Fenomena lemah iman
Fenomena lemah iman
Sesungguhnya
penyakit lemah iman memiliki gejala dan tanda-tanda, di antaranya:
1. Terjerumus dalam kemaksiatan dan melakukan perbuatan haram.
Sebagian
orang intens melakukan maksiat. Sebagian lagi hanya melakukan maksiat-maksiat tertentu
saja. Ke-sering-an melakukan maksiat akan merubahnya menjadi gaya hidup,
sehingga hilang pandangan buruk maksiat dari hatinya secara bertahap, yang pada
akhirnya sanggup menampakkan kemaksiatan itu, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits:
كل أمتي معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملاً ثم يصبح
وقد ستره الله فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد
بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عنه ( رواه
البخاري: فتح 10/486)
"Setiap umatku diampuni
dosa-dosanya kecuali yang melakukannya
terang-terangan. Di antara bentuknya; seseorang melakukan maksiat di malam
hari, paginya Allah telah menutupi dosanya, namun dia berkata, 'Wahai Fulan,
tadi malam aku melakukan begini dan begitu.' Padahal dia telah bermalam dengan
dosa yang tertutupi, namun paginya dia sendiri yang menyingkap apa yang telah
Allah tutupi."[1]
2. Merasakan kalbu yang kaku dan keras. Sampai-sampai merasakan hatinya
telah berubah menjadi batu keras yang tak dapat menyerap dan tidak terpengaruh
oleh apapun. Allah -azzawajalla- berfirman:
قال تعالى : â ثُمَّ قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَٱلۡحِجَارَةِ
أَوۡ أَشَدُّ قَسۡوَةٗ á (البقرة :74)
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi." (QS.al-Baqarah:74)
Pemilik
hati yang kaku tidak terpengaruh oleh nasihat-nasihat kematian ataupun melihat
orang mati dan jenazahnya. Bahkan meskipun dia termasuk yang mengusung jenazah
dan menguruk kubur dengan tanah. Langkahnya di antara perkuburan seolah hanya di
antara bebatuan.
3. Tidak dapat sempurna dalam melakukan beribadah.
Pikirannya
selalu melayang-layang saat melaksanakan shalat, membaca al-Quran, membaca doa
maupun ibadah lainnya. Tidak dapat menadaburi dan merenungi makna-makna zikir.
Membacanya sambil lalu dan dengan cara
yang menjemukan jika telah dihafalnya. Sekalipun telah membiasakan diri berdoa
dengan doa-doa tertentu pada waktu yang telah ditentukan oleh sunah, tetap saja
dia tidak dapat khusyuk memahami makna-makna doa tersebut. Allah -subhanahu
wata'âla- berfirman (dalam hadits qudsi):
…
لا يقبل دعاء من قلب غافل (رواه الترمذي
رقم 3479 وهو في السلسة الصحيحة 594)
"...tidak diterima doa dari
hati/kalbu yang lalai lagi lengah." [2]
4. Malas melakukan ketaatan dan ibadah dan cenderung melalaikan. Jika pun
melaksanakan, hanyalah sekadar aktivitas kosong tanpa ruh. Allah -azzawajalla-
mendeskripsikan orang-orang munafik dengan firman-Nya:
قال تعالى : â وَإِذَا
قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ á (النساء :142)
"...dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas..." (QS.an-Nisâ:142)
Termasuk
juga ketidakpedulian akan luputnya musim-musim kebaikan serta waktu-waktu
ibadah. Ini menunjukkan akan tidak adanya perhatian mendapatkan pahala.
Mengakhirkan ibadah haji padahal mampu, enggan berjihad padahal dalam keadaan
lapang dan meninggalkan shalat berjamaah sehingga berhujung pada meninggalkan
shalat Jumat. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
لا يزال قوم يتأخرون عن الصف الأول حتى يخلفهم الله في النار (رواه أبو
داود رقم: 679 وهو في صحيح الترغيب رقم 510)
Si
penderita tidak sadar dengan teguran hatinya sewaktu tertidur saat masuk waktu
shalat wajib, demikian pula ketika terluput melakukan shalat sunah rawatib atau
meninggalkan wirid dari wirid-wiridnya. Dia tidak berhasrat untuk mengganti apa
yang telah terluput itu. Demikianlah, dia menjadi terbiasa melalaikan segala
yang dianggapnya sunah atau wajib kifayah[4],
atau bahkan sama sekali tidak menghadiri shalat 'Id (padahal sebagian ulama
mengatakan wajib melaksanakannya), tidak shalat gerhana, tidak respons untuk
menghadiri resepsi kematian dan menyalatinya. Dia tidak menginginkan pahala dan
tidak merasa butuh. Kontras dengan orang-orang yang telah Allah deskripsikan
dalam firman-Nya:
قال تعالى : â إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا
وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ ٩٠ á (الأنبياء :90)
"...Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah
orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS.al-Anbiyâ`:90)
Di
antara bentuknya yang lain adalah bermalas-malasan dalam melaksanakan ketaatan.
Malas melaksanakan sunah rawatib[5],
shalat malam, bersegera ke masjid, atau ibadah-ibadah lain semisal shalat dhuha.
Jika ibadah-ibadah tersebut saja tidak terbetik dalam pikirannya, apatah lagi
dengan shalat taubah atau shalat istikharah.
5. Tidak lapang dada, hilang selera, terperangkap dalam ego bahkan seolah
ada beban berat yang menghimpit. Akibatnya menjadi cepat emosi atau berkeluh
kesah hanya karena urusan sepele. Merasa tertekan dengan tingkah orang di
sekitarnya dan menjadi tidak toleran. Nabi -shalallahu alaihi wasalam-
mendeskripsikan iman dengan sabdanya:
الإيمان: الصبر والسماحة (السلسلة
الصحيحة رقم 554، 2/86)
"Iman itu kesabaran dan
toleran."[6]
Beliau
mendeskripsikan seorang mukmin dengan:
يألف ويؤلف ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف (السلسلة
الصحيحة رقم 427)
"...beramah-tamah. Tidak ada
kebaikan bagi yang tidak beramah-tamah."[7]
6. Tidak peka/terpengaruh dengan bacaan al-Quran.
Tidak
dengan janji-janji dan ancaman, tidak pula perintah dan larangan, maupun dengan
penggambaran hari kiamat. Mereka yang lemah imannya, berpaling dari mendengar
al-Quran. Jiwanya tidak sanggup konsisten membacanya. Ketika membuka al-Quran,
hampir-hampir menutupnya kembali.
7.
Lalai dari mengingat Allah -azzawajalla- dan berdoa kepada-Nya -subhanahu
wata'âla-. Sehingga berat ketika berzikir. Jika mengangkat tangan untuk
berdoa, begitu cepat diturunkannya lagi kemudian berlalu. Allah mendeskripsikan
orang munafik dalam firman-Nya:
قال تعالى : â وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ١٤٢ á (النساء :142)
"...dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS.an-Nisâ:142)
8. Tidak murka jika kesucian Allah -azzawajalla- dinistai, karena api
cemburu dalam kalbunya telah padam, sehingga tubuhnya tidak mampu melakukan
pengingkaran, tidak pula beramar makruf nahi mungkar. Seumur-umur tidak pernah
melakukan pembelaan terhadap Allah. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- mendeskripsikan
kalbu seperti ini sebagai kalbu yang lemah, dalam hadisnya:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ
عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ
نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ...
"Fitnah (cobaan) dibentangkan
kepada kalbu seperti keset, selembar demi selembar. Bagian manapun dari kalbu
yang menyerapnya akan menjadi titik hitam."
Hingga
menjadi seperti yang dikhabarkan Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا
وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ (رواه
مسلم رقم 144)
"Hitam dengan sedikit bintik
putih, seperti kerucut yang miring tertelungkup, tidak mengetahui kebaikan dan
tidak mengingkari kemungkaran, selain yang diterima oleh hawa nafsunya."[8]
Yang
demikian itu karena telah luntur darinya cinta kebaikan dan benci kemungkaran.
Hal itu yang menguasainya sehingga tidak ada yang mendorongnya untuk mengajak
berbuat baik maupun mencegah kemungkaran. Bahkan ketika mendengar kemungkaran terjadi bisa
jadi malah meridainya, sehingga dia pun mendapat dosa seperti orang yang menyaksikan
namun membiarkannya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-:
إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من شهدها فكرهها - وقال مرة أنكرها -
كمن غاب عنها ومن غاب عنها فرضيها كان كمن شهدها (رواه
أبو داود رقم 4345، وهو في صحيح الجامع 689)
"Jika keburukan dilakukan di bumi dan dia menyaksikan dan membencinya
–dalam riwayat yang lain mengingkarinya- seperti orang yang tidak
hadir. Dan siapa yang tidak menyaksikannya tetapi meridainya maka seperti
menyaksikannya."[9]
Rida
dengan perbuatan maksiat merupakan amal hati/kalbu yang menyisakan dosa seperti
orang yang melihatnya.
9. Senang memamerkan diri, dalam bentuk:
- Senang
berkuasa dan memimpin, tanpa memperdulikan tanggung jawab dan bahayanya. Yang
seperti inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
dengan sabdanya:
إنكم ستحرصون على الإمارة وستكون ندامة يوم القيامة فنعم المرضعة وبئس
الفاطمة (رواه
البخاري رقم 6729)
"Kalian akan tamak pada kekuasaan yang pada hari kiamat
akan menjadi penyesalan. Nikmat permulaannya dan malapetaka pada akhirnya.
Maksud "nikmat
permulaannya" karena perolehan harta, kehormatan dan kenikmatannya.
Sedangkan "malapetaka pada akhirnya" karena terdapat
pembunuhan, pelengseran, dan kepayahan pada hari kiamat."[10]
Nabi -shalallahu alaihi wasalam- pun bersabda:
إن شئتم أنبأتكم عن الإمارة وما هي
أولها ملامة وثانيها ندامة وثالثها عذاب يوم القيامة إلا من عدل (رواه
الطبراني في الكبير 18/72 وهو في صحيح الجامع 1420)
"Jika kalian
ingin, aku dapat menjelaskan apa kekuasaan itu; permulaannya celaan, keduanya
penyesalan, ketiganya siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang adil."[11]
Jika perkaranya
adalah menjalankan kewajiban dan tanggung jawab, di mana tidak ada orang yang
lebih baik darinya, seraya bersungguh-sungguh, saling menasihati dan adil
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf –alaihisalam-, kita katakan
nikmat dan kemuliaan. Akan tetapi pada kebanyakannya adalah keinginan liar
kekuasaan, ingin lebih, menindas para pemilik hak dan memonopoli perintah dan
larangan.
- Senang muncul di majelis-majelis dan memonopoli
pembicaraan, sedang yang lain wajib mendengarnya. Muncul di
majelis-majelis maksudnya mimbar-mimbar. Hal ini telah diperingatkan oleh
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dengan sabdanya:
اتقوا هذه المذابح - يعني المحاريب (رواه
البيهقي 2/439 وهو في صحيح الجامع 120)
"Jauhilah tempat-tempat penyembelihan –maksudnya
mimbar-mimbar."[12]
- Senang jika
orang-orang berdiri menyambutnya, demi memuaskan rasa gila penghormatan pada
jiwanya yang sakit. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الْعِبَادُ قِيَاماً
فَلْيَتَبَوَّأْ بَيْتاً فِى النَّارِ (رواه البخاري
في الأدب المفرد 977 انظر السلة الصحيحة 357)
"Siapa yang senang dihormati dengan cara hamba-hamba Allah
berdiri menyambutnya, maka dia telah menempatkan tempat duduknya di
neraka."[13]
Oleh karena itu, ketika
Muawiah mendatangi Ibnu Zubair dan Ibn Âmir, Ibn Âmir berdiri sedangkan Ibnu
Zubair tetap duduk, Muawiah berkata kepada Ibn Âmir:
"Duduklah,
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
bersabda:
من أحب أن يمثل له الرجال
قياماً فليتبوأ مقعده من النار (رواه أبو داود رقم 5229 والبخاري
في الأدب المفرد 977 وهو في السلسلة الصحيحة 357)
'Siapa yang senang
dihormati dengan cara hamba-hamba Allah berdiri menyambutnya, maka dia telah
menempatkan tempat duduknya di neraka'."[14]
Tipe orang seperti
ini akan marah jika sunah nabi ini diterapkan. Jika masuk suatu majelis, dia
tidak rida kecuali ada salah seorang yang berdiri menyambutnya dan
mendudukkannya, meskipun dia tahu Nabi -shalallahu alaihi wasalam-
melarang hal itu dalam sabdanya:
لا يقيم الرجل الرجل من مجلسه ثم يجلس فيه (رواه
البخاري فتح 11/62)
"Janganlah seseorang itu
membangunkan orang lain dari duduknya kemudian dia duduk di situ." [15]
10. Serakah dan kikir.
Allah
-subhanahu wata'âla- telah memuji kaum Anshar dalam kitab-Nya:
قال تعالى : â وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَة á (الحشر:9)
"...dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan." (QS.al-Hasyr:9)
Dijelaskan
bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang menjauhi keserakahan diri
mereka. Tidak diragukan bahwa lemah iman melahirkan keserakahan. Bahkan
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
لا يجتمع الشح والإيمان في قلب عبد أبدا (رواه
النسائي: المجتبي 6/13 وهو في صحيح الجامع 2678)
"Tidak akan berkumpul
keserakahan dan keimanan dalam hati seorang hamba sama sekali." [16]
Mengenai
bahaya keserakahan dan pengaruhnya terhadap jiwa telah dijelaskan oleh Nabi -shalallahu
alaihi wasalam- dengan sabdanya:
إياكم والشح فإنما هلك من كان قبلكم بالشح أمرهم بالبخل فبخلوا وأمرهم بالقطيعة فقطعوا وأمرهم
بالفجور ففجروا (رواه أبو
داود 2/324 وهو في صحيح
الجامع رقم 2678)
"Jauhilah oleh kalian keserakahan. Sungguh binasanya orang-orang
sebelum kalian karena keserakahan. Ketika (keserakahan) memerintahkan mereka
untuk bakhil, mereka berbuat kekikiran, ketika memerintah untuk memutus
persaudaraan, mereka memutus persaudaraan dan ketika memerintah mereka untuk
berbuat kekejian, mereka melakukannya."[17]
Kebakhilan
pada pemilik iman yang lemah, membuatnya hampir-hampir tidak mengeluarkan
sedikit pun untuk Allah, sekalipun ada yang meminta sedekah dan menyaksikan
sendiri kebutuhan saudaranya muslim yang terkena musibah. Tidak ada yang lebih
tepat tentang mereka ini daripada firman Allah:
قال تعالى : â هَٰٓأَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ تُدۡعَوۡنَ لِتُنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
فَمِنكُم مَّن يَبۡخَلُۖ وَمَن يَبۡخَلۡ فَإِنَّمَا يَبۡخَلُ عَن نَّفۡسِهِۦۚ وَٱللَّهُ
ٱلۡغَنِيُّ وَأَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُۚ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ
ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨ á (محمد :38)
"Ingatlah, kamu adalah
orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Lalu di
antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah
kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Mahakaya, dan kamulah
orang-orang yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan (durhaka)
seperti kamu." (QS.Muhammad:38)
11. Mengatakan apa yang tidak dilakukannya.
Allah
–wata'ala- berfirman:
قال تعالى : â يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣ á (الصف :2، 3)
"Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan." (QS.as-Shaff: 2,3)
Tidak
diragukan kalau ini adalah jenis kemunafikan. Siapa yang perkataannya
menyelisihi perbuatannya, menjadi tercela di sisi Allah dan dibenci oleh
makhluk. Penghuni neraka nantinya akan membeberkan apa-apa yang telah mereka
perintahkan di dunia tetapi tidak melaksanakannya, dan apa yang dilarangnya
tetapi dilakukannya.
12. Gembira dan menginginkan
saudaranya gagal, rugi, terkena musibah dan lenyap kenikmatannya.
Dia
merasa gembira ketika nikmat yang ada pada saudaranya sirna. Karena sesuatu
yang menjadikan saudaranya itu istimewa telah tiada darinya.
13. Hanya melihat sesuatu perkara dari sisi apakah mengandung dosa ataukah
tidak, tanpa melihat lagi apakah hal itu termasuk perkara "makruh"
(dibenci) atau tidak.
Sebagian
orang, jika hendak mengerjakan suatu amal tidak bertanya mana amal-amalan yang baik,
tetapi yang ditanya 'apakah perbuatan
itu dosa atau tidak?', 'haram atau cuma makruh?'. Mental seperti ini dapat menjeratnya
ke dalam syirik "subhat" (kerancuan) dan "makruhat"
(perkara-perkara yang dibenci), sehingga menjerumuskannya pada perkara haram
pada suatu saat. Orang seperti ini tidak mengapa baginya mengerjakan perkara "makruh"
(yang dibenci) atau "musytabih" (meragukan), selama perkaranya bukan
haram. Inilah yang senyatanya dikabarkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi
wasalam- dengan sabdanya:
من وقع في الشبهات وقع في الحرام
كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه .. )الحديث في الصحيحين واللفظ لمسلم
رقم 1599(
"Siapa yang terjerumus pada subhat (meragukan) telah terjerumus pada
yang haram. Seperti penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar
pagar, tidak ayal akan menerobos ke dalamnya..."[18]
Bahkan
sebagian orang jika meminta fatwa dalam suatu perkara dan dikhabarkan bahwa hal
itu haram akan bertanya, 'apakah sangat haram atau tidak?' atau 'seberapa
besar dosanya?'. Yang seperti ini, tidak ada pada dirinya kepedulian untuk
menjauhi kemungkaran dan kejelekan. Bahkan dia siap untuk terjerumus dalam
tahap awal perbuatan haram. Dia menyepelekan dosa-dosa yang dianggap kecil,
sehingga menjadi berani melanggar apa yang Allah haramkan. Hilang sekat antara
dirinya dan kemaksiatan. Karenanya Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
bersabda dalam hadits sahih:
لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
هَبَاءً مَنْثُورًا
"Sungguh aku mengetahui kaum
dari umatku yang datang membawa kebaikan seperti gunung Tuhâmah[19],
namun Allah -azzawajalla- menjadikannya debu yang beterbangan."
Tsauban -radiallahu'anhu- bertanya,
"Wahai
Rasulullah, deskripsikan mereka kepada kami agar kami tidak seperti mereka
tanpa menyadarinya?"
Nabi menjawab,
أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ
اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ
انْتَهَكُوهَا (رواه ابن ماجة
رقم 4245 قال في الزوائد إسناده صحيح ورجاله ثقات وهو في صحيح الجامع 5028(
"Mereka
adalah saudara-saudara kalian dan dari bangsa kalian. Malam mereka sama seperti
malam kalian[20],
akan tetapi jika tengah bersendirian dengan perkara haram mereka
melabraknya."[21]
Engkau
dapatkan mereka terjerumus dalam perkara haram tanpa risih dan ragu. Ini lebih
buruk dari mereka yang terjerumus setelah ragu-ragu dan risih, meskipun
keduanya dalam bahaya, namun keadaan orang yang pertama lebih jelek dari yang kedua.
Macam orang seperti ini menggampangkan dosa karena kelemahan imannya. Dia tidak
melihat bahwa hal itu adalah sesuatu kemungkaran. Karenanya Ibnu Mas'ud -radiallahu'anhu-
menggambarkan perbedaan antara keadaan orang beriman dengan orang munafik dengan:
"Orang beriman melihat dosanya seperti batu di atas gunung
dan takut akan menimpanya. Sedangkan pelaku dosa, melihat dosanya seperti lalat
yang lewat di hidungnya dan menepisnya."[22]
14. Meremehkan kebaikan dan tidak peduli dengan kebaikan-kebaikan kecil.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasalam- telah mengajarkan kita agar tidak seperti
itu. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah- dari Abu Jarî
al-Hajimi, katanya:
"Aku mendatangi Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
dan bertanya:
'Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami adalah kaum badui, ajarkan kami sesuatu yang akan Allah beri
manfaat kepada kami!'".
Nabi bersabda:
لا تحقرن من المعروف شيئاً ولو أن تفرغ من دلوك في إناء المستقي ولو أن تكلم أخاك ووجهك إليه منبسطاً [ رواه أحمد ]
"Janganlah meremehkan kebaikan sekecil apapun, sekalipun
sekedar mengosongkan isi embermu untuk orang yang memerlukan air, dan sekalipun
berbicara dengan saudaramu dengan wajah yang ceria."[23]
Seandainya
ada yang ingin mengambil air dari sumur, sedangkan engkau telah lebih dulu
mengambilnya, maka berikan air itu kepadanya. Amalan seperti ini meskipun
nampaknya sepele, tidak semestinya diremehkan. Demikian pula dengan menemui
saudaramu dengan wajah ceria, membersihkan kotoran dan sampah dari masjid,
walaupun hanya serpihan, semoga saja menjadi sebab pengampunan dosa.
Allah
mensyukuri hamba-Nya dengan amalan seperti itu dan mengampuni dosanya. Bukankah
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
مر رجل بغصن شجرة على ظهر
طريق فقال: والله لأنحين هذا عن المسلمين لا يؤذيهم فأُدخل الجنة [ رواه مسلم ]
"Seseorang lewat dijalan dan
mendapati ranting kayu menghalangi jalan. Dia berkata, 'Demi Allah, aku akan
menyingkirkannya agar tidak menyakiti kaum muslimin lain!' Dia pun dimasukkan
ke dalam surga."[24]
Pada
jiwa yang meremehkan amalan baik yang ringan, ada kejelekan dan keteledoran.
Cukup baginya hukuman atas penghinaannya terhadap kebaikan yang kecil
diharamkan dari keistimewaan agung yang dijelaskan oleh sabda Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-:
من أماط أذى عن طريق المسلمين كتب له حسنة ومن تقبلت له حسنة دخل الجنة (رواه
البخاري في الأدب المفرد رقم 593 وهو في السلسلة الصحيحة 5/387)
"Siapa yang menyingkirkan gangguan dari jalan kaum muslimin,
dicatatkan untuknya satu kebaikan. Siapa yang diterima kebaikannya dia masuk
surga."[25]
Mu'adz
-radiallahu'anhu- berjalan bersama seorang lelaki. Muadz menyingkirkan
batu dari jalan. Lelaki itu bertanya:
"Apa yang kau
lakukan?"
Muadz
berkata: "Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
bersabda:
من رفع حجراً من الطريق كتب له حسنة ومن كانت له حسنة دخل الجنة (المعجم
الكبير للطبراني 20/101، السلسلة الصحيحة 5/387)
"Siapa yang
menyingkirkan batu dari jalan, Allah catatkan untuknya satu kebaikan. Siapa
yang memiliki kebaikan akan masuk surga."[26]
15. Tidak peduli dengan kondisi kaum muslimin, tidak bersimpati dengan doa,
sedekah maupun bantuan lain.
Mati
rasa terhadap penderitaan saudara-saudaranya di belahan bumi yang terbelenggu
musuh, tertindas, teraniaya dan terkena bencana. Cukup baginya keselamatan
dirinya sendiri. Ini adalah dampak lemahnya iman. Seorang mukmin justru
sebaliknya. Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد يألم المؤمن لأهل الإيمان
كما يألم الجسد لما في الرأس (ãÓäÏ
ÃÍãÏ 5/340 æåæ Ýí ÇáÓáÓáÉ ÇáÕÍíÍÉ 1137)
"Sesungguhnya seorang mukmin
bagi ahli iman seperti kepala pada tubuh. Seorang mukmin akan merasa sakit terhadap
(penderitaan) ahli iman seperti sakitnya tubuh ketika merasa ada
gangguan di kepalanya."[27]
16. Memutuskan tali persaudaraan antara orang yang bersaudara.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasalam- bersabda,
ما تواد اثنان في الله عز وجل أو في الإسلام فيفرق بينهما أول ذنب وفي رواية: ففرق بينهما إلا بذنب يحدثه أحدهما
"Tidaklah dua orang yang saling berkasih sayang karena Allah
-azzawajalla- atau dalam islam, kemudian berselisih, melainkan karena dosa yang
pertama kali[28]
dilakukan oleh salah seorang dari keduanya."[29]
Ini
adalah dalil akan "karma" yang disebabkan oleh maksiat. Ia dapat
menyebabkan terlepasnya ikatan persaudaraan dan memutuskannya. Keberutalan yang
terkadang didapati seseorang dari saudaranya dikarenakan keimanan yang menurun,
akibat dari maksiat yang dilakukannya; karena Allah menjatuhkan martabat pelaku
maksiat di hati hamba-hamba-Nya. Dia hidup di antara manusia dengan keadaan
yang buruk, tak bermartabat, sulit keadaan lagi tidak terhormat. Terluput juga
darinya kemuliaan sebagai orang yang beriman serta pembelaan Allah,
sesungguhnya allah hanya membela
orang-orang yang beriman.
17. Tidak memiliki rasa tanggung
jawab untuk mengamalkan agama ini. Tidak berupaya untuk menyebarkan dan berkhidmat
kepada agama ini.
Bertolak
belakang dengan para sahabat Nabi -shalallahu alaihi wasalam- yang
ketika memeluk Islam langsung merasa memiliki tanggung jawab. Lihatlah Tufail
Ibn Amr -radiallahu'anhu-, berapa sering dia mondar-mandir menjelaskan
Islam kepada kabilahnya, menyeru kepada Allah -azzawajalla-?! Dia
bersegera mendakwahi kaumnya. Spontan setelah memeluk Islam dia langsung merasa
harus kembali kepada kaumnya, kembali sebagai seorang dai (juru dakwah) penyeru
kepada Allah -subhanahu wata'âla-.
Namun
sekarang ini kebanyakannya membutuhkan waktu lama antara komitmen beragama
hingga sampai pada tahap dakwah kepada Allah -azzawajalla-.
Para
sahabat Muhammad -shalallahu alaihi wasalam- memahami bahwa konsekuensi
memeluk Islam adalah memusuhi kekafiran, berlepas diri, serta memisahkan diri
dari mereka. Tsumamah Ibn Atsâl -radiallahu'anhu-, pemimpin Yamamah,
ketika tertawan dibawa dan diikat di masjid. Nabi menawarkan kepadanya untuk memeluk
Islam. Allah memberinya cahaya (keimanan) menerima Islam. Setelah memeluk Islam
dia berangkat umrah. Ketika sampai di Mekkah, dia berkata kepada kaum Quraisy:
"Tidak akan sampai kepada kalian sebutir gandum pun dari
Yamamah, sampai Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-
mengizinkannya."[30]
Pemisahan
dirinya dengan kaum kafir dan pemboikotan secara ekonomi terhadap kafir Quraisy
merupakan bentuk upaya yang mungkin dan tersedia untuk berkhidmat dalam dakwah.
Ini terjadi secara langsung sebagai buah keimanan yang mantap sehingga
berdampak pada munculnya perbuatan itu.
18. Cemas dan ketakutan ketika datang musibah atau terjadi masalah.
Engkau
mendapatinya gemetar ketakutan, terganggu keseimbangannya, linglung, egois dan
bingung dengan keadaannya ketika tertimpa bencana dan musibah. Jalan keluar
tertutup dari pandangannya, dikuasai kegundahan, tidak dapat menghadapi
kenyataan dengan stabil dan dengan hati/kalbu
yang kuat. Itu semua dikarenakan lemah iman. Seandainya imannya kuat, tentu dia
akan bertahan. Dia akan dapat menghadapi sebesar dan separah apa pun musibah
dan bencana dengan kuat dan teguh.
19. Banyak berdebat, pamer lagi
keras hati.
Rasulullah
-shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أتوا الجدل ( 5633)
"Tidaklah tersesat suatu kaum
setelah mendapat petunjuk atas apa yang mereka lakukan, melainkan setelah
melakukan perdebatan."[31]
Perdebatan
tanpa dalil dan tanpa tujuan yang benar membuat jauh dari jalan yang lurus.
Berapa banyak perdebatan manusia hari ini yang dilakukan dengan cara yang
batil, berdebat dengan tanpa dalil dan tanpa petunjuk hadits maupun al-Quran.
Cukuplah
untuk dapat meninggalkan bagian tercela ini sabda Rasulullah -shalallahu
alaihi wasalam-:
أنا زعيم ببيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقاً ( 1464)
"Aku adalah pemimpin pada rumah
di dasar surga bagi yang meninggalkan riya
(pamer), sekalipun benar."[32]
20. Cinta dunia, sangat bernafsu dan berhasrat terhadapnya.
Ketergantungan
hatinya kepada dunia sampai kepada tingkatan akan merasa sakit jika ada
kesempatan yang luput darinya, baik dalam bentuk harta, kehormatan, kedudukan
maupun tempat tinggal. Menganggap diri bodoh dan buruk perencanaan hanya karena
tidak bisa mendapat apa yang didapatkan orang lain. Dia merasa sakit dan amat
tertekan jika melihat saudaranya memperoleh apa yang tidak didapatkannya dari
kesempatan dunia. Bahkan terkadang mendengki dan mengharap nikmat itu sirna
dari saudaranya. Ini bertentangan dengan iman, sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
لا يجتمعان في قلب عبد الإيمان والحسد (ÑæÇå
ÃÈæ ÏÇæÏ 5/150 æåæ Ýí ÕÍíÍ ÇáÌÇãÚ 1464)
"Tidaklah berkumpul di dalam
kalbu seorang hamba antara keimanan dan kedengkian."[33]
21. Mengambil ucapan seseorang dan retorika naluriah akal semata dengan
mengesampingkan sisi imaniah. Bahkan hampir-hampir engkau tidak mendapati
dalam pembicaraannya unsur al-Quran, sunah atau perkataan generasi pendahulu
Islam (salaf) -rahimahullah-.
22. Pemanjaan diri yang berlebihan dalam makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan kendaraan.
Engkau
dapati dia begitu konsentrasi dengan kebutuhan tersier (bukan kebutuhan pokok)
dengan perhatian yang berlebihan. Memuaskan diri dan memaksakan diri membeli
pakaian yang mahal, menikmati interior mewah dan menghamburkan harta dan
waktunya untuk kemewahan yang bukan kebutuhan darurat (primer), padahal saudaranya
dari kaum muslimin di sekitarnya ada yang sangat berhajat kepada harta itu. Dia
terhanyut hingga tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan yang dilarang,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Muadz Ibn Jabal -radiallahu'anhu-
ketika diutus oleh Nabi -shalallahu alaihi wasalam- ke Yaman dengan
wasiat:
إياك والتنعيم فإن عباد الله
ليسوا بالمتنعمين (ÑæÇå
ÃÈæ äÚíã Ýí ÇáÍáíÉ 5/155 æåæ Ýí ÇáÓáÓáÉ ÇáÕÍíÍÉ 353 æÚäÏ ÃÍãÏ ÈáÝÙ ÅíÇí: ÇáãÓäÏ
5/243)
"Hindarilah memuaskan diri,
sesungguhnya hamba Allah bukanlah dia yang suka memuas-muaskan diri."[34]
[4]
Fardu
kifayah artinya wajib dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Jika sebagiannya
telah melaksanakan, maka yang lain sudah gugur kewajibannya, seperti pengurusan
jenazah, mempelajari ilmu duniawiah dsb.
[5] Shalat
sunat yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat fardhu yang lima waktu.
[14]
HR.Abu
Dâwud no.5229. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no.977. as-Silsilah
as-Shahihah no.357.
[20] Maksudnya dalam beribadah di malam hari.
[21]
HR. Ibnu Hibban no.4245. Di dalam az-Zawaid disebutkan
sanadnya sahih dan periwayatnya terpercaya. Lihat Shahih al-Jami no.5028.
[22]
HR. al-Bukhari dalam Fathul Bâri XI/102. Lihat Taghliq
at-Ta'lîq V/136 terbitan al-Maktab al-Islami.
[29]
HR.
al-Bukhari dalam al-Âdab al-Mufrod no.401. Ahmad dalam al-Musnad II/68. as-Silsilah
as-Shahihah no.637.
[34]
HR.
Abu Na'îm dalam al-Hilyah V/155. As-Silsilah as-Shahihah no.353. Riwayat Ahmad
dengan lafal 'إياي' [Tidaklah aku]
al-Musnad V/243.
Post a Comment