KHUSYUK SAAT MENUNAIKAN SHALAT
KHUSYUK SAAT MENUNAIKAN SHALAT
Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam kepada Rasulullah saw, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah, Yang Maha Esa dan tiada
sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Wa
Ba’du:
Allah
swt berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
salatnya”. Al-Mu’minun: 1-2
Setelah
Allah menyebutkan sebagian sifat-sifat mereka, kamudian Dia menyebtukan balasan
mereka:
أُوْلَئِكَ هُمُ
الْوَارِثُونَ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus.
Mereka kekal di dalamnya. QS. Al-Mu’minun: 9-10
Al-Hasanul
Bashri rahimhullah berkata tentang firman Allah swt:
(الَّذِينَ
هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ) (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya”.
Dia
berkata: Mereka khusyu’ di dalam hati mereka, maka mereka menundukkan pandangan
mereka dan bersikap merendah”.[1]
Ibnul
Qoyyim berkata: Allah menggantungkan kemenangan orang-orang yang shalat dengan
kekhusyu’an mereka dalam menjalankan ibadah shalat, maka hal ini menunjukkan
bahwa orang yang tidak khusyu’ dalam menjalankan ibadah shalat maka dia tidak termasuk
orang yang beruntung dan seandainya dia mengharapkan pahalanya niscaya dirinya
teramsuk orang-orang yang beruntung”.[2]
Makna
khusyu’ adalah ketundukan, kelembutan dan ketenangan hati. Dan apabila hati
merasakan kekhusyu’an tersebut maka anggota badanpun mengikutinya. Sebab
angaota badan ini mengikuti perintah hati.
Dari
Nu’man bin Basyir ra bahwa Nabi saw bersabda: Ketahuilah sesungguhnya di dalam
badan ini terdapat segumpal daging yang apabila dia baik maka baiklah seluruh
jasad dan apabila rusak maka rusaklah seluruh bagaian jasad, ketahuilah bahwa
itulah hati”.[3]
Oleh
karena itulah Nabi saw berkata di dalam shalat beliau: Pendengaran,
pengelihatan, otak, tulang dan uratku khusyu’ kepadaku”.[4]
Dari
Auf bin Malik ra berkata: Pada saat kami duduk-duduk di sisi Nabi sawpada suatu
hari kemudian beliau memandang ke langit dan bersabda: Inilah waktu diangaktnya
ilmu”, lalu seorang dari kaum Anshor bernama: Ziad bin Labid berkata kepadanya:
Apakah ilmu itu akan ternagkat padahal kami di tengah-tengah kita ada AlQur’an
dan kami telah mengajarkannya kepada anak-anak kita dan istri-istri kita wahai
Rasulullah?. Rasulullah saw bersabda: “Aku memperkirakan engkau sebagai
penduduk kota Madinah yang paling paham terhadap agama”. Kemudian beliau
menyebut kesesatan dua ahli kitab padahal mereka memiliki kitab Allah Azza Wa
Jalla. Lalu Jubair bin Nufair bertemu dengan Syaddad bin Aus di mushalla lalu
memberitahukn hadits ini dari riwayat Auf bin Malik, lalu dia berkata: Sungguh
Auf benar-benar jujur”. Kemudian dia bertanya kembali: Apakah engkau mengetahui
bagaimanakah ilmu itu terangkat?: Dia menjawab: Aku tidak mengetahui. Dia
menjawab: yaitu dengan kepergian wadah-wadahnya. Lalu bertanya kemballi apakah
engkau mengetahui ilmu apakah yang paling pertama terangakat?. Dia melnajutkan:
Berkata: Aku tidak mengetahui. Dia menjawab: Kekhusyu’an, sehingga hamper saja
engkau tidak melihat seorangpun yang khusyu’”.[5]
Apabila seseorang yang menjalankan
shalat memasuki mesjid maka mulailah
bisikan-bisikan, pikiran-pikiran dan kesibukan dengna perkara dunia
merasuki akal fikrannya dan dia tidak menyadari dirinya dalam beribadah kecuali
setelah imam selesai dengan shalatnya, maka apda saat itulah dia merugi dengan
shalatnya yang tidak dikerjakan secara khusyu’ dan tidak pula merasakan
manisnya beribadah, dia hanya gerakan-gerakan yang komat-kamit mulut sama
seperti jasad yang hampa dari ruh.
Ibnul Qoyyim raohimahullah berkata:
Shalat tanpa kekhusyu’an dan kehadiran hati sama dengan jasad yang mati tanpa
ruh, apakah seorang hamba tidak malu jika dia menghadiahkan kepada orang lain
sosok tubuh yang telah membangkaia atau seorang budak wanita yang telah mati?
Aku tidak mengira bahwa hadiah ini akan memberikan nilai penghargaan bagi hamba
dari orang yang ditujunya baik raja atau gubernur atau yang setingkat
dengannya. Seperti inilah shalat yang hampa dari rasa khusyu’ dan kehadiran
hati serta semangat pengbadian kepada Allah, sama seperti hamba atau budak
wanita yang mati yang akan dipersembahkan kepada raja, maka Allah pasti tidak
menerimanya sekalipun perbuatan itu menggugurkan kewajiban hukum duniwai, dan
Allah tidak akan memberikan pahala dengannya, sebab sesungguhnya seorang hamba
tidak akan mendapatkan pahala dari shalatnya kecuali ibadah yang dikerjakan
secar khusyu’.[6]
Sebagian
mereka berkata: Sesungguhnya dua orang lelaki berada dalam suatu shalat namun
keduanya berada dalam perbedaan yang sangat jauh sama seperti jauhnya langit
dan bumi”.[7]
Dari
Ammar bin Yasir ra bahwa Nabi saw bersabda: bahwa sungguh seseorang selesai
menunaikan shalatnya namun dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya itu
kecuali sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau
sepertujuhnya, atau seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya,
setengahnya”.[8]
Kekhusyu’an
dalam shalat akan terjadi pada orang yang mengkhususkan hatinya untuk shalat
tersebut, hatinya tertuju kepadanya bukan kepada yang lain dia lebih
mengutamakannya atas urusan yang lain, pada saat seperti itulah shalat menajdi
penyejuk mata. Dari Anas ra bahwa Nabi saw bersabda: Diberikan kepadaku dari
perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi dan ketentraman ada
pada shalatku”.[9]
Bahkan
jika Nabi saw ditimpa kesusahan oleh sautu perkara maka beliau mendirikan
shalat dan beliau saw bersabda: Bangkitlah wahai Bilal dan tenangkanlah kita
dengan shalat”.[10]
Di
antara kiat-kiat agar seseorang khusyu’ dalam shalatnya adalah:
Pertama:
Sesorang muslim harus menghadirkan keagungan Allah swt pada saat shalatnya
tersebut, dia berdiri di hadapan Penakluk langit dan bumi. Allah swt berfirman:
وَمَا قَدَرُوا
اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا
يُشْرِكُونَ
Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi
seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan. QS. Al-Zumar: 67
Kedua:
Seorang muslim harus melihat ke arah tempat sujudnya dan tidak menoleh kea rah
manapun saat shalatnya.
Dari
ABI Dzar ra bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda: Allah senantiasa menghadap
kepada hambaNya pada saat dirinya mendirikan shalat selama dia tidak menoleh,
maka apabila dia memalingkan wajahnya maka Allah-pun berpaling darinya”.[11]
Ketiga:
Mentadabburi Al-Qur’an dan zikir-zikir yang dibacanya saat shalat. Allah swt
berfirman:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?
QS. Muhammad: 24
Apabila
seorang muslim mentadabburi zikir-zikir pada saat dia ruku’, sujud dan yang
lainnya maka hal itu akan lebih berpengaruh bagi hati dan lebih cepat
mendatangkan kekhusyu’an.
Keempat:
Mengingat kematian saat shalat. Dari Abi Ayyub ra bahwa Nabi saw bersabda:
Apabila engkau mendirikan shalat maka maka shalatlah seperti shalatnya orang
yang akan berpisah”.[12]
Kelima:
Hendaklah seorang muslim mempersiapkan dirinya untuk shalat, jangan sampai dia
shalat dalam keadaan menahan sakit perut atau menahan kencing atau shalat di
hadapan makanan yang terhidang. Nabi saw bersabda: Tidak boleh shalat di
hadapan makanan dan tidak pula boleh shalat saat dia menahan dua hal yang buruk
(menahan kencing dan buang air besar)”.[13]
Dan
hendaklah pula dia menghilangkan segala sesuatu yang bisa menyebabkan dirinya
lalai dari shalatnya seperti hiasan-hiasan, gambar-gambar dan yang sepertinya.
Dari Aisayh ra berkata: Rasulullah saw shalat mengenakan pakian jenis
khomishah yang memiliki garis-garis lalu saat shalat beliau melirik kepada garis-garis
yang ada padanya maka Nabi saw bersabda: Kembalikanlah kain khomisah ini kepada
Abi Jahm bin Hudzaifah dan berikanlah kepadaku kain jenis anbijani sesungguhnya
dia tadi telah melalaikanku dalam sholatku”.[14]
Keenam: Berusaha mengarahkan jiwa agar dia bisa khusyu’ dalam
sholat. Khusyu’ bukan perkara yang mudah maka seseorang mesti harus bersabar
dan berusaha. Allah swt berfirman:
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. QS. Al-Ankabut: 69
Usaha yang terus menerus dan kesungguh-sungguhan akan mempermudah
orang mendapatkan kekhusyu’an.
Ketujuh: Menghadirkan di dalam jiwa pahala yang akan
didapatkan oleh orang yang khusyu’ di dalam shalat. Dari Utsaman ra bahwa Nabi
saw bersabda: Tidaklah seorang muslim yang di datangi oleh shalat yang wajib,
kemudian dia baik dalam melaksanakan wudhu’, menhadirkan kekhusyu’an dan
ruku’ maka dia akan menjadi penghapus
bagi dosa-dosa yang telah dikerjakan sebelumnya, selama dia tidak pernah
berbuat dosa-dosa besar dan hal itu terjadi selama sepanjang masa”.[15]
Dan Nabi saw adalah orang yang paling banyak khusyu’nya di dalam
shalat. Abdullah bin Al-Syikkhir berkata: Aku
melihat Nabi saw mendirikan shalat dan di dalam dada beliau terdengar isak
tangis seperti suara gesekan penggiling tepung karena menangis”.[16]
Dan Abu Bakr adalah seorang lelaki yang banyak menangis dikala
shalat[17] sehingga dia tidak bisa
memperdengarkan suara bacaannya pada saat sholat mengimami orang. Dan Umar ra,
pada saat dia mengimami orang dalam shalatnya dan membaca surat Yusuf maka isak
tangisnya terdengar sampai pada akhir saf dan dia membaca:
وَتَوَلَّى
عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ
الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata:
"Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih
karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap
anak-anaknya). QS. Yusuf: 84.[18]
Ibnul Qoyyim rahimhullah berkata: Manusia di dalam masalah shlata
terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Pertama: Tingkatan orang
yang zalim terhadap dirinya sendiri dan lalai dengan shalatnya. Dialah orang
yang shalat dengan wudhu’ yang tidak sempurna, shalat tidak pada waktunya, batas-batasnya dan tidak
menyempurnakan rukun-rukunnya.
Kedua: Orng yang semata-mata menjaga waktu, batas-batas shalat dan
rukun-rukunnya yang lahiriyah dan menjaga waudhu’. Namun dia tidak berusaha
melawan bisikan-bisikan maka dia
terhanyut dalam bisikan-bisikan dan pikiran-pikirannya di dalam shalat.
Ketiga: Barangsiapa yang menjaga batas-batas shalat dan
rukun-rukunnya, dan bersungguh-sungguh mengarahkannya jiwanya dalam melawan
bisikan-bisikan dan fikiran-fikiran yang menggoda di dalam shalatnya, maka
dengan hal tersebut sesungguhnya dia telah menyibukkan dirinya dalam menghadapi
musuhnya agar musuhnya itu tidak mencuri shalatnya, maka dengan seperti ini dia
berada dalam sholat dan jihad.
Keempat:Orang yang apabila bangkit menunaikan shalat maka dia
menyempurnakan hak-hak, rukun-rukun dan aturan-atauran shalat, hatinya
dikerahkan untuk menjaga tuntutan-tuntutan shalat, agar dia tidak
menyia-nyiakan sedikitpun dari ibadah shalatnya, bahkan seluruh potensi dan
semangatanya tercurah untuk menyempurnakan penegakan shalat sebagaimana
mestinya, maka dengan ini sungguh hatinya telah terarah pada perkara shalat
dan ubudiyahnya kepada Allah swt.
Kelima: Orang yang bangkit menegakkan shalat dengan cara seperti
di atas, bersamaan dengan itu dia hatinya tertumpah di hadapan Allah Azza Wa
Jalla, dia melihat Allah dan menyadari akan pengawasan Allah, hatinya cinta
kepadaNya dan mengagungkanNya sekan dia melihat Allah, semua bisikan dan
lintasan-lintasan pikirante telah terhapus, telah terangkat dinding antara
dirinya dan TuhanNya, maka orang yang seperti ini di dalam perkara shalat lebih
utama dan lebih agung dari pada jarak yang memisahkan langit dan bumi, orang
yang seperti ini sedang sibuk dengan bermunajat kepada Tuhannya swt di dalam
shalatnya.
Golongan pertama akan disiksa, golongan kedua akan dihisab,
golongan ke tiga menghapuskan keajiban, golongan keempat diberi pahala, dan
golongan ke lima mendekat kepada
Tuhannya, sebab dia termsuk golongan orang yang menjadikan shalat
sebagai perlipur lara bagi hatinya, maka barangsiapa yang hatinya senang dengan
shalatnya di dunia maka dia akan senang dengan kedekatannya kepada Allah pada
hari kiamat kelak, dan dia juga akan senang di dunia, dan barangsiapa yang
hatinya senang dengan Allah maka setiap mata akan senang dengannya namun
barangsiapa yang hatinya tidak senang dengan Allah swt maka jiwanya akan
tercerai berai atas dunia ini dengan berbagai kerugian”.[19]
Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad dan kepada seluruh
keluarga dan shahabatnya.
[1]
Tafsir Ibnu Katsir: 3/238
[2]
Madarijus salikin: 1/526
[3]
Shahih Bukhari: 1/234 nno: 52 dan shahih Muslim: 3/1220 no: 1599
[4]
Bagian dari hadits di dalam shahih Muslim: 1/53 no: 771
[5]
Musnad Imam Ahmad: 6/26-27
[6]
Al-Wabilus Shayyib minal kalimit tahayyib:
halaman: 11
[7]
Madrijus salikin: 1/567
[8]
Sunan Abi Dawud: 1/211 no: 796
[9]
Sunan Al-Nasa’i: 7/61 no: 3939
[10]
Sunan Abu Dawud: 4/297 no: 4986
[11]
Musnad Imam Ahmad: 5/172
[12]
Bagian dari hadits di dalam Musnad Imam Ahmad: 5/412
[13]
Shahih Muslim: 1/393 no: 560
[14]
Shahih Bukhari: 1/141 no: 373 dan shahih Muslim: 1/391 no: 556
[15]
Shahih Muslim: 1/206 no: 228
[16]
Sunan Abu Dawud: 1/238 no: 716
[17]
Shahih Bukhari: 1/236 no: 716
[18]
Shahih Bukhari: 1/236
[19]
AL-Wabilus Shayyib mnial kalimit thayyib, halaman: 34-35
Post a Comment