Keyakinan Seputar Bulan Shafar
Keyakinan Seputar Bulan Shafar
Dengan menyebut nama Allah.
Segala puji hanya bagi Allah.
Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat
serta para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman
Adapun selanjutnya:
Wahai manusia, kini kita berada
di akhir hari-hari dari bulan Muharam, menyongsong bulan Allah Shafar.
Bulan demi bulan susul
menyusul mendekatkan kita kepada ajal.
(Sya'ir):
Berlalu kepada kita hari demi hari silih berganti
Mengantarkan ajal-ajal kita dan kita menyaksikannya
Tidak kembali masa muda yang telah berlalu
Dan tidak akan hilang ketuaan yang menyusahkan ini
Ada beberapa hal yang perlu
kita renungkan menyongsong bulan ini, bulan Shafar.
Renungan pertama: Bahwa bulan ini tidak
ubahnya bulan-bulan lain yang dua belas. Sebagaimana yang Allah I firmankan di dalam kitab-Nya,
al-Quran,
"Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa."
(QS.at-Taubah:36)
Nabi r juga bersabda tentangnya,
((إِنَّ
الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ،
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا))
"Sesungguhnya waktu telah
berputar sebagaimana bentuknya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi.
Satu tahun terdapat dua belas bulan..." [Hadits riwayat al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Bakroh t]
Renungan kedua: Apa
yang ada pada orang-orang musyrik mengenai bulan ini.
Pertama: orang-orang musyrik umat
jahiliah dahulu menghalalkan bulan Shafar selama setahun dan mengharamkannya di
tahun berikutnya[1],
sebagai pengganti bulan Muharam yang mereka halalkan. Maka Allah U menjelaskan bahwa perbuatan
mereka itu yaitu menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang
Allah halalkan menambah kekufuran mereka. Allah U berfirman,
"Sesungguhnya
mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan
orang-orang yang kafir dengan pengundur-unduran itu, mereka menghalalkannya
pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain. agar mereka dapat menyesuaikan
dengan bilangan yang Allah haramkan, maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka
yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir." (QS.
At-Taubah:37)
Dan sebagaimana yang valid
dari Ibnu Abbas t dalam Shahihain, Nabi
r bersabda,
((كَانُوا
يَرَوْنَ أَنَّ الْعُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ مِنْ أَفْجَرِ الْفُجُورِ فِي الْأَرْضِ
وَيَجْعَلُونَ الْمُحَرَّمَ صَفَرًا وَيَقُولُونَ إِذَا بَرَا الدَّبَرْ وَعَفَا الْأَثَرْ
وَانْسَلَخَ صَفَرْ حَلَّتْ الْعُمْرَةُ لِمَنْ اعْتَمَرْ))
"Dahulu
(umat jahiliah) menganggap berumroh pada bulan-bulan haji adalah perbuatan yang
paling keji di mungka bumi, mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan
Shafar dan mengatakan "Jika luka (yang ada di punggung onta disebabkan
perjalanan haji) sudah sembuh, jejak telah hilang dan masuk bulan Shafar,
dihalalkan berumrah bagi orang yang berumrah."
[Hadits
riwayat al-Bukhari no.1489 dan Muslim no.1240]
Kedua: umat jahiliah
menganggap sial bulan Shafar. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits
Ibnu Abbas terdahulu dan sebagaimana yang valid di dalam Shahihain dari hadits
Abu Hurairah t, dari Nabi r bahwa beliau bersabda,
((لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ
وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر))
"Tidak
ada wabah (yang menyebar secara sendirinya), tidak pula ramalan sial, tidak pula
burung hantu dan juga bulan Shafar
(yang membawa sial)."
Sabda Nabi r di atas ditafsiri:
bahwa apa yang diyakini oleh umat Jahiliah dari anggapan sialnya bulan Shafar
ditolak dan dilarang oleh syari'at dengan sabdanya r "Tidak ada Shafar".
Ibnu Rajab menguatkan penafsiran ini.
Renungan ketiga: Hukum menganggap
sial bulan Shafar.
Menganggap sial bulan Shafar
atau selainnya dari waktu, tempat, suara atau penampakan adalah syirik kepada
Allah U.
Nabi r bersabda,
((الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ))
"Thiyaroh (meramal nasib)
adalah syirik, meramal nasib adalah syirik."
[Diriwayatkan oleh Abu Daud
dan Turmudzi dari hadits Abdullah bin Mas'ud t dan disahihkan oleh al-Albani
–rahimahullah-]
Thiyaroh adalah meramal
kesialan/keberuntungan yang dilakukan oleh orang Arab dengan menggunakan
burung. Jika melihat burung datang dari arah belakang mereka misalnya, mereka
akan membatalkan rencana, baik perjalanan, akad nikah atau yang lainnya. Segala
anggapan sial karena melihat, waktu, tempat atau mendengar sesuatu berarti
telah terjerumus kedalam tathoyyur (meramal nasib) yang merupakan syirik
kepada Allah U.
Nas-nas
(keterangan-keterangan) al-Quran dan sunah melarang dan menjelaskan bahwa hal
itu adalah sifat musuh-musuh Allah dan rasul-Nya. Firman-Nya I,
"Kemudian apabila datang
kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha)
kami". dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan
itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, Sesungguhnya
kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui."
(QS.al-A'raaf:131)
Ayat ini merupakan penjelasan
bahwa kaum Musa jika mereka berada dalam kelimpahan dan keluasan rizki
mengatakan, 'Kami berhak mendapatkannya karena usaha kami'. Tetapi jika
ditimpakan kemarau, paceklik dan semisalnya mereka melemparkan kesialan kepada
rasul mereka, Musa u dan para pengikutnya.
Maka Allah U menjelaskan bahwa apa yang
menimpa mereka sesungguhnya itu dari sisi Allah U sebagai balasan perbuatan
buruk mereka. Allah berfirman
"13.
Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika
utusan-utusan datang kepada mereka. 14. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada
mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami
kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, Maka ketiga utusan itu berkata:
"Sesungguhnya Kami adalah orang-orang di utus kepadamu".15. Mereka
menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah yang
Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta
belaka".16. Para utusan berkata: "Tuhan kami mengetahui bahwa
sesungguhnya Kami adalah orang yang diutus kepada kamu".17. dan kewajiban
Kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas".18.
Mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu,
Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam
kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami"19. Para utusan
itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu
diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang
melampui batas".
(QS.Yaasiin:13-19)
Ayat di atas menjelaskan
anggapan kesialan suatu penduduk negeri dengan rasul mereka. Maka Allah I menjelaskan bahwa kesialan
itu ada pada mereka, maksudnya disebabkan adanya kekufuran dan kemaksiatan
mereka kepada rasul mereka
Telah valid dalam Shahih
Muslim dari hadits Muawiyah Ibnu Hakam as-Salami t, beliau berkata, "Wahai
Rasulullah sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur
(meramal nasib)," Rasulullah r bersabda,
((ذَاكَ
شَيْءٌ يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ فِي نَفْسِهِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ))
"Yang
demikian itu didapati seseorang dari kalian dalam hatinya, maka janganlah
membuat kalian berpaling (dari rencana kalian)." [Al hadits]
Renungan keempat: penjelasan bahwa umat
ini (Islam) akan mengikuti kebiasaan umat jahiliah dalam masalah ini.
Sungguh orang yang
memperhatikan keadaan kelompok-kelompok dari umat ini akan terheran dan melihat
kebenaran apa yang dikabarkan oleh Nabi r dari hadits Abu Sa'id
dalam Shahihain dengan sabdanya,
((لَتَتَّبِعُنَّ
سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حذو القذة بالقذة حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ
لَدَخَلْتُمُوهُ))
"Sungguh kalian akan
mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi
sejengkal sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhab[2]
sungguh kalian akan memasukinya."
Para sahabatpun bertanya
"Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara?" Rasul
menjawab, "Siapa lagi (kalau bukan mereka)?" [Al-hadits]
Dalam lafadz yang dikeluarkan di dalam Shahihain,
((لَتَرْكَبُنَّ
سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ))
"Sungguh
kalian akan melakukan kebiasaan orang-orang sebelum kalian"
Ada sekelompok orang di negeri
Islam yang beranggapan sial dengan sebagian waktu seperti pada bulan Shafar,
mereka tidak melangsungkan akad nikah dan tidak melakukan perjalanan karena
menganggap sial bulan tersebut. Pada hari Rabu di akhir bulan ini mereka
merayakannya dengan perayaan yang besar, mengadakan walimah-walimah dengan
makanan khusus dan berbagai jajanan, bertamasya ke pantai atau ke tempat-tempat
rekreasi untuk meluapkan kegembiraan bersamaan usainya bulan Shafar dan
berakhirnya hari Rabu terakhir di bulan itu.
Sekelompok orang Islam yang
lain beranggapan sial dengan sebagian bintang dan orbit bulan. Mereka tidak
melakukan perjalanan dan tidak melangsungkan akad nikah.
Semoga Allah merahmati Umar
bin Abdul Aziz yang melakukan perjalanan pada bulan Shafar, ketika sebagian
orang yang bersamanya berkata, "Wahai Amirul mukminin, lihatlah kepada
bulan, begitu baik dan indahnya." memaksudkan pada posisi ad-Dubroon
–posisi bulan yang dianggap penyebab kesialan- berharap Umar –rahimahullah-
mengerti apa yang dimaksudkannya.
Umar bin Abdulaziz berkata, "Kita
tidak keluar karena matahari tidak pula karena bulan, tetapi kita keluar
bertawakal kepada Allah U.
Sebagian umat Islam yang lain
beranggapan sial dengan suara beberapa binatang, seperti suara burung gagak
atau burung hantu. Mereka akan membatalkan atau kembali dari perjalanan yang
sedang dilakukan ketika mendengar suara-suara itu.
Semoga Allah meridhoi Ibnu
Abbas ketika mendengar seseorang berkata, "Kebaikan, kebaikan jika burung
gagak bersuara!" Ibnu Abbas berkata, "Tidak ada kebaikan tidak
pula keburukan (disebabkan suara-suara itu)." Demikian pula yang
dikatakan oleh Mujahid –rahimahullah- atau Ikrimah dan berkata,
"Janganlah engkau menemaniku!" (Ditujukan kepada orang yang memiliki
pemikiran sial tersebut)
Sebagian umat Islam yang lain
beranggapan sial dengan tempat-tempat tertentu melebihi orang-orang kafir yang
beranggapan sial dengan sebagian angka dan warna, yang kesemuanya merupakan
keyakinan jahiliah yang dibatalkan dan dilarang oleh Islam. Sesungguhnya milik
Allahlah segala sesuatu dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali. Tidak ada
daya dan upaya selain dari Allah U.
Renungan kelima: penjelasan mengenai
sifat-sifat orang yang beriman dan orang yang menetapi tauhid, bahwa mereka
akan masuk surga tanpa dihisab dan diazab
Di antara sifat-sifat orang
beriman dari para nabi dan orang-orang shalih yang terbesar adalah tawakal
(berserah diri) kepada Allah U dengan tidak menoleh
kepada reaksi yang terjadi di alam semesta yang Allah ciptakan ini; artinya
mereka menyandarkannya kepada Allah U diiringi mengambil
sebab-sebab yang syar'i untuk memperoleh apa yang mereka inginkan, bukan
menjadikan (isyarat-isyarat itu) sebagai petunjuk kebaikan atau keburukan.
Dengan keilmuan dan keimanan mereka, mereka sadar bahwa semua itu terjadi
dengan takdir Allah U; artinya mendapatkan
kebaikan ataupun keburukan tidak ada hubungannya dengan tempat dari
tempat-tempat, aktivitas burung, suara hewan dan semisalnya. Semua makhluk
Allah U teratur dengan pengaturannya
dan tunduk dengan kekuasaannya U. Dengan demikian hati
mereka bergantung dan bertawakal kepada Allah U, sehingga ketawakalan itu
membuahkan hilangnya perasaan-perasaan yang memang biasa terbesit pada setiap
insan sebagai perasaan yang manusiawi.
Hal itu sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Mas'ud t, "Tidak ada dari
kita melainkan (mengalaminya), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakal."
Itu dikatakannya setelah
meriwayatkan hadits Rasulullah r yang sabdanya, "Thiyaroh
(meramal nasib) adalah syirik, meramal nasib adalah syirik."
Allah I menyebutkan mengenai Nabi
Musa di dalam kitab-Nya,
"Maka setelah kedua
golongan itu saling melihat, berkatalah Pengikut-pengikut Musa:
"Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul". Musa menjawab:
"Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Tuhan-ku besertaku, kelak
Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (QS.as-Syu'aaraa:61-62)
Demikian pula yang Allah I sebutkan mengenai Nabi kita
Muhammad r di dalam al-Quran,
"Jikalau
kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah),
ketika keduanya berada dalam gua salah
seorang dari keduanya berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka
cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (QS.at-Taubah:40)
Di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar di dalam Shahihain, Nabi r berkata kepada Abu Bakar,
((مَا
ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللهُ ثَالِثُهُمَا))
"Apa dugaanmu dengan dua
orang yang Allah menjadi ketiga dari mereka."
Rasulullah r berkata kepada orang yang
menghunuskan pedang kepadanya dan bertanya, "Siapa
yang dapat menolongmu?!" Nabi menjawab, "Allah!" Maka pedang
itupun terjatuh dari tangan orang itu, lalu Rasulullah r mengambil pedang itu.."
[Al-hadits]
Nabi Ibrahim, khalilullah
(kekasih Allah) u terakhir kata yang
diucapkan ketika berada di dalam api yang membakarnya,
((حَسْبُنَا
اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ))
[hasbunallah wa ni'malwaqiil]
Artinya:
"Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan
Allah adalah Sebaik-baik Pelindung."
Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas t.
Demikian pula para sahabat
Rasulullah r yang dikhabarkan oleh Allah I di
dalam al-Quran,
"(Yaitu)
orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: 'Cukuplah Allah menjadi penolong
kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung'." (QS.Ali Imran:173)
Allah U berfirman di dalam kitabnya
menyifati orang-orang yang beriman,
"Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah merekalah mereka bertawakkal." (QS.al-Anfaal:2)
Nabi r telah menjelaskan akan adanya
70.000 dari umat ini yang akan masuk surga tanpa dihisab dan diazab. Telah
valid di dalam Shahihain dari hadits Ibnu Abbas t dari Nabi r,
((هُمْ
الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ))
"Mereka
adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah[3],
tidak berobat dengan api, tidak meramal nasib, dan kepada Tuhan mereka berserah
diri."
Nas-nas yang menjelaskan bahwa
tawakal kepada Allah U adalah sifat
orang-orang yang beriman banyak sekali, ia merupakan syarat keimanan
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah I di dalam kitab-Nya,
"Dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman."
(QS.al-Maidah:23)
Dalam firman-Nya yang
diungkapkan oleh Nabi Musa,
"Berkata
Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka bertawakkallah
kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS.Yunus:84)
Sedangkan perasaan sial adalah
sifat dari orang-orang kafir dan musyrik, musuh kerasulan dan para rasul.
[1]
Menghalalkan disini maksudnya membolehkan peperangan dan pertumpahan darah.
Dalam hitungan bulan hijriah terdapat beberapa bulan haram, artinya haram
melakukan peperangan dan pertumpahan darah, dimana setiap peperangan yang
terjadi dibulan-bulan itu dihentikan. –pent.
[2] Hewan sejenis kadal
yang hidup di padang pasir. Tinggal di dalam lubang yang dibuatnya sendiri.
[3] Ruqyah adalah
pengobatan dengan menggunakan bacaan al-Quran atau doa dari hadits Nabi r
atau kalimat yang jelas maknanya dan tidak mengandung kesyirikan. Maksudnya
adalah bersabar dengan sakit yang dideritanya. Sakitnya itu tidak membuatnya
meminta orang lain mengobatinya dengan cara rugyah. Jika ada yang meruqyahnya
tanpa permintaan darinya, sebagian ulama mengatakan dia masih berhak mendapat
keutamaan ini. –pent.
Post a Comment