Interaksi Dengan Al-Quran Di Bulan Ramadhan
Interaksi Dengan Al-Quran Di Bulan Ramadhan
Segala puji bagi Allah -subhanahu
wata'âla- yang berfirman dalam kitab-Nya:
"(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu,
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)
Dan firman-Nya -ta'âla-:
"Sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,
(yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang
mengutus rasul-rasul."
(QS. Ad-Dukhan: 3-5)
Juga firman-Nya -subhanahu
wata'âla- :
"Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qodar: 1)
Salawat dan salam senantiasa
tercurah kepada Rasul yang mulia, yang Allah khususkan dengan wahyu dan
kitab-Nya. Sabdanya -shalallah alaihi wasalam-:
(( خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ
الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ ))
"Sebaik-baik
kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya."
[HR. al-Bukhari no. 2057,
at-Turmudzi no. 2154, Ahmad 420 dan Abu Dawud no. 1454]
Salawat juga tercurah kepada ahlulbait
(keluarga Nabi) yang suci, kepada para sahabatnya yang berbakti dan pilihan
serta kepada Tabi'in yang meneladani pendahulu mereka siang dan malam.
Adapun selanjutnya,
Sungguh Allah telah
mengkhususkan bulan yang mulia ini dengan kekhususan-kekhususan, di
antaranya: ia adalah bulan yang paling
utama dari bulan-bulan lain sepanjang tahun, terdapat malam lailatul qodar,
pada bulan ini diturunkan al-Quran. Turunnya al-Quran baik secara al-Jumali
(keseluruhan) dan al-ibtidai (permulaan) terjadi pada malam lailatul
qodar.
Turunnya
al-Quran secara al-Jumali (keseluruhan) telah dijelaskan oleh
Ibnu Abbas (wafat 68 H) -radiallahu'anhu-:
"Allah menurunkan
al-Quran secara sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qodar
di bulan Ramadhan. Jika Allah ingin menyampaikan sesuatu ke dunia, diturunkanlah (ayat-ayat itu) dari
langit dunia hingga terkumpul seluruhnya."
Inilah riwayat yang valid dari
beberapa riwayat Ibnu Abbas.
Sedangkan turunnya al-Quran
secara ibtidai (fase pertama)[1], adalah
pernyataan as-Sya'bi (wafat 103 H) yang menguatkan lahiriah ungkapan al-Quran
dalam firman Allah -ta'âla-:
"(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)."
(QS.al-Baqarah: 158)
Dan firman-Nya -ta'âla-:
"Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan."
(QS. Ad-Dukhan: 3-5)
Petunjuk bagi manusia dan keterangan
petunjuk itu serta peringatannya terdapat dalam al-Quran yang diturunkan kepada
Muhammad -shalallah alaihi wasalam-.
Turunnya al-Quran secara al-jumali
dan ibtidai tidaklah saling bertentangan. Yang dimaksud pada ayat-ayat
di atas adalah keduanya sekaligus, yang menunjukkan akan turunnya keduanya.
Tidak ada pertentangan antara keduanya tidak pula saling bertolak belakang.
Kedua pendapat di atas jika
benar penafsirannya, memang mengandung kedua pengertian itu dan tidak saling
bertentangan. Boleh memaknai ayat-ayat tersebut sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh ulama.
Yang jelas bahwa hubungan
antara al-Quran dan bulan Ramadhan nampak jelas pada ayat-ayat tersebut,
sehingga bulan menjadi mulia dengan turunnya al-Quran ketika itu. Karena itulah
dinamakan dengan "bulan al-Quran".
Keadaan Manusia Dalam Membaca
Al-Quran
Timbul pertanyaan sebagian
orang tentang mana yang lebih utama apakah membaca al-Quran dengan tadabur atau
membacanya dengan sepintas agar banyak bacaannya dan sering khatam sehingga
beroleh pahala bacaan?
Sesungguhnya kedua cara ibadah
tersebut tidaklah berlawanan, tidak pula saling mengurangi waktu yang lain
sehingga perlu ditanyakan mana yang lebih utama. Dalam hal ini kembali kepada
pembacanya, dan mereka itu terbagi beberapa kategori:
Kategori pertama: orang awam yang
tidak bisa bertadabur (merenunginya). Bahkan tidak paham sebagian besar
ayat-ayatnya. Tidak diragukan bahwa bagi mereka yang lebih utama adalah
memperbanyak bacaan.
Memperbanyak bacaan senyatanya
dianjurkan untuk memperbanyak pahala bacaan sebagaimana yang terdapat dalam
hadits:
(( لاَ أَقُولُ "الم"َحرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ
حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ))
"Tidak
aku katakan alif lâm mîm sebagai satu huruf, tetapi alif satu huruf, lâm satu
huruf dan mîm satu huruf".
[HR. at-Turmudzi no. 3158, dishahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib no. 1416]
Kategori kedua: ulama dan penuntut
ilmu. Mereka memiliki dua cara dalam membaca al-Quran:
Pertama: seperti cara orang
awam, tujuannya untuk memperbanyak pahala dengan banyaknya bacaan dan khataman.
Kedua: membaca dengan maksud
mempelajari makna-makna al-Quran, tadabur dan istinbat (pendalilan).
Masing-masing sesuai dengan spesialisasinya. Akan nampak jelas baginya apa-apa
yang tidak jelas bagi orang lain. Yang demikian adalah keutamaan Allah -ta'âla-
yang diberikan pada siapa yang dikehendaki-Nya.
Kembali saya katakan: kedua
jenis bacaan ini masuk tanawu'ul a'mal (variasi amal) dalam syari'at,
keduanya dianjurkan secara bersamaan. Tidak ada pertentangan sehingga harus
dipilih mana yang lebih baik. Tetapi setiap variasi ada waktunya tersendiri,
terkait dengan keadaan pembacanya.
Tidak diragukan bahwa
kepahaman lebih utama dari ketidakpahaman. Oleh karena itu sebagian ulama
menyerupakan mereka yang membaca satu ayat al-Quran dengan bertadabur seperti
mempersembahkan batu mulia, sedangkan yang membaca seluruh al-Quran tanpa
bertadabur seperti mempersembahkan dirham (uang) yang banyak, tentu
tetap tidak bisa mencapai limit apa yang dipersembahkan orang pertama.
Hal-hal yang semestinya
diingatkan berkaitan dengan bacaan (tilawah) al-Quran di bulan Ramadhan:
Perkara pertama:
Seseorang hendaknya mengenali
dirinya. Manusia tidak sama keadaannya dalam beribadah. Tetapi amat merugilah
seorang muslim jika Ramadhan berlalu tetapi belum mengkhatam al-Quran. Sunah
ini adalah sunah Jibril -alaihissalam- dalam muroja'ah
(mengaktualkan ingatan) al-Quran di bulan Ramadhan bersama Rasulullah -shalallah
alaihi wasalam-. Ia juga merupakan sunah kaum muslimin sejak masa
Rasulullah -shalallah alaihi wasalam-.
Yang menjadi perhatian, bahwa
kebanyakan manusia bersemangat di awal bulan dalam melakukan kebaikan, termasuk
tilawah (membaca) al-Quran. Akan tetapi begitu cepat futur (down)
setelah beberapa hari berikutnya. Terlihat menurun dari amal yang telah
dilakukannya di awal.
Karenanya, siapa yang biasanya
demikian, yang lebih utama baginya adalah mengatur bacaannya, mengkhususkan
setiap hari satu juz. Dengan demikian dia akan mengkhatam al-Quran sekali di
bulan ini. Seandainya dapat terus dengan cara itu, dia akan dapat melakukannya
di setiap bulan selama setahun. Perkaranya kembali kepada kesungguhan dan
kontinuitas.
Seandainya setiap muslim
mengkhususkan untuk membaca empat halaman setiap waktu dari waktu-waktu shalat
yang lima waktu, maka dalam sehari dia akan membaca dua puluh halaman. Ini sama
dengan satu juz pada mushaf yang ditulis lima belas baris setiap halamannya,
seperti mushaf madinah an-nabawiah.
Dengan cara ini dia dapat
melakukan amal dari amal kebaikan tanpa terputus. Sebagaimana yang disabdakan
Nabi -shalallah alaihi wasalam-.
(( أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ))
"Amal
yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan sekalipun
sedikit."
[HR. al-Bukhari no.5861, Muslim no.1861. dan
ini lafal Ahmad 27061, 27097]
Perkara kedua:
Amat baik bagi siapa yang
membaca al-Quran -secara umum- atau yang membacanya di bulan Ramadhan -secara
khusus- untuk memiliki tafsir mukhtashar (tafsir singkat) agar tahu
makna yang telah dibacanya. Yang demikian lebih terasa ketika membaca dan
sensitif dengan rasa bacaan. Orang yang mengerti tidak sama dengan yang tidak
mengerti.
Begitu pentingnya perkara ini,
tapi engkau dapati kebanyakan pembaca al-Quran melalaikannya. Jika qôri
(pembaca al-Quran) mengkhususkan diri membaca kitab tafsir singkat yang
dijadikannya rujukan setelah aktivitas harian, sungguh dia telah mengerti
banyak akan makna al-Quran.
Kaum muslimin pada masa ini
begitu perhatian untuk menulis tafsir mukhtshar (tafsir singkat).
Engkau dapati di sebagian negeri kaum muslimin seperti negara dua tanah suci,
Kementrian Urusan Islam dan Kitab telah menerbitkan "Tafsir Al-Muyassar", kitab yang
sesuai dengan namanya. Tafsir ini sekalipun tujuannya adalah terjemah (makna),
tetapi faedahnya umum bagi siapa saja yang ingin mengetahui makna jumali
(menyeluruh) akan ayat-ayat al-Quran. Besarnya upaya yang telah dituangkan dan
nilai ilmiah yang dikandungnya tidak diketahui kecuali bagi siapa yang
memperdalam dan bergelut dengan ikhtilaf (perbedaan pandang) ahli
tafsir.
Maksud dari semua ini adalah
hendaknya seorang muslim berupaya untuk memiliki tafsir dari mukhtasorôt
(tafsir singkat/sederhana) yang senantiasa dibacanya sebagaimana membaca
al-Quran. Agar terkumpul padanya pahala bacaan
dan kepahaman makna sekaligus.
Perkara ketiga:
Ketika tengah membaca
al-Quran, biasanya barulah muncul pada
penuntut ilmu -secara khusus- faedah-faedah atau problema-problema. Dalam hal
ini hendaknya segera mencatatnya agar tidak hilang.
Sesungguhnya al-Quran tidak
pernah habis keajaibannya. Dan tidak diciptakan dengan banyak kemusykilan. Karena
dia adalah al-Quran al-Majid (yaitu: memiliki
kemuliaan, kelapangan dan keutamaan pada asal kata dan maknanya.) Demikian pula
yang terkait dengan makna-makna dan pendalilan. Menggunakannya sebagai dalil
merupakan kemuliaan sebagaimana kemuliaan al-Quran itu sendiri. Dia begitu luas
tanpa batas karena kemegahan kitab tersebut.
Jika demikian keadaannya,
engkau dapat membayangkan: berapa banyak faedah yang akan didapatkan oleh
penuntut ilmu seandainya setiap orang yang berilmu menulis apa yang ia dapatkan
dari tadabur (perenungan) atau problema-problema ketika membaca
Kitabullah -ta'âla-.
Perkara keempat:
Sesungguhnya membaca pada
malam hari termasuk ibadah yang bermanfaat. Berapa banyak ibadah yang tidak
muncul kelezatannya kecuali di waktu gelap. Karenanya waktu yang paling penting
sepertiga malam terakhir, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah -shalallah
alaihi wasalam-:
(( يَنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
فَيَقُولُ : هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟
))
"Allah
-ta'âla- setiap malam 'turun' ke langit dunia dan berkata: "Adakah orang
yang meminta, maka akan aku beri?, adakah yang memohon ampun, maka akan aku
ampuni?"
[HR. Ahmad 98411, 17200]
Kita banyak lalai dengan
ibadah malam, khususnya di bulan Ramadhan –padahal kita sering bergadang-.
Merupakan kerugian besar bagi siapa yang diharamkan menikmati lezatnya ibadah
malam.
Maka singsingkan lengan
bajumu, susullah mereka yang telah lebih dulu menyingsingkan lengan bajunya
sebelummu. Dalam hal ini janganlah jadi pengekor, tetapi jadilah yang terdepan.
Semoga Allah -ta'âla- memberikan taufiknya kepada saya dan anda
sebagaimana yang dicintai dan diridai-Nya.
Jika seorang muslim memenej
dirinya untuk membaca al-Quran setiap malam, sungguh dia akan terikat dengan
peribadatan kepada Allah. Dan pada malam-malam itu dia tidak termasuk orang
yang lalai. Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagai orang yang lalai.
Yang sering luput dari benak
kita dari keseharian, yaitu penerangan malam yang mengalihkan malam menjadi
seolah siang. Dengan demikian beralih pulalah fitrah Allah yang telah
ditetapkan atas manusia dengan menjadikan malam sebagai masa istirahat.
Saya katakan, sesungguhnya
telah lenyap dari kita kelezatan ibadah di waktu gelap. Karenanya, jika seorang
muslim mencoba membaca al-Quran dari hafalannya atau shalat nafilah malam tanpa
lampu, sesungguhnya hal itu akan menguatkan semangat dan konsentrasinya, karena
aktivitas mata dapat menyibukkan bacaan dan shalat.
Siapa yang mencoba ibadah di
saat gelap, akan mendapatkan kelezatan melebihi kelezatan di tempat bercahaya.
Perkara kelima:
Di antara faedah shalat
tarawih Ramadhan adalah mendengar bacaan al-Quran dari penghafal al-Quran,
pemilik suara yang merindu, yang bacaannya memberi pengaruh dan membekas di
hati. Jika ada yang seperti itu, teruslah shalat bersamanya. Ketahuilah bahwa
manusia dalam menerima suara berbeda-beda. Janganlah mencela qôri
(pembaca al-Quran) bila dia tidak membuatmu takjub, karena hal itu termasuk ghibah
(bergunjing). Jagalah untuk tetap pada qôri yang engkau dapati manfaat
dari bacaannya. Hal ini dianjurkan, maksudnya mendatanginya untuk shalat di
belakangnya.
Berikut adalah penyelewengan
sebagai faedah dan pengingat, yang saya tujukan kepada imam-imam masjid yang mulia,
yang mengimami manusia dalam shalat tarawih, yang telah Allah anugerahi dengan
hafalan dan suara yang bagus serta mampu memberi pengaruh dengan bacaannya
kepada manusia. Saya katakan kepada mereka:
"Jagalah agar pengaruh
bacaan kalian terhadap manusia adalah saat memperdengarkan ucapan Rabb kalian (Kalamullah).
Hindarilah menjadikan pengaruhnya hanya dalam doa qunut saja, karena yang
demikian itu salah besar. Ketika kalian sengaja melakukannya berarti engkau
telah menanamkan kesalahan itu kepada manusia. Bagaimana mempengaruhi manusia
dengan ucapan manusia, dan tidak terpengaruh dengan ucapan Tuhan semesta alam. Subhanallah,
bukankah hal itu perkara yang aneh?! Perlu untuk dipelajari dan dicarikan
solusinya?
Tidakkah anda perhatikan
sebagian imam yang merubah nada suaranya dan melakukan lantunan dalam qunut
untuk menghanyutkan hati makmum dan mengajak mereka untuk menangis dan
khusyuk'?
Mengapa hal itu tidak
dilakukan ketika membaca Kalamulah -subhanahu wata'âla-, kenapa
hal itu tidak dilakukan ketika memperdengarkan Kalamulah -subhanahu
wata'âla-?!
Pengaruh al-Quran membuat
pendengarnya kehilangan kata-kata, membuat khusyuk jiwa-jiwa orang saleh dan
melambungkan ruh-ruh yang suci. Jagalah agar kekhusyukan dan pengaruhnya
berasal dari Kalamulah, yang berfirman dari atas langit yang tujuh, yang
didengar oleh Jibril, utusan Robbul Barriyyât, yang kemudian
diperdengarkannya kepada sebaik-baik makhluk, Muhammad -shalallah alaihi
wasalam-.
Saat shalat engkau tengah
mendengar apa yang difirmankan Allah dari iliyyin (tempat tertinggi),
tidakkah itu cukup untuk menghadirkan hati, meremangkan bulu roma untuk kemudian menjadikan hati lembut dan menjadi
tenang.
Sungguh ia adalah Kalamulah,
sungguh ia adalah Kalamulah, maka mengertilah akan makna kata ini wahai
muslim.
Perkara keenam:
Banyak orang bertanya
bagaimana cara agar respons dengan al-Quran. Kenapa kita tidak khusyuk dalam
shalat ketika mendengar Kalamullah?
Tidak diragukan bahwa hal itu
berpulang pada banyak faktor, yang paling nyata adalah dosa-dosa dan kesalahan
yang membebani pundak kita. Meskipun demikian, musti ada sedikit banyak
pengaruh al-Quran, sekalipun kecil. Apakah ada jalan untuk itu?
Jauh dari kemaksiatan,
memperbaiki hati serta menyibukkan diri dengan ketaatan adalah jalan agar
respons dengan al-Quran. Seberapa besar kadar perbaikan yang dilakukan, akan
sebesar itu pula pengaruhnya.
Responsif ketika membaca
al-Quran memiliki sebab yang bermacam-macam, bisa dikarenakan keadaan orang itu
sedang merasa rendah hingga hatinya siap untuk menerima karunia Robb -subhanahu
wata'âla-.
Siapa yang bersegera hadir di
masjid untuk shalat jumuat lalu melaksanakan shalat sunah sebanyak yang
dikehendakinya, kemudian berzikir kepada Allah dan membaca Kitabullah,
lalu mendengar khutbah, maka hatinya akan lebih respons terhadap Kalamulah
dari pada orang yang datang terlambat, tergesa-gesa karena takut tertinggal
shalat. Dengan ketergesaannya itu bagaimana jiwanya akan tenang dan hatinya
akan tenteram sehingga dapat memahami Kalamulah dan meresapi
makna-maknanya?!
Siapa yang telah membaca
tafsir dari ayat-ayat yang dibaca oleh imam dan dapat menghadirkan maknanya di
pikirannya, maka pengaruhnya akan lebih besar daripada yang tidak mengerti
maknanya. Siapa yang melakukan sejumlah ketaatan sebelum shalatnya, maka kekhusyukan
dan kedekatan hatinya dengan Kalamulah melebihi yang tidak melakukannya.
Engkau dapati mereka yang
dulunya berlumur maksiat lalu Allah beri hidayah begitu menikmati dan merasakan
kelezatan Kalamullah. Engkau dapati mereka khusyuk dan menangis. Hal itu
tidak lain karena berubahnya keadaan hati mereka dari kerusakan menjadi baik.
Jika hal ini terjadi pada mereka yang sebelumnya rusak, maka bagi yang telah
lebih dulu melakukan kebaikan tentunya lebih dapat mengupayakannya, mencari
apa-apa yang dapat menolongnya untuk khusyuk dan respons terhadap Kalamulah.
Perkara ketujuh:
Banyak yang bertanya,
bagaimana aku menjaga ketaatanku yang telah Allah anugerahkan di bulan
Ramadhan? Bersama berlalunya bulan, cepat sekali aku kembali meninggalkan
ketaatan yang telah aku rasakan kelezatan dan manisnya saat melaksanakannya?
Sesungguhnya Rasulullah -shalallah
alaihi wasalam- telah menggambarkan kepada kita manhaj (metode) yang
jelas dalam setiap amal. Beliau telah menjelaskan dengan sabdanya:
(( أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ))
"Amal
yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan sekalipun
sedikit."
[HR. al-Bukhari no.5861,
Muslim no.1861. dan ini lafal Ahmad 27061, 27097]
Jika kita mengamalkan hadits
ini dalam seluruh ibadah kita, sungguh ibadah kita akan banyak yang terjaga.
Tetapi ketika kita seperti pengendara yang tergesa-gesa, tidak akan ada etape
yang terlampaui karena di tengah jalan terpaksa berhenti kelelahan dan tidak
ada tunggangan karena ia sudah tidak lagi berdaya akibat oper kecepatan di
awal.
Jika seorang muslim membatasi
ibadah hariannya dengan sedikit amal harian, yang dia tambah ketika sedang
bersemangat, dan kembali kepada batasannya yang sedikit ketika futur
(turun semangat), tentu itu bermanfaat baginya. Mudawwamah (kontinuitas)
dalam ibadah walaupun sedikit lebih baik daripada melakukannya dalam jumlah
banyak tetapi dalam rentang waktu berjauhan atau meninggalkannya sama sekali.
Siapa yang melaksanakan faroid
(kewajiban) dan konsekuen melaksanakan sunan rawatib lalu menambahnya dengan
ibadah lain yang dia kehendaki, sesungguhnya dia termasuk yang dicintai Allah,
sebagaimana yang dikatakan-Nya dalam hadits qudsi:
(( وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ ))
"Senantiasa
hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan nawafil (ibadah sunah) hingga Aku
mencintainya"
[HR. al-Bukhari no.6502. Ahmad 26947]
Menjaga shalat malam dengan
tidak tidur sebelum shalat tiga rakaat, meskipun dengan shalat yang ringan.
Jika merasa bersemangat ditambah, tapi jika tidak, tetap dengan tiga rakaat.
Dalam membaca al-Quran
berpatokan dengan satu juz setiap hari. Bila sempurna satu bulan dia telah
khatam al-Quran.
Pada puasa berpatokan pada
tiga hari setiap bulan. Jika mampu untuk ditambah maka ditambah, tapi tidak
kurang dari tiga hari.
Dalam nafkah berpatokan pada
jumlah tertentu –sekalipun kecil-, dan tidaklah berlalu bulan melainkan dia
telah menafkahkannya.
Demikian pula dengan
ibadah-ibadah lain, berpatokan pada asal yang sedikit dan menambahnya ketika
sedang bersemangat. Jika semangatnya menurun, dia kembali kepada sedikit yang
dipatoknya. Sehingga dia tetap dalam ibadahnya tanpa beban, merasa berat, lupa
dan melalaikannya.
Saya meminta kepada Allah
memberi taufik kepada kita terhadap apa-apa yang dicintai dan diridainya, dan
menjadikan kita termasuk mereka yang berucap dan berbuat.
Jika engkau renungi, bulan
Ramadhan sudah menjadi seperti stasiun yang dijadikan manusia sebagai penambah
bahan bakar. Ia adalah stasiun orang-orang saleh yang bersuka cita dengan
kehadiran bulan ini dan menggunakannya untuk mengumpulkan perbekalan dengan
beribadah di dunia untuk surga di akhirat. Dia adalah satu-satunya tempat
pengasuhan pendidikan yang dimasuki oleh setiap muslim, orang-orang baiknya,
yang salehnya juga pelaku maksiatnya. Apakah kita dapat memanfaatkan bulan ini?
Terakhir:
Saya meminta kepada Allah
memberi kita taufik dan ketegaran, agar Allah mengangkat bala bencana dari umat
ini, dan memberi petunjuk pemimpin kita kepada apa yang dicintai dan
diridai-Nya. Memperlihatkan kepada kita kemenangan kaum muslimin dalam segala
aspek kehidupan pada bulan ini, sesungguhnya Dia berkuasa dan mampu akan hal
itu. Akhir doa kami adalah segali puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
[1] Terdapat
dua fase turunnya al-Quran. Pertama: diturunkan secara sekaligus ke langit
dunia pada malam lailatul Qodar sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah surat al-Qodar:1
dan al-Baqoroh:158. Fase kedua: diturunkan secara berangsur-angsur dari langit
dunia kepada Nabi r baik dengan maupun
tanpa Asbab an-Nuzul melalui perantaraan Malaikat Jibril. Pent-
Post a Comment