain.
Anak yang mudah menghapal dan baik pemahamannya, maka
sebaiknya diarahkan untuk belajar ilmu agama, karena ini adalah sebaik-baiknya
bentuk pendidikan terhadap anak. Akan tetapi, jika tidak demikian maka tidak
sepantasnya orang tuanya memaksanya untuk belajar ilmu agama, karena ini tidak
sesuai dengan potensi diri yang Allah telah berikan kepadanya. Jika anak dipaksa
untuk menekuni sesuatu yang tidak dia senangi maka hasilnya tidak akan bisa
maksimal.
Yang perlu penulis ingatkan, ketika orang tua
mengarahkan sang Anak ke hal-hal yang sesuai untuk mengembangkan potensi diri
yang dia miliki, jangan sampai dia mengarahkannya kepada sesuatu yang untuk memperolehnya harus
melanggar hukum-hukum Allah atau terjatuh ke dalam kemaksiatan. [11]
18. BERLAKU ADIL TERHADAP SEMUA ANAK-ANAK
Orang tua wajib berlaku adil terhadap semua
anaknya. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Suatu hari An-Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar,
“Ayahku telah memberikanku hadiah.” Kemudian ‘Amrah binti Rahawah (Ibunya)
berkata, “Saya tidak rida sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi
saksi.” Kemudian Ayah An-Nu’man pun mendatangi Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam dan
berkata kepadanya, “Saya telah memberi hadiah kepada anakku dari istriku yang
bernama ‘Amrah binti Rawahah. Dia menyuruhku untuk memintamu, Ya Rasulullah,
sebagai saksi pemberian ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata,
“Apakah engkau memberikan hadiah kepada semua anakmu seperti itu juga?” Ayahnya
pun berkata, “Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Takutlah kalian kepada Allah! Berbuat adillah terhadap semua anakmu.” Kemudian
ayahnya pun kembali dan mengambil kembali hadiahnya.[12]
19. MELATIHNYA UNTUK RAJIN DAN TIDAK MALAS
Anak juga memiliki hak untuk dididik agar rajin dan
tidak malas. Mendidik anak untuk itu harus dilakukan sejak dia kecil. Yang
pertama kali dilakukan oleh orang tua adalah mengajarkan anak cara beribadah.
Sebagai contoh adalah ibadah shalat.
Dari kecil, sang Ibu membiasakan anaknya untuk shalat di
sampingnya, sehingga sang anak dapat mempelajari gerakan-gerakan shalat dan
mengetahui waktu-waktunya. Jika telah menjadi kebiasaan maka nantinya sangat mudah
untuk mengingatkan sang anak untuk shalat.
Ketika sudah mencapai umur tujuh tahun, anak laki-laki
harus dibiasakan untuk shalat lima waktu di masjid, sehingga nantinya ketika
dia balig maka sudah menjadi kebiasaannya untuk shalat di masjid. Jika anak belum
mencapai umur tujuh tahun maka tidak mengapa dibawa ke masjid dengan syarat dia
tidak mengganggu orang-orang, tidak membuat kotor dan dapat menjaga kehormatan
masjid.
Anak juga harus dibiasakan untuk bangun malam untuk
shalat malam atau menanti waktu subuh. Jika terbiasa di waktu kecil, maka akan
sangat mudah dilakukan di waktu besarnya nanti.
Selain ibadah, sang anak juga harus dididik untuk bisa
memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan kegiatan yang positif. Jangan sampai
dia melalaikannya dengan bermalas-malasan atau mengisinya dengan bermain yang
tidak mendidik.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
(( نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَ ثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ ))
Artinya: “Ada dua kenikmatan yang banyak orang merugi di
dalamnya, yaitu: kesehatan dan waktu luang.”[13]
Ibnul-Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya kemalasan dan
tidak ada kerjaan memiliki akibat-akibat yang jelek dan penyesalan. Sebaliknya
kerja keras dan kelelahan memiliki akibat-akibat yang terpuji, baik di dunia,
di akhirat atau di dunia dan akhirat. Orang yang paling santai adalah orang
yang paling lelah nantinya. Sedangkan orang yang paling lelah adalah orang yang
paling santai nantinya. Kebahagiaan di dunia dan akhirat tidak bisa dicapai
kecuali dengan ‘jembatan’ kelelahan.”[14]
20. MELATIHNYA UNTUK DAPAT MENGGUNAKAN HARTANYA DENGAN
BAIK DAN SESUAI KEBUTUHAN SERTA MEMBIASAKANNYA UNTUK MENABUNG DAN TIDAK BOROS
Orang tua harus memperhatikan hal ini dengan seksama,
karena harta adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan
baik. Pelatihan ini tidak hanya dikhususkan bagi mereka yang kaya saja, orang
miskin pun harus melatih anaknya untuk hal itu. Betapa banyak anak yang dulunya
miskin, kemudian ketika besar dan menjadi kaya, maka mereka
menghambur-hamburkan uangnya. Sedangkan kita semua tahu bahwa
menghambur-hamburkan uang dilarang dalam agama Islam.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
( إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ (
Artinya: ” Sesungguhnya Allah membenci kalian disebabkan
tiga hal: ‘katanya-katanya'(gosip), menghambur-hamburkan harta dan banyak
bertanya.”[1]
Di antara bentuk kesalahan dalam mendidik anak adalah
memberikan segala sesuatu yang anak minta tanpa memperhatikan manfaat dan
tujuan yang diminta. Tanpa disadari, hal ini akan mengajarkan anak untuk boros
dan tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik dan benar.
Anak juga harus dibiasakan untuk menabung. Anak juga harus diberi penjelasan tentang pentingnya menabung untuk masa depan. Dengan demikian anak dapat menjaga dan memanfaatkan hartanya di masa depan insya Allah.
Anak juga harus dibiasakan untuk menabung. Anak juga harus diberi penjelasan tentang pentingnya menabung untuk masa depan. Dengan demikian anak dapat menjaga dan memanfaatkan hartanya di masa depan insya Allah.
21. MEMBERIKAN SEMANGAT KEPADANYA UNTUK DAPAT HIDUP
MANDIRI, PERCAYA DIRI DAN TIDAK TERGANTUNG DENGAN ORANG LAIN KETIKA BERANJAK
DEWASA
Banyak sekali orang tua yang melalaikan hal-hal ini.
Mereka tidak mendidik anaknya untuk dapat hidup mandiri. Sebagai contoh yang
banyak kita lihat adalah ketergantungan anak-anak yang telah lulus Sekolah
Menengah Atas atau setingkatnya kepada kedua orang tuanya. Padahal untuk anak
seumur itu pada zaman dahulu, merupakan suatu aib jika sang anak tidak bisa
menghidupi dirinya sendiri atau tidak bisa membantu orang tuanya.
Dulu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
berjalan melewati ‘Abdullah bin Ja’farradhiallahu ‘anhu, pada waktu itu
orang tuanya sudah meninggal dan dia masih anak-anak, dia sedang berjualan
bersama anak-anak. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun
mendoakannya, “Allahumma barik lahu fi bai’ihi! (Ya Allah!
Berkahilah dia dengan jualannya.)”[2]
Cobalah kita perhatikan bagaimana para shahabat mendidik
anak mereka untuk tidak tergantung dengan orang lain, padahal umurnya masih
kecil.
Anak-anak juga harus dilatih untuk memiliki kepercayaan
diri. Kepercayaan diri itu sangat penting untuk pengembangan dirinya dan
pemberian manfaat kepada orang lain. Anak yang tidak memiliki kepercayaan diri
maka akan tampak selalu terbelakang, berbeda dengan yang memiliki kepercayaan
diri. Sebagai contoh yang banyak kita lihat di masyarakat adalah
ketidakberanian berbicara di depan umum dan menyampaikan ide. Sangat sedikit
prosentasi orang yang berani berbicara di depan umum bila dibandingkan dengan
yang tidak berani.
Dulu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
mengutus ‘Ali bin Abi Thalib ke yaman untuk menjadi hakim atas pertikaian yang
terjadi di sana. ‘Ali pun berkata, “Ya Rasulullah! Engkau mengutusku ke kaum
yang mereka lebih tua dariku untuk menjadi hakim di antara mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pergilah sesungguhnya Allah
akan mengokohkan lidahmu dan memberi petunjuk kepada hatimu.”[3]
22. MENGAJARKAN KEPADANYA TENTANG PENTINGNYA BERDAKWAH
DAN MENJADI ORANG YANG BERMANFAAT UNTUK ORANG LAIN
Di dalam surat Al-‘Ashr Allah menyebutkan bahwa semua manusia
dalam kerugian kecuali empat jenis manusia, yaitu: Orang-orang yang beriman,
orang-orang yang beramal soleh, orang-orang yang saling menasihati dengan
kebenaran dan orang-orang yang saling menasihati dengan kesabaran. Oleh karena
itu, orang tua harus mengajarkan kepada anaknya tentang pentingnya
berdakwah dan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain agar mereka tidak
menjadi orang yag merugi.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
((أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ))
Artinya: “Orang yang paling dicintai oleh Allah
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”[4]
Allah subhanu
wa ta’ala menceritakan
perkataan Nabi ‘Isa ‘alaihis-salam,
﴿ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ﴾ [ مريم : 31 ]
Artinya: “Dan Dialah (Allah) yang telah menjadikan saya
mubarak (penuh dengan keberkahan) di mana pun saya berada.” (QS Maryam : 31)
Di antara tafsiran ayat ini sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya adalah “menjadi mubarak yaitu
dengan ber-amr bil-ma’ruf wa nahi ‘anil-munkar (Menyuruh kepada kebaikan
dan melarang dari kemungkaran).”
Tentu orang tua sangat senang apabila anaknya menjadi
mubarak (penuh dengan keberkahan) dengan menyebarkan kebaikannya kepada
orang-orang lain.
23. MENASIHATINYA UNTUK SELALU TABAH DAN SABAR DALAM
MENGHADAPI SEMUA UJIAN
Menasihati anak untuk selalu tabah dan sabar hendaklah
dilakukah sejak anak masih kecil. Dengan demikian, setelah beranjak dewasa dan
menghadapi banyak ujian dia dapat selalu tabah dan sabar.
Coba kita perhatikan bagaimana Luqman Al-Hakim
menasihati anaknya untuk bersabar dan hal ini diabadikan oleh Allah di dalam
Al-Qur’an.
﴿ يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ
ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُور ﴾ [ لقمان : 17 ]
Artinya: “Wahai anakku! Dirikanlah shalat, beramar
makruf nahi mungkarlah dan sabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya itu
adalah hal-hal yang harus diperhatikan (diwajibkan oleh Allah).” (QS Luqman :
17)
24. MENJAGA KESUCIAN DIRINYA DENGAN MENIKAHKANNYA JIKA
TELAH DIRASA BUTUH DAN MAMPU UNTUK ITU
Anak-anak yang telah beranjak dewasa –di zaman sekarang
ini- dihadapkan dengan berbagai fitnah, terutama fitnah wanita. Sangat sedikit
dari mereka yang bisa selamat dari fitnah ini. Kalau pun bisa selamat dari
fitnah zina, maka dia tidak bisa mengelak dari fitnah zina mata dan hati. Tidak
sepantasnya orang tua membiarkan anaknya selalu dalam keadaan berdosa.
Biasanya orang tua-orang tua terlalu terpaku dengan
pandangan masyarakat yang mengharuskan sang anak belajar sampai tingkatan yang
tinggi atau sampai dia bekerja dan memiliki penghasilan yang mapan, sehingga
kita dapatkan di zaman sekarang ini banyak pemuda-pemudi yang belum menikah
padahal umur mereka sudah sangat layak untuk menikah.
Kalau kita lihat pandangan masyarakat itu, maka
sebagian besar kekhawatiran orang tua-orang tua adalah yang sifatnya duniawi
saja. Sangat sedikit dari mereka yang memperhatikan masalah ukhrawi sang anak.
Apakah mereka tidak beriman bahwasanya Allah-lah yang mengatur rezki setiap
orang?
Kalaulah benar sang orang tua ingin “mengamankan”
anaknya dari terus-menerus berlaku dosa, maka sudah sepantasnya dia tidak
menghalang-halangi anaknya untuk menikah, baik laki-laki maupun perempuan.
Justru seharusnya dia mendukungnya.
Ibnu Qudamah berkata, “Seorang bapak wajib menjaga
kesucian anaknya jika anaknya telah membutuhkannya. Pendapat ini adalah yang
zahir di mazhab Syafii…”[5]
Demikianlah beberapa hak-hak anak dalam Islam yang
penulis sebutkan di dalam tulisan ini. Mudah-mudahan poin-poin di atas bisa
mewakili hak-hak anak lain yang belum penulis sebutkan.
Dengan melihat poin-poin tersebut, maka kita bisa
melihat keindahan-keindahan Islam dalam mengatur hubungan antara orang tua dan
anaknya. Islam sudah lengkap dan sempurna. Hanya saja, banyak di antara kaum
muslimin yang tidak mau mempelajari agama Islam, sehingga mereka mengambil
pedoman-pedoman dari agama lain atau dari penelitian-penelitian baru dalam
mendidik anak, yang mana pedoman-pedoman itu masih perlu “disaring”, apakah
sesuai dengan syariat Islam apakah tidak.
Demikian. Mudahan bermanfaat untuk semua. Amin.
[2] HR
Abu Ya’la di Musnad-nya
no. 1467 dan Ath-Thabrani , Al-Hafidzh Al-Haitsami mengatakan, “Rijal keduanya
tsiqat.” (Majma’ Az-Zawaid jilid
IX hal. 466)
[3] HR
Ahmad di Musnad-nya
no. 666. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya shahih, rijalnya tsiqat
dan rijal Syaikhain selain Haritsah
bin Mudharrib.” (Al-Musnad, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Bairut)
[4] HR
Ath-Thabrani di Al-Mu’jam
Al-Ausath jilid VI
hal. 139 dan Al-Mu’jam
Ash-Shaghir jilid II
hal. 106 no. 861. Hadis ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albani di Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906 dan no. 426, dan di Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623.
Post a Comment