Musyawarah dalam Islam



Musyawarah dalam Islam


          Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura, Allah berfirman: (Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.) (QS. as Syuura: 38)
          Oleh karena kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah I menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: (Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) (QS. Ali Imran: 159)
          Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu itu Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah pada pendapat mereka, dan ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush'ab dan Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada semua kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak menggembirakan.





Musyawarah Rasulullah r dengan para sahabatnya

 Rasulullah r adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, bermusyawarah dengan mereka di perang uhud, bermusyawarah dengan mereka di perang khandak, beliau mengalah dan mengambil pendapat para pemuda untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani menyampaikan pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak, beliau pernah berniat hendak melakukan perdamaian dengan suku ghatafan dengan imbalan sepertiga hasil buah madinah agar mereka tidak berkomplot dengan Quraisy. Tatkala utusan anshar menolak, belia menerima penolakan mereka dan mengambil pendapat mereka. Di Hudaibiyah Rasulullah r bermusyawarah dengan ummu Salamah ketika para sahabatnya tidak mau bertahallul dari ihram, dimana beliau masuk menemui ummu Salamah, beliau berkata, "manusia telah binasa, aku menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at kepadaku, mereka merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah yang telah mereka persiapkan sebelumnya," kemudian ummu Salamah mengusulkan agar beliau bertahallul dan keluar kepada mereka, dan beliau pun melaksanakan usulannya. Begitu melihat Rasulullah bertahallul, mereka langsung segera berebut mengikuti beliau.
          Rasulullah r telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu umat ini mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.



Musyawarah fleksibel

          Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam melaksanakan tugas kenegaraan harus berkonsultasi dengan para ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan bisa juga ia membentuk majlis syura, yang tugasnya mempelajari, meneliti, dan menyampaikan pendapat dalam hal-hal yang dibolehkan berijtihad oleh syari'at. Ini semua dalam rangka mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah r, dimana ketika orang-orang bijak yang mewakili rakyat di madinah, ketika mereka berkumpul di sekitar beliau dan mereka semua adalah sahabat, Rasulullah bermusyawarah dengan mereka tentang hal-hal yang tidak ada wahyu dan nash, memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbicara dan berbuat dalam urusan keduniaan; karena mereka lebih pengalaman dahal hal ini, dan arti (keduniaan) di sini adalah tidak berkaitan dengan hukum syari'at atau masyarakat, akan tetapi bekaitan dengan pengalaman ilmiah, seperti seni berperang, menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di zaman kita sekarang ini bisa kita namakan, murni urusan keilmuan, dan urusan praktek amaliah, Rasulullah memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini dengan mengatakan: "kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
          Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.

          Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam membuat undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam menghambakan diri padaNya.
          Penjamin utama dalam merealisasikan ini semua adalah kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan hukum Allah, dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, karena ini semua bertentangan dengan akidah tauhid, dan merupakan bahaya yang sangat besar apabila masyarakat sampai kepada pengkultusan ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas, atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang menyerupai syi'ar ibadah, dan menjatuhkan manusia kepada kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, dan ini semua tidak boleh terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh petunjuk al-Qur'an dan hadits.

Perbedaan musyawarah dengan demokrasi
          Islam telah mewajibkan musyawarah sejak lima belas abad yang lalu, dan mewajibkan kepada umat Islam untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka secara pribadi, dalam masyarakat mereka, dan dalam negara mereka, dan musyawarah dalam Islam merupakan prinsip baru bagi kemanusiaan dalam sejarah mereka dahulu dan kini.
          Hal ini karena apa yang dicapai oleh manusia sekarang setelah revolusi berdarah adalah demokrasi dalam system pemerintahan. Jika kita membandingkan antara demokrasi barat yang berlaku sekarang dengan musyawarah dalam Islam, maka kita akan mendapatkan banyak perbedaan antara keduanya, dalam metode, dan tujuan, walaupun keduanya bertemu dalam banyak sisi.
          Di akhir pembahasan tentang musyawah ini saya tidak mendapatkan yang lebih utama daripada memaparkan pendapat seorang politikus dan diplomat yang telah menghabiskan umurnya yang panjang dalam bidang politik di Suria dan kerajaan Saudi Arabia, yaitu DR. Ma'ruf ad Dawalibi. Beliau telah mengalami peperangan politik demokrasi di Suria, pada masa Negara itu menganut system politik bebas, dan parlemen yang dipilih oleh rakyat, beliau sampai pada jabatan pimpinan perdana menteri, dan merupakan salah satu pemimpin partai rakyat di Suria, yang merupakan mayoritas di perlemen.
          Lalu beliau datang ke kerajaan Saudi Arabia setelah terhentinya kehidupan parlemen di Suria untuk memenuhi undangan Raja Faisal bin Abdul Aziz Al Su'ud rahimahullah, untuk bekerja sebagai penasehat di diwan malaki, dan sampai sekarang beliau masih bekerja.
          Beliau telah menerbitkan buku yang berjudul ad daulah wa assulthah fi al Islam, ini adalah penelitian yang disampaikan dalam konfrensi UNESCO di Paris pada tahun 1982M. dimana beliau membahas tentang musyawarah dan demokrasi, menjelaskan perbedaan antara keduanya, dengan judul (musyawarah), berikut ini teks pembicaraannya:
          "Di sini saya hanya menegaskan tentang prinsip musyawarah yang wajib dalam Islam, ia adalah prinsip yang baru bagi kemanusiaan dalam peradabannya dahulu dan sekarang, dimana seluruh yang dicapai oleh filsafat hingga hari ini dalam system pemerintahan adalah mewajibkan memerintah dengan demokrasi, saya mengenalnya sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam prakteknya demokrasi tidak lain hanyalah:
  • mayoritas memimpin minoritas (baik minoritas mau atau tidak)
  • atau minoritas memimpin mayoritas, dalam bentuk lain, yaitu yang dilakukan oleh system sosialis, dan dinamakan juga dengan system sosialis demokratis.
Kedua system ini telah mengenyampingkan kelompok kecil atau besar dari rakyat dalam mengambil keputusan, yaitu kaum minoritas pada umumnya, atau mayoritas dalam system sosialis.
Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam adalah mewajibkan mengambil pendapat semua tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang terkuat dari segi argumentasi setelah dibandingkan antara kedua pendapat, bukan mengambil suara terbanyak.
Dalam bermusyawarah kita tahu sulitnya membuat kaidah memilih pendapat yang kuat, namun ini tidak mustahil jika ditimbang dengan akal sehat, maslahat dan pengalaman, sebagaimana ulama fiqh membuat kaidah ilmiyah untuk memilih pendapat yang kuat. Dengan memilih pendapat yang kuat sesuai dengan kaidah ini maka tidak ada keberpihakan pada salah satu kelompok atas yang lain, akan tetapi mengambil pendapat terkuat secara akal, maslahat dan pengalaman setelah semua pendapat diletakkan pada posisi yang sama tanpa mengabaikan salah satu pendapat.
Prinsip musyawarah ini merupakan prinsip baru dalam system pemerintahan dimana ia menghilangkan semua bentuk penindasan dari pihak mayoritas atas pihak minoritas sebagaimana yang dianut oleh system demokrasi mutlak. Demikian pula ia menghilangkan segala bentuk penindasan pihak minoritas atas pihak mayoritas sebagaimana dalam system sosialis demokratis.
Sebagaimana prinsip musyawarah ini mengangkat semua pendapat orang baik dari pihak minoritas maupun mayoritas kepada derajat yang sama, tanpa memberikan kesan dikesampingkan atau tidak diperdulikan kepada siapapun, sebagaimana yang berlaku pada masa nabi dalam musyawarah yang wajib, kemudian mengambil pendapat terbaik setelah ditimbang-timbang.
Akan tetapi seperti halnya masalah lain, prinsip musyawarah ini memerlukan persiapan pendidikan secara khusus agar musyawarah ini bisa diterima dengan baik, dan persiapan pendidikan untuk menerima prinsip musyawarah ini lebih mudah daripada persiapan pendidikan yang dipaksakan untuk menerima prinsip penindasan kelompok mayoritas atas minoritas, atau prinsip penindasan minoritas atas mayoritas, terutama yang kedua ini biasanya dan sampai sekarang tidak diterapkan kecuali dengan kekuatan dan kekerasan.
Demikian pula prinsip musyawarah ini memerlukan perangkat teknis ilmiah yang sesuai dengan tema musyawarah, dengan membentuk panitia khusus di parlemen misalnya atau lainnya yang diberi tugas untuk mempelajari usulan-usulan yang masuk untuk memilih pendapat yang terbaik, kemudian mengambil keputusan sesuai dengan kaidah-kaidah aturan yang diterima oleh semua pihak dengan penuh kebebasan.

***

Di sini juga dalam masalah (unsure rakyat) dan bangsa dalam Negara modern, sebagian penulis dalam majalah Prancis Beauvoir, mengingkari jika dalam Islam ada pemahaman yang jelas bagi umat, mereka adalah Profesor Iyadh bin Asyuur dari Tunis, dan Prof. William Zartmann dari New York.
Adapun Prof. bin Asyur, ia berkata pada hal. 21 dalam majalah itu:
Pertama: sesungguhnya bangsa dalam Islam tidak mempunyai eksistensi
Kedua: dalam Islam bangsa merupakan khayalan bagi bangsa yang disatukan oleh akidah dalam berbagai masa dan berbagai tempat.
Ketiga: bangsa tidak mengungkapkan kehendaknya dengan langsung, akan tatapi diwakili oleh kaum ningrat yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Adapun Prof. William Zartmann, ia juga berkata pada halaman enam dan setelahnya:
Pertama: bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, karena dalam teori politik Islam tidak ada balai  pertemuan, atau dewan publikasi, atau parlemen.
Kedua: dalam Negara Islam tidak terdapat pemikiran tentang batas Negara, karena Negara Islam datang pertama kali dari gurun sahara… kemudian berkembang menjadi masyarakat madani yang dikelilingi oleh mereka badui yang berpindah-pindah.
Kami akan menjawab itu semua dengan singkat:
Pertama bahwa negera yang didirikan oleh rasul Islam sendiri adalah Negara Yatsrib, dan bahwa bangsa sesuai dengan teks konstitusi Negara ini mempunyai eksistensi yang jelas, karena kelompok-kelompok yang mengakui konstitusi ini dan bergabung dengannya telah disebut dengan namanya masing-masing, semuanya adalah kelompok yang tinggal di sekitar mata airnya, dan mempunyai batas tanah pertanian yang tidak diragukan lagi.
Prof. Ibn Asyuur telah lupa mengabaikan fakta bahwa pada banyak Negara suatu pengertian suatu bangsa ada dua konsep, yang pertama bisa dikatakan "konsep histories" dan yang kedua bisa dikatakan "konsep politik"
a. adapun konsep histories, maka hanya itulah dalam gambarannya yang melampaui batas masa dan tanah, ini seperti bangsa Arab, Turki, Prancis dan Jerman misalnya dalam sejarah. Dan seperti bangsa yang beriman kepada Allah sepanjang sejarah, yaitu pengikut para rasul dan para nabi sejak masa Nabi Ibrahim bapak para nabi hingga masa Muhammad, al-Qur'an menyebutkan mereka: (92.  Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu[971] dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku. ) (QS. al Anbiya': 92)
dan firmannya juga: (Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.) (QS. al Mukminuun: 51, 52)

b. adapun konsep politik, ia terbatas pada kelompok-kelompok dan daerah. Allah telah bekehendak Islam yang pertama mendirikan Negara pertama dalam sejarah sesuai dengan konsep ini (konsep politik) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah di (Negara Madinah Yatsrib), dan tidak menjadikannya terbatas pada satu kelompok dalam akidah; akan tetapi menghimpun di dalamnya antara umat Islam dari kalangan muhajirin dari Mekah dan umat Islam penduduk asli Madinah, sebagaimana juga terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang bersama mereka, dan mereka semua dikatakan: "sesungguhnya mereka adalah satu bangsa" persis seperti Negara modern sekarang. Demikian pula Allah bekehendak bahwa Negara Islam yang baru ini tercatat pertama kali dalam sejarah dalam satu lembar konstitusi yang diakui oleh semua penduduknya, dan inilah yang belum kita dapatkan hal yang sama dalam sejarah.
          Demikian pula perkataan: "sesungguhnya bangsa dalam Islam tidak mengekspresikan dirinya akan tetapi diwakili oleh sekelompok kaum ningrat yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan", ini adalah perkataan yang sangat aneh. Karena:
a.     Mayoritas bangsa-bangsa sekarang tidak mencerminkan dirinya sendiri, akan tetapi melalui perwakilannya, berdasarkan banyak undang-undang yang beragam. Sejak empat belas abad yang lalu Islam tidak bekehendak membatasi aturan tertentu bagi contoh ini dimana pendapat-pendapat terkadang berbeda sesuai dengan kondisi bangsa dan maslahatnya, akan tetapi system syari'at al-Qur'an dalam hal semacam ini memberi kebebasan bagi akal manusia untuk memilih sesuai dengan kebutuhannya yang berkembang.
b.     Islam telah mewajibkan menuntut ilmu kepada semua tanpa ada monopoli, bahkan menjadikan monopoli terhadap ilmu suatu kemungkaran yang ada hukumannya sebagaimana disebutkan dalam hukum-hukum rasul Islam, jika pada suatu masa muncul sekelompok ulama, dan umat manusia mengikuti arahan-arahan mereka dengan keinginan mereka yang bebas, maka mereka tidak bisa dinamakan kaum ningrat, apalagi sama sekali mereka bukan berasal dari kaum ningrat, namun mereka semua berasal dari kelompok miskin yang memimpin umat di hadapan kekuasaan para penguasa.
Di sini cukup dikemukakan satu contoh dari ulama tersebut, yaitu hakim madinah Muhammad bin Umar at Thalhi yang memenangkan perkara atas salah satu khalifah besar abbasiyah Al Manshur al Abbasi di madinah untuk para kuli angkut dan penggembala keledai setelah hakim ini memanggil khalifah melalui surat pangilan kepada para kuli dan khalifah ke majlis pengadilan di halaman masjid, ia mendudukkan kedua belah pihak di hadapannya seperti rakyat biasa dan ia memenangkan perkara untuk para kuli ([1]), tanpa memperdulikan kedudukan khalifah dan kebesarannya di hadapan pengadilan.

Adapun perkataan Prof. William Zartmann "bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, karena dalam teori politik Islam tidak ada balai pertemuan, atau dewan publikasi, atau parlemen." Ini adalah pendapat yang sangat aneh, ia menganggap system-sistem baru yang berbeda-beda dalam cara kepemimpinannya telah merealisasikan keingian suatu bangsa memimpin dirinya sendiri, karena banyak catatan ilmiyah atas majlis pemilihan ini:
  1. dalam majlis-majlis ini dalam system demokrasi kapitalis, kekuasaan hanya dimiliki oleh mayoritas suatu bangsa, dengan demikian kekuasaan dimonopoli oleh kaum ningrat baru yaitu ningrat mayoritas.
  2. Adapun Majlis dalam system sosialis seperti majlis soviet, terkadang mereka menamakannya demokrasi juga, maka kekuasaan di sini seperti diketahui terbatas pada sekelompok minoritas, dengan demikian kekuasaan dimonopoli juga oleh kaum ningrat baru juga yaitu ningrat minoritas.
  3. Berdasarkan catatan-catatan ini atas system-sistem dan majils ini, maka system syari'at al-Qur'an mempunyai pandangan lebih jauh ketika mewajibkan prinsip musyawarah, kemudian menyerahkan bentuk dan teknisnya pada akal umat ini sesuai dengan keperluan mereka yang selalu bekembang, sebagaimana telah kami sebutkan di atas dalam pembahasan masalah musyawarah.
  4. Pada kesempatan ini kami tidak lupa mengingatkan pada perhatian Islam pada pendirian masjid agar menjadi tempat perkumpulan pertama bagi umat Islam sejak pertama kali Rasulullah r sampai ke madinah (Yatsrib) dimana beliau mendirikan Negara Islam di sana, beliau langsung membangun masjid dan menjadikannya sebagai tempat umum untuk mengurusi persoalan umat Islam dalam agama dan dunia mereka, di masjid tersebut mereka bertemu lima kali dalam satu hari untuk mendirikan shalat bagi yang bisa melakukannya, dan satu hari dalam satu minggu yang wajib dilakukan bagi semua.
Masjid ini sekaligus menjadi tempat ibadah, tempat bermusyawarah, menerima para utusan, rumah sakit, rumah pemondokan dimana Rasulullah menerima pendeta nasrani Najran yang bertamu kepada beliau, tempat pengadilan, dan di sana Qadhi memenangkan perkara bagi para kuli angkut atas khalifah al Manshur, bahkan masjid juga menjadi tempat merayakan hari ied… apabila penguasa mengajak bermusyawarah di masjid dengan cara mengumandangkan adzan pada selain waktu shalat, mereka semua tahu bahwa ada persoalan penting, maka mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan segera menuju majlis musyawarah yang tidak hanya terbatas pada satu kelompok, atau orang-orang tertentu, dan mereka semua berhak mengajukan pendapat.
Demikianlah, musyawarah antar warga telah terjadi sejak masa awal, akan tetapi perkembangannya diserahkan pada akal sehat manusia sesuai dengan kondisi mereka dan perkembangan maslahat mereka ([2]).
Ada perbedaan besar dan prinsip antara musyawarah Islam dan demokrasi barat, yang nampak jelas sekali dalam standar ganda yang dilakukan oleh Negara-negara demokrasi barat dan amerika, ketika suatu persoalan berkaitan dengan Negara kecil dari dunia ketiga.
Negara demokrasi ini sangat mengagungkan demokrasi di dalam negaranya, dan mempraktekkannya dengan sangat detail dan disiplin, dalam masalah yang berkaitan dengan kebebasan pendapat, kebebasan memilih, mengawasi pemerintah, dan mengkritik, dan di waktu yang sama kita lihat ia mendukung dan membantu para penguasa dictator di Negara ketiga, yang membunuh kebebasan pendapat dan mengubur kebebasan memilih, dimana penguasa tunggal dalam Negara tersebut selalu menang 99 %, dan tidak membolehkan mengontrol penguasa dan mengkritiknya, siapa yang berani melakukan hal itu maka ia akan dijebloskan ke dalam penjara, dan terkadang ia harus mendekam dalam penjara seumur hidup, ini jika tidak dinaikkan ke tiang gantungan.
Sejak lama Inggris merupakan kerajaan yang kekuasaannya tidak pernah mataharinya tenggelam, dan system kerajaannya adalah system kolonial, yang mencabut hak rakyat dalam kemerdekaan, kemuliaan dan menentukan masa depan, dan pada waktu yang sama ia merupakan pemimpin demokrasi di dunia.
Setelah itu diteruskan oleh Amerika tapi bukan dengan penjajahan, akan tetapi dengan kekuasaan dan arogansi, lalu diikuti oleh anak emasnya Israil, ia membantunya dengan harta dan senjata, dan dengan menggunakan hak veto untuk kemaslahatannya, ia bungkam terhadap malapetaka, penghancuran, pengusiran, dan menyia-nyiakan hak, yang menimpa rakyat Palestina. demikian pula perbuatannya yang tidak manusiawi dan tidak demokratis di Jepang, Vietnam dan Somalia, semua orang tahu.
Jadi standar ganda merupakan karakter politik luar negeri Negara-negara demokrasi barat pada masa sekarang ini.
jika kita lihat pada petunjuk Islam yang merupakan dasar ms dalam Negara Islam, kita akan mendapatkan standar tunggal, yang menjadi pijakan adalah kebenaran dan keadilan antara manusia dengan berbagai jenis warna kulit, ras, bahasa dan agama, walaupun antara umat Islam dan orang-orang yang bersengketa dengan mereka ada permusuhan (Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ) (QS. Shaad: 26). al Maidah: 8)

          Tidak ada akidah atau sistem di muka bumi ini yang menjamin keadilah mutlak bagi musuh yang dibenci seperti agama ini (Islam); karena Islam menyuruh para pemeluknya agar menegakkan keadilan karena Allah, melepasakan diri dari selainNya, dan agar mereka menjadi saksi dengan adil, dan agar kebencian mereka kepada musuh tidak menghalangi mereka berbuat adil kepada mereka.
          keputusan yang adil dalam masalah musuh yang dibenci bukan hanya sekedar wasiat, bukan pula sekedar teori, akan tetapi merupakan kenyataan dalam kehidupan umat Islam pada masa-masa cemerlang. manusia tidak menyaksikan seperti itu sebelumnya maupun sesudahnya, conton-contoh yang dicatat oleh sejarah dalam maslah ini banyak sekali. apakah bertentangan dengan kenyataan jika kita katakana: sesungguhnya masyarakat yang dibangun oleh Islam telah sampai pada tingkat musyawarah dan keadilan yang tidak dicapai oleh masyarakat manapun.
          Musyawarah dalam masyarakat muslim yang melaksanakan hukum yang diturunkan oleh Allah tidak seperti musyawarah dalam masyarakat demokrasi di Negara-negara non muslim, baik itu demokrasi kapitalis yang merupakan (aristokrasi mayoritas) walaupun dengan satu suara, atau demikrasi sosialis yang berupa (aristokrasi minoritas) yang menindas kelompok mayoritas dengan besi dan api.
          Hal itu adalah musyawarah yang dibuat oleh manusia, untuk bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam adalah tukar pendapat antara orang-orang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari ahlul halli wal aqdi,  untuk sampai pada keputusan terbaik dalam menerapkan hukum Allah atas manusia.
          Oleh karena itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, karena ia adalah perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia:
(Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) ((QS. Ali Imran: 156)
(Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; ) ((QS. Asssyuura: 38)
          sedangkan dalam Negara yang menggunakan undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi sikap otoriter dan kezaliman.
          Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah pembatasan Mahar: "Umar salah dan wanita ini benar" ([3]).
dan juga beliau berkata kepada salah seorang yang mengkritiknya: "tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya."([4]).
          Dalam masyarakat muslim musyawarah memperoleh nilai dari petunjuk Islam yang lurus, yang tidak menjadikannya sebagai debat kusir, dan para politikus gadungan, seperti yang terjadi dalam banyak parlemen sekaran, dan majis rakyat, akan tetapi musyawarah diletakkan pada para pemuka masyarakat yang mempunyai pemikiran yang cerdas dan latar belakang pengetahuan yang memadai, sebagaimana dipahami dari sabda nabi r:
Ù„ِÙŠَÙ„ِÙ†ِÙŠ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ Ø£ُولُÙˆ الْØ£َØ­ْÙ„َامِ ÙˆَالنُّÙ‡َÙ‰
«Hendaklah berada di belangkangku dari kalian adalah orang bijaksana dan cerdas (HR. Muslim)
          Nabi memberi arahan agar mengedepankan orang-orang bijak dan cerdas berdiri di belakang beliau di waktu shalat merupakan pencalonan bagi mereka  untuk menjadi anggota musyawarah dan ahlul halli wal aqdi dalam masyarakat muslim. dan jauh sekali bedanya antara musyawarah yang anggotanya terdiri dari para penjahat dan rakya jelata, dan musyawarah yang anggotanya terdiri dari orang-orang baik, mulia dan orang-orang terhormat ([5]).


([1])  Khulashat al madzhab al mukhtashar min siyar al muluk, dinukil dari al madkhal al fiqhi al aam, karangan ustasdz Mushthafa az zarqa, hal 169-201, cet ke v thn. 1957M.
([2])  Ad daulah wa assulthah fi al Islam, oleh Dr. Ma'ruf ad dawalibi: 51-59.
([3])  Ibn al Jauzi: 129, Syarh Ibn Abi al Jadid: 1/61.
([4])  Akhbar Umar, oleh At thanthawi: 267.
([5])  Lihat: wamadhaat al khathir, oleh pengarang: 133-135.

Tidak ada komentar