Keutamaan Bulan Muharram Dan Puasa Asyuro
Keutamaan Bulan Muharram
Dan Puasa Asyuro
Dan Puasa Asyuro
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad,
penutup para nabi dan pemimpin para rasul. Juga kepada keluarga dan seluruh
sahabatnya.
Adapun selanjutnya:
Sesungguhnya bulan Allah Muharram adalah bulan
yang agung lagi penuh berkah. Ia adalah bulan pertama ditahun hijriah dan salah
satu bulan haram (yang disucikan). Yang disebut Allah I dalam firmannya:
"Sesungguhnya
bilangan bulan disisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu." (QS.at-Taubah:36)
Dan Nabi r bersabda,
((
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ:
ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ
جُمَادَى وَشَعْبَانَ))
"Dalam setahun ada dua belas bulan. Empat
diantaranya adalah bulan haram. Tiga berurutan: Zulkaidah, Zulhijjah dan
Muharram sedangkan (yang keempatnya) Rajab berada di antara Jumada dan
Sya'ban." [Hadits riwayat al-Bukhari no.2958]
Maksud firman Allah r: " Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu" adalah pada bulan-bulan haram, karena dosanya lebih besar
dari bulan lainnya.
Ibnu Abbas t berkata mengenai tafsir ayat: " Maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu" mulanya pada seluruh
bulan, lalu dikhususkan empat bulan saja yang kemudian ditetapkan menjadi bulan
haram (bulan suci). (Perbuatan haram pada bulan-bulan itu) keharamannya
melebihi bulan yang lain. Pada bulan-bulan itu perbuatan dosa lebih besar dan
perbuatan baik pahalanya juga lebih besar.
Qotadah –semoga Allah merahmatinya-
berkata dalam tafsir ayat di atas: "Sesungguhnya kezaliman pada
bulan-bulan haram adalah lebih besar kesalahan dan dosanya dibandingkan
kezaliman pada bulan-bulan lainnya. Meskipun kezaliman dalam setiap keadaan
tidak diperkenankan, akan tetapi Allah I menjadikan lebih besar suatu perkara sesuai kehendak-Nya... Allah
menyeleksi hamba-hambanya, Dia memilih rosul (utusan) dari malaikat dan
dari manusia, memilih zikir dari segala ucapan, memilih mesjid dari tempat yang
lain, memilih bulan haram (bulan suci) dari bulan-bulan yang lain,
memilih hari jum'at dari hari-hari yang lain, memilih malam lailatul qodar dari
malam-malam yang lain. Maka agungkanlah apa-apa yang telah Allah agungkan.
Sesungguhnya yang mengagungkan apa yang Allah agungkan hanya ada pada
orang-orang yang berfaham dan berakal. –selesai perkataannya- [Disarikan
dari tafsir Ibnu Katsir surat
at-Taubah:36]
Keutamaan Memperbanyak Puasa Sunnah Di Bulan
Muharram
Abu Hurairah t berkata, bersabda Rasulullah r,
((
أَفْضَلُ الصِّيَام بَعْد رَمَضَان شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّم))
"Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah
Muharram." [Hadits riwayat Muslim no.1982]
Sabdanya "Bulan Allah": disandarkan
penyebutan bulan kepada Allah adalah sebagai pengagungan.
Al-Qoori berkata: yang dimaksud adalah seluruh
bulan haram.
Akan tetapi telah falid bahwa Nabi r tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan.
Sehingga hadits ini bermakna anjuran untuk memperbanyak puasa pada bulan
Muharram, bukan memuasai seluruh harinya.
Telah falid pula bahwa Nabi r meperbanyak puasa di bulan Sa'ban. Bisa jadi hal itu karena keutamaan
puasa Muharram belum diwahyukan kepadanya r kecuali di akhir hayatnya sebelum dapat memuasainya. [Penjelasan
an-Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim]
Allah Memilih Waktu Dan Tempat Sekehendak-Nya
Al-Izz bin Abdussalam- semoga Allah
merahmatinya- berkata,
"Pengutamaan waktu dan tempat ada dua bentuk: pertama duniawi
(keduniaan) dan kedua dini (keagamaan). Bentuk (kedua ini) berpulang
kepada Allah. Dia menambahkan pahala orang-orang yang beramal pada waktu-waktu
dan tempat-tempat itu. Seperti mengutamakan puasa diantara bulan-bulan,
demikian juga hari asyuro (diantara hari yang lain). Pengutamaan tersebut
berpulang kepada kedermawanan dan kebaikan Allah terhadap hambanya. [Qowaid
al-Ahkam 1/38]
Asyuro Dalam Sejarah
Ibnu Abbas t berkata,
"Ketika Nabi r tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
Asyuro (tanggal 10 Muharram). Beliaupun bertanya, '(Ada) apa ini?' Mereka menjawab, 'Ini
adalah hari baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israel dari
musuh-musuh mereka, sehingga Nabi Musa berpuasa pada hari ini.' Nabi r berkata, 'Aku lebih berhak meneladani Musa dari pada kalian.'
Maka Nabipun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan yang lain untuk
memuasainya." [Hadits riwayat al-Bukhari no.1865]
Ungkapan: "Ini adalah hari baik" dalam
riwayat Muslim diungkapkan dengan: "Ini adalah hari yang agung. Allah I menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir'aun beserta
pengikutnya".
Ungkapan: "Maka Musa memuasainya" dalam
riwayat Muslim ada penambahan kalimat: "Sebagai rasa syukur kepada Allah I, sehingga kamipun memuasainya". Sedangkan dalam lafal
al-Bukhari: "Dan kami memusainya sebagai pengagungan terhadap Allah."
Imam Ahmad meriwayatkan dengan tambahan: "Yaitu hari dimana bahtera Nabi
Nuh belayar dengan tenang, sehingga Nabi Nuh memuasainya sebagai bentuk
syukur."
Ungkapan: "Dan memerintahkan untuk
memuasainya" di dalam riwayat al-Bukhari diungkapkan: "Beliau berkata
kepada para sahabatnya, 'Kalian lebih berhak (meneladani) Musa dari pada
mereka, maka puasailah!'."
Puasa Asyuro dikenal sejak dahulu hingga di masa
jahiliah sebelum diutusnya Nabi r.
Telah falid dari Aisyah t, dia berkata, "Orang-orang jahiliah dahulu memuasainya."
Al-Qurthubi berkata, "Mungkin saja bangsa
Quraisy memuasainya berpedoman kepada syari'at umat terdahulu seperti Ibrahim –alaihissalam-.
Telah falid pula bahwa Nabi r telah memuasainya sejak masih berada di Mekkah, sebelum berhijrah ke
Madinah. Ketika tiba di Madinah, beliau mendapatkan kaum Yahudi merayakannya
sehingga menanyakan sebab perayaan meraka. Kaum Yahudi menjawab sebagaimana
yang telah disebutkan di dalam hadits.
Nabi r
memerintahkan untuk menyelisihi kaum Yahudi yang menjadikannya hari 'Id
(hari raya). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Musa, dia
berkata, "Hari Asyuro bagi kaum Yahudi termasuk hari raya." Dan dalam
riwayat Muslim, "Hari Asyuro diagungkan oleh kaum Yahudi. Mereka
menjadikannya hari raya." Masih dalam riwayat Muslim: "Dahulu Yahudi
Khaibar menjadikannya hari raya. Para wanita
mereka mengenakan perhiasan dan lencana mereka. Sehingga Nabi r bersabda, "Maka berpuasalah kalian!" [Hadits riwayat
al-Bukhari]
Yang nampak adalah bahwa perintah puasa Asyuro
untuk menyelisihi kaum Yahudi. Sampai-sampai Nabi r memerintahkan mereka yang tidak berpuasa dihari itu untuk memuasai
sisa harinya, karena pada galibnya hari 'Id tidak berpuasa. [Selesai ringkasan
perkataan Ibnu Hajar –rahimahullah- di dalam Fathul Baari penjelasan
Shahih al-Bukhari]
Keutamaan Puasa Asyuro
Ibnu Abbas t berkata: "Aku tidak melihat Nabi r begitu antusias memuasai suatu hari yang lebih diharap keutamaannya
dibanding hari-hari lain selain hari ini, yaitu hari Asyuro, dan bulan ini,
maksudnya bulan Ramadhan." [Hadits riwayat al-Bukhari no.1867]
Makna antusias disini adalah mengharap dengan
puasa itu pahala dan dilakukan dengan rasa sukacita.
Nabi r
bersabda:
(( صِيَامُ يَوْمَ عَاشُوْراَء أَحْتَسِبُ عَلى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ التِي قَبْلَه))
"Puasa hari Asyuro, aku mengharap pahala
dari Allah dapat menghapus dosa setahun sebelumnya." [Hadits riwayat Muslim no.1976]
Ini merupakan keutamaan Allah kepada kita,
menjadikan puasa sehari sebagai penghapus dosa setahun penuh. Allahlah pemilik
keutamaan yang besar.
Hari apa asyuro itu?
An-Nawawi –rahimahullah- berkata, "
Asyuro dan Tasu'a adalah dua nama yang dimadkan (dipanjangkan[1]),
beginilah yang masyhur dalam kitab lughah (bahasa). Sahabat-sahabat kami
mengatakan: Asyuro adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Sedangkan Tasu'a
adalah hari kesembilannya. Demikian pula yang dikatakan oleh Jumhur ulama
(kebanyakan ulama). Inilah yang nampak jelas dari hadits-hadits dan kandungan
makna lafal. Hal itu amat difahami oleh ahli bahasa. (al-Majmu)
Dua nama itu adalah nama islami yang tidak
dikenal dimasa jahiliah. [Kitab Kasyful Qonaa jilid 2, Shaum al-Muharram]
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata,
" Asyuro adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Demikianlah pendapat Sa'id
bin al-Musayyib dan al-Hasan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas t, dia berkata, "Rasulullah r memerintahkan untuk puasa Asyuro, yaitu pada hari kesepuluh dari
bulan Muharram." [Riwayat at-Turmudzi, dan dia mengatakan hadits ini hasan
shahih]
Disukai Memuasai Hari Kesembilan Dan Hari
Kesepuluh
Abdullah bin Abbas c meriwayatkan: "Ketika Rasulullah r berpuasa pada hari Asyuro dan memerintahkan untuk memuasainya, para
sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang
diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani." Maka Rasulullahpun r berkata, "Jika tiba tahun depan, insyaAllah kita akan
berpuasa (juga) at-tasuu'a (hari kesembilan)." Abdullah melanjutkan,
"Belum tiba tahun berikutnya Rasulullah r telah wafat. [Hadits riwayat Muslim 1916)
As-Syafi'i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishak dan
yang lainnya berkata: "Disukai memuasai hari kesembilan dan kesepuluh
sekaligus, karena Nabi r memuasai hari kesepuluh dan bertekat untuk berpuasa hari kesembilan.
Dengan demikian puasa Asyuro ada beberapa
tingkatan; yang paling rendah memuasai tanggal sepuluh saja, tingkat di atasnya
memuasai hari kesembilan dan kesepuluh. Semakin banyak berpuasa pada bulan ini
maka semakin utama dan baik.
Hikmah Disukainya Puasa Asyuro
An-Nawawi –rahimahullah- berkata,
"Ulama dari kalangan sahabat kami (ulama Syafi'iah) dan selain mereka
menyebutkan hikmah disukainya melaksanakan puasa at-Tasu'a
sebagai berikut:
Pertama:
maksudnya adalah menyelisihi kaum yahudi yang hanya memuasai hari kesepuluh.
Kedua:
untuk menyambung puasa Asyuro dengan puasa lain. Sebagaimana dilarangnya
memuasai hari jum'at saja. Yang demikian disebutkan oleh al-Khattabi dan yang
lainnya.
Ketiga:
kehati-hatian dalam ketepatan memuasai hari Asyuro, khawatir hitungan bulan
(jumlah harinya) kurang sehingga terjadi ketidaktepatan. Boleh jadi menurut
hitungan adalah hari kesembilan tetapi yang sebenarnya hari kesepuluh. –selesai
perkataannya-
Yang paling tepat dari pendapat-pendapat itu
adalah untuk menyelisihi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ibnu Taimiyah
–rahimahullah- berkata: "Rasulullah r melarang tasyabuh (menyerupai) Ahli Kitab dalam banyak
hadits-haditsnya, seperti sabda beliau tentang Asyuro: "Jika aku hidup
sampai tahun depan, sungguh aku akan (juga) memuasai hari kesembilan."
[Al-Fataawaa al-Kubro jilid 6 Saddu adz-Dzaroi' al-Muadhiah Ilal Muharrom]
Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam
footnote mengenai hadits [Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku
(juga) akan memusai hari kesembilan]: "Bahwa tekad Nabi untuk berpuasa
tanggal sembilan maknanya bukan mencukupkan pada hari itu saja, akan tetapi
menggabungkannya dengan hari kesepuluh; bisa untuk kehati-hatian, bisa juga
untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nasrani, dan alasan ini yang lebih kuat.
Pendapat inilah yang diisyaratkan sebagian perawi Muslim. [Fathul Baari 4/245]
Hukum Memuasai Hari Asyuro Saja
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Puasa
hari Asyuro menghapus dosa setahun. Memuasai hari ini saja tidak dimakruhkan
(dibenci). [al-Fatawa al-Kubro jilid.5]
Di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj oleh Ibnu Hajar al-Haitami
disebutkan: "Tidak mengapa hanya memuasai hari itu saja (tanggal
10)." [Bab Soum Tatawu' jilid 3]
Asyuro Tetap Dipuasai Meskipun Bertepatan Dengan
Hari Sabtu Atau Jum'at
Terdapat larangan menyendirikan hari jum'at dan
sabtu dalam berpuasa kecuali puasa wajib. Akan tetapi kemakruhannya hilang jika
ditambahkan satu hari atau jika bertepatan dengan ibadah syar'i yang biasa
dilakukan, (seperti) sehari puasa sehari berbuka (puasa Dawud), atau nadzar,
mengganti hutang puasa, atau puasa yang disyari'atkan seperti hari Arafah dan
Asyuro. [Tuhfatul Muhtaaj jilid.3 Bab: Soum at-Tathawu. Musykil al-Atsar
jilid.2 Bab: Soum Yaumus Sabt].
Al-Bahuti –rahimahullah- berkata,
"Makruh hukumnya memuasai hari sabtu saja, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Bisyr dari kakak perempuannya, Nabi r bersabda:
((لاَ
تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ))
"Janganlah
kalian memuasai hari sabtu kecuali apa yang telah diwajibkan kepada
kalian."
[Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan
juga diriwayatkan oleh Hakim. Hakim berkata: shahih dengan syarat al-Bukhari]
Hal itu karena hari sabtu adalah hari yang
diagungkan oleh kaum Yahudi. Menyendirikan hari itu saja merupakan bentuk tasyabuh
(meniru mereka), kecuali hari jum'at atau sabtunya kebetulan bertepatan dengan
kebiasaan puasanya, seperti bertepatan dengan hari Arafah dan Asyuro, dimana
pada kedua hari itu dia biasa memuasainya. Pada yang demikian itu tidaklah
makruh (dibenci), karena kebiasaannyalah yang membuatnya memuasai hari itu.
[Kasyf al-Qona' jilid.2 bab. Soum at-Tatowwu']
Apa Yang Dilakukan Jika Awal Muharram Samar
Imam Ahmad berkata, "Jika samar baginya awal
bulan Muharram, hendaknya berpuasa selama tiga hari. Hal itu dilakukan untuk
memastikan bahwa dia memuasai hari kesembilan dan kesepuluh. [Kitab al-Mughi
oleh Ibnu Qudamah jilid.3 Syiam Asyuro]
Jika tidak tahu masuknya awal bulan Muharram dan
inggin berjaga-jaga ketepatan hari kesepuluh, hendaknya menyempurnakan bilangan
hari pada bulan Zulhijjah menjadi 30 hari, sebagaimana yang telah menjadi
kaidah. Kemudian memuasai hari kesembilan dan kesepuluhnya. Jika ingin
berjaga-jaga hari kesembilan, hendaknya memuasai hari kedelapan, kesembilan dan
kesepuluh. (Agar bila jumlah hari pada bulan Zulhijjah kurang, dia telah
mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Oleh karena puasa
Asyuro adalah mustahabbah (disukai) bukan wajib, maka tidak
diperintahkan untuk mengamati hilal (peralihan bulan) Muharram sebagaimana
diperintahkan mengamati hilal Ramadhan dan Syawal.
Pahala Puasa Asyuro
Imam an-Nawawi –rahimahullah- berkata,
"(Puasa Asyuro) menghapus seluruh dosa-dosa kecil. Artinya menghapus semua
dosa pelakunya selain dosa besar. An-Nawawi –rahimahullah- melanjutkan:
"Puasa hari arafah menghapuskan dosa dua tahun, puasa Asyuro menghapus
dosa setahun, bacaan aamiin (dalam shalat berjamaah setelah al-Fatihah)
jika bertepatan dengan bacaan aamiin malaikat dihapuskan dosanya yang
telah lalu….
Semuanya itu dapat menghapuskan dosa. Jika
terdapat dosa-dosa kecil yang bisa dihapus, maka dosa kecil itu dihapus. Jika
dosa kecil dan besar tidak ada, maka pahalanya dicatat sebagai kebaikan dan
diangkat derajatnya. Jika yang ada adalah dosa besar sedangkan dosa kecilnya
tidak ada, kami berharap dapat meringankan dosa besar. [al-Majmu Syarh
al-Muhadzzab jilid:6 Soum yaum 'Arafah]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
berkata, "(Pahala berupa) penghapusan dosa ketika bersuci, shalat, puasa
Ramadhan, puasa Arafah dan puasa Asyuro hanyalah untuk dosa kecil saja.
[Al-Fatawa al-Kubro jilid:5]
Jangan Terkecoh Dengan Pahala Puasa
Sebagian orang terkecoh sehingga bersandar kepada
pahala puasa Asyuro atau hari Arafah. Hingga sebagian mengatakan bahwa
"puasa asyuro menghapuskan segala dosa selama setahun dan yang berlebih
dari puasa Arafah adalah tambahan pahala."
Ibnu Qoyyim –rahimahullah- berkata,
"Orang yang terkecoh ini tidak mengetahui bahwa puasa Ramadhan dan shalat lima waktu lebih agung dan
lebih mulia dibanding puasa Arafah dan Asyuro. Puasa Arafah dan Asyuro
hanyalah menghapus dosa yang ada di antara keduanya jika dosa besar ditinggalkan.
Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, Jum'at ke
Juma'at berikutnya tidak mampu menghapus dosa kecil jika tidak disertakan
dengan "meninggalkan dosa besar". Hingga (jika terkumpul) keduanya
barulah mampu untuk menghapus dosa kecil.
Di antara orang-orang yang terkecoh ini menyangka
bahwa keta'atannya lebih banyak daripada kemaksiatannya. Yang demikian karena
dia tidak menghitung keburukan-keburukannya dan tidak pula menyelidiki
dosa-dosanya. Jika berbuat ketaatan dia menghapal dan mengandalkannya. Mereka
itu semisal orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih seratus kali
sehari, tetapi kemudian menggibahi (menggunjingi/menggosipi) muslim lain
dan mencabik-cabik kehormatan orang lain. Sepanjang hari yang dibicarakan
adalah perkara yang tidak diridoi Allah. Jika seperti ini, yang ada hanyalah
angan-angan mendapatkan keutamaan tasbih[2]
dan tahlil[3].
Dia tidak menoleh kepada ancaman balasan berghibah, berdusta dan mengadu domba
serta dosa-dosa lisan lainnya. Sungguh dia benar-benar tertipu. [Al-Mausu'ah
al-Fiqhiah jilid.31 Ghururu]
Puasa Asyuro Tetapi Memiliki Hutang Puasa
Ramadhan
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai puasa sunnah
Asyuro sebelum menyelesaikan hutang puasa Ramadhan. Madzhab Hanafiah membolehkan puasa sunnah sebelum membayar hutang puasa Ramadhan tanpa memakruhkannya. Karena membayar hutang puasa Ramadhan tidak harus langsung. Madzhab Malikiah dan Safi'iah membolehkan dengan kemakruhan (dibenci), karena dia telah mengahkirkan pelaksanaan kewajiban.
Asyuro sebelum menyelesaikan hutang puasa Ramadhan. Madzhab Hanafiah membolehkan puasa sunnah sebelum membayar hutang puasa Ramadhan tanpa memakruhkannya. Karena membayar hutang puasa Ramadhan tidak harus langsung. Madzhab Malikiah dan Safi'iah membolehkan dengan kemakruhan (dibenci), karena dia telah mengahkirkan pelaksanaan kewajiban.
Ad-Dasuqi berkata, "Dimakruhkan
(tidak disukai) berpuasa sunnah bagi mereka yang memiliki puasa wajib, seperti
puasa nazar, qodho, dan kafarah. Sama saja apakah puasa sunnah itu muakadah
(ditekankan) atau ghairu muakadah (tidak ditekankan), seperti
Asyuro dan sembilan Zulhijjah (Arafah). Madzhab Hanbali berpendapat haramnya
puasa sunnah sebelum melunasi puasa Ramadhan dan puasa sunnahnya tidak sah.
Sekalipun membayar hutang puasa waktunya lapang, tetapi haruslah dimulai dengan
puasa wajib hingga menyelesaikannya. [Mausu'ah al-Fiqhiah jilid 28 shoum
Tatawu']
Bagi seorang muslim hendaklah menyegerakan untuk
membayar hutang puasa Ramadhannya agar dapat melakukan puasa sunnah Arafah dan
Asyuro tanpa polemik. Jika dia memuasai hari Arafah dan Asyuro dengan niat Qodho'
(niat membayar hutang puasa wajib) dimalam harinya hal itu bisa dijadikan pengqhodo
puasa wajibnya. Dan keutamaan Allah itu amatlah besar.
Bid'ah
(Perkara Yang Mengada-Ada) Pada Hari Asyuro
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
ditanya mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang
ketika hari Asyuro, seperti memakai celak, mandi, mencat (mencutek) kuku,
saling bersalam-salaman, memasak kacang-kacangan, menampakkan kegembiraan dan
hal-hal lain. Apakah semua perbuatan itu ada dasarnya?
Beliau menjawab:
Segala puji bagi Allah. Tidak ada hadits shahih
dari Nabi r mengenai hal-hal yang disebutkan, tidak pula dari para sahabatnya.
Imam-imam kaum musliminpun tidak ada yang menjadikannya perbuatan yang mustahab
(disukai); tidak imam yang empat, tidak pula selain mereka. Para
penulis kitab-kitab yang karyanya dijadikan referensipun tidak ada yang
meriwayatkan sama sekali; tidak dari Nabi r tidak pula dari para Sahabat dan Tabi'in, baik yang shahih maupun
yang doif (lemah).
Tetapi sebagian muta'akhirin (orang-orang
belakangan) memiliki hadits seperti yang mereka riwayatkan, "barangsiapa
memakai celak pada hari Asyuro tidak
akan sakit mata pada tahun itu", "siapa yang mandi pada hari Asyuro
tidak akan sakit pada tahun itu" dan lain sebagainya. Mereka
meriwayatkannya dalam hadits-hadits maudhu (palsu) yang didustakan atas
nama Nabi r. Riwayat palsu lain mengatakan, "siapa yang melapangkan
keluarganya pada hari asyuro, akan Allah lapangkan baginya sisa
tahun-tahunnya". Semua riwayat dari Nabi r tersebut adalah riwayat dusta.
Kemudian Syaikh –rahimahullah- menyebutkan
secara singkat peristiwa yang terjadi pada generasi awal umat ini, dari fitnah
serta peristiwa-peristiwa pembunuhan Husain t beserta apa yang dilakukan segolongan orang karenanya. Beliau
berkata:
Sehingga terbentuklah kelompok-kelompok jahiliah
dzolimah (bodoh lagi zalim); bisa kelompok mulhid munafik (tidak
percaya tuhan lagi munafik), bisa juga dholah ghawiah (sesat lagi
ekstrim). Mereka memperlihatkan kesetiaan kepada Husain dan ahlulbait (keluarga
Nabi); menjadikan hari asyuro sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan.
Dipertontonkan pada saat itu syiar jahiliah dalam bentuk menampar-nampar
pipi, mencabik-cabik pakain, berkabung dengan cara berkabung jahiliah.
Melantunkan nasyid-nasyid kesedihan dan riwayat berita-berita yang penuh dengan
kedustaan. Kejujuran yang tersisa hanyalah memperbaharui kesedihan dan ta'asub
(fanatik golongan), membangkitkan kebencian serta permusuhan, menyusupkan
fitnah di tengah kaum muslimin dan menjadikannya wasilah mencaci orang-orang
soleh generasi pertama. Keburukan mereka dan bahayanya terhadap umat Islam
tidak dapat dijabarkan oleh orang yang pakar bicara sekalipun.
Mereka itu bisa jadi dari kalangan nawashib
yang sangat ta'asub (berlebih-lebihan membenci) kepada Husain dan
keluarganya, juga dari orang-orang bodoh yang menghadapi kerusakan dengan
kerusakan, kedustaan dengan kedustaan, dan bid'ah dengan bid'ah.
Mereka mengekspresikan syi'ar kegembiraan dan
kesenangan pada hari Asyuro, seperti bercelak dan berdandan, melebihkan belanja
harian, memasak makanan diluar kebiasaan, serta hal-hal lain yang layaknya
dilakukan pada hari lebaran dan peringatan-peringatan. Walhasil, dari mereka
ada yang menjadikan hari Asyuro seperti musim dari musim-musim hari raya dan
kegembiraan, sedang sebagian lagi menjadikanya sebagai hari berkabung.
Dipergelarkanlah hari kesedihan dan kegembiraan. Kedua kelompok ini
(terjerumus) dalam kesalahan, keluar dari sunnah Nabi. [Fatawa al-Kubro Ibnu
Taimiyah]
Ibnu al-Hajj –rahimahullah- menyebutkan
bahwa di antara bid'ah Asyuro adalah membiasakan mengeluarkan zakat pada waktu
itu, baik mengakhirkannya atau menyegerakannya. Termasuk juga mengkhususkan
menyembelih ayam dan menggunakan hana (pacar) bagi wanita. [Al-Madkhal jilid.1
Yaum 'Asyuro]
Kita memohon kepada Allah, agar menjadikan kita
sebagai orang-orang yang menjalankan sunnah Nabi mulia. Menghidupkan kita di
atas Islam dan mematikan kita di dalam keimanan. Memberikan taufik kepada kita
terhadap apa-apa yang dicintai dan diridhoi-Nya. Dan kita juga meminta
pertolongan kepada-Nya untuk senantiasa berdzikir, bersyukur dan benar dalam
beribadah kepada-Nya. Agar amal ibadah kita diterima dan dijadikan sebagai
hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
Shalawat semoga senantiasa tercurah kedapa Nabi
kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Post a Comment