PRINSIP-PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
PRINSIP-PRINSIP
AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Sesungguhnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah berjalan di atas
prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam I’tiqad, amal maupun
perilakunya, seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang teguh oleh para pendahulu ummat
dari kalangan sahabat, tabi’in dan pengikut mereka yang setia.
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut:
Prinsip pertama:
beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul- rasul-Nya,
Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruknya.
1.
Iman
kepada Allah:
Beriman kepada Allah artinya: berikrar dengan macam-macam tauhid
yang tiga serta beri’tiqad dan mengamalkannya, yaitu: tauhid Rububiyah,
tauhid Uluhiyah, dan tauhid Asma’ dan sifat.
Adapun tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan segala apa yang
dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan; dan
bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyah artinya: mengesakan Allah melalui segala
pekerjaan hamba yang dengan itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah,
apabila memang hal itu disyariatkan oleh-Nya, seperti: berdo’a, takut,
berharap, cinta, penyembelihan, nadzar, isti'anah, istighatsah, minta
perlindungan, shalat, puasa, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja
yang disyariatkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali, maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid Al Asma’ Wash- shifat adalah menetapkan apa-apa
yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas Diri-Nya baik itu berkenaan dengan
nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikannya dari segala cela dan
kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtsil (perumpamaan), tanpa tasybih
(penyerupaan), dan tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian),
dan tanpa takwil; seperti difirmankan Allah :
“Tak ada sesuatu apapun
yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Asy- Syura: 11).
“Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu
dengannya.” (QS.
Al- A’raf: 180).
2.
Iman
kepada para Malaikat-Nya:
Yakni membenarkan adanya para malaikat, dan bahwasanya mereka itu
adalah makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah
menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan
perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah:
“… Bahkan malaikat-malaikat itu adalah makhluk yang dimuliakan,
mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintah-Nya”.
(QS. Al-Anbiyaa: 26-27).
“Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang
memiliki sayap dua, tiga dan empat, Allah menambah para makhluk-Nya apa-apa
yang Dia kehendaki”
( QS. Fathiir: 1).
3.
Iman
kepada Kitab- kitab-Nya:
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala
kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani
bahwasanya yang menurunkan Kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung di antara sekian banyak
kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu; Taurat, Injil, dan Al-Qur’an, dan di
antara kitab agung di atas yang teragung lagi adalah Al-Qur’an yang merupakan
mukjizat yang agung. Allah berfirman:
“ Katakanlah (hai Muhammad):” Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al- Qur’an niscaya mereka tidak akan
mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu-membahu.” ( QS. Al –Israa': 88).
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengimani bahwa Al Qur’an itu adalah
kalam (firman) Allah, dan dia bukanlah
makhluk, baik; huruf maupun maknanya. Berbeda dengan pendapat golongan Jahmiyah
dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk baik
huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asy’ariyah dan yang
menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman Allah) hanyalah maknanya
saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah
kedua pendapat tersrbut adalah batil, berdasarkan firman Allah:
“Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan
kepadamu maka lindungilah ia, sehingga ia sempat mendengar kalam Allah (Al-
Qur’an)". (QS.
At Taubah: 6).
“Mereka itu ingin merubah kalam Allah”. (QS. Al Fath: 15).
Dalam ayat-ayat di atas, tegas dinyatakan bahwa Al Qur’an sebagai
Kalam Allah, bukan kalam yang selainnya.
4. Iman kepada para Rasul:
Yakni membenarkan semua rasul-rasul, baik; yang Allah sebutkan nama
mereka maupun yang tidak, dari yang pertama sampai yang terakhir, dan penutup
para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad r. Artinya pula, beriman kepada para rasul
seluruhnya dan beriman kepada nabi kita secara terperinci, serta mengimani
bahwa beliau adalah penutup para nabi dan para rasul serta tidak ada nabi
sesudahnya.
Maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian
berarti dia telah kafir.
Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan
tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka. Berbeda dengan kaum Yahudi dan
Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka, sehingga mereka
menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukannya sebagai tuhan
(Allah), sebagaimana yang difirmankan Allah:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu anak Allah, dan
orang-orang Nashrani berkata: Isa Al
Masih itu anak Allah.”
(QS. At Taubah: 30).
Sedang orang-orang sufi dan para Ahli filsafat telah bertindak
sebaliknya. Mereka telah merendahkan dan menghinakan hak para rasul, dan lebih
mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis
telah kafir kapada seluruh para Rasul tersebut.
Orang yahudi telah kafir kepada Nabi Isa dan Muhammad r, sedang orang Nashrani telah kafir kepada
nabi Muhammad r , dan orang-orang yang mengimani sebagian dan
mengingkari sebagian (para rasul) maka dia telah mengingkari seluruh Rasul,
Allah telah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan
Rasul-Nya, dengan mengatakan: "kami
beriman kepada yang sebagian dan kami
kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan di antara yang demikian (iman
dan kafir) merekalah orang-orang yang
kafir sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang
menghinakan”. (QS.An-Nisa’:150-151).
Dan juga Allah telah berfirman:
“Kami tidak membeda-bedakan satu
di antara Rasul rasul-Nya.” (QS. Al Baqarah: 285).
5.
Iman
kepada hari kiamat:
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari
hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya; tentang adzab dan nikmat
qubur, hari kebangkitan dari qubur, hari berkumpulnya manusia di padang
mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatan, dan pemberian
buku catatan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, tentang jembatan (shirath),
serta surga atau neraka, di samping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan
amalan shaleh, dan meninggalkan amalan buruk serta bertaubat meninggalkannya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik
dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani tidak
mengimani hal ini dengan keimanan yang benar sesuai dengan tuntunan, walau
mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah:
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: sekali-kali tidaklah
masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani,
demikianlah angan-angan mereka…". (QS. Al Baqarah: 111).
“Dan mereka berkata: kami sekali-kali tidak akan disentuh api
neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja.” (QS.Al Baqarah: 80).
6.
Imam
kepada takdir:
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah
terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya di Lauh Mahfudz;
dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman,
taat, maksiat, itu telah dikehendaki,
ditentukan, dan
diciptakan-Nya, dan bahwasanya Allah itu mencintai ketaatan dan membenci
kamaksiatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak, dan kemampuan
memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menghantar mereka kepada ketaatan
atau kemaksiatan, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah.
Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia
terpaksa dengan pekerjan-pekerjaannya, tidak memiliki pilihan atau kemampuan,
sebaliknya golongan Qadariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki
kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptakan pekerjaannya,
kemauan dan kehendak itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan
firman-Nya:
“Dan Kamu tidak bisa
berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya.” ( QS. At Takwir: 29).
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba
sebagai bantahan terhadap golongan Jabariyah yang ekstrim, bahkan
menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, dalam saat yang sama, juga merupakan
bantahan atas golongan Qadariyah. Dan beriman kepada takdir dapat
menimbulkan sikap sabar saat seorang hamba menghadapi berbagai cobaan dan
menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji, bahkan
dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari
sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip kedua:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah:
bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan, dan keyakinan yang bisa bertambah
dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan, maka iman itu bukan
hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan
keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah
(pengetahuan) dan meyakini tanpa ikrar dan amal. Sebab yang demikian itu
merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman:
“Dan mereka
mengingkarinya karena kadzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati
mereka meyakini kebenarannya.” (QS. Al An’am: 14).
“Karena sebenarnya mereka
bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu menentang ayat-ayat
Allah”. (QS. Al An’aam: 33).
“Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu
kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang
baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal
mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS.
Al Ankabut: 38).
Bukan pula iman itu hanya satu keyakinan dalam hati atau perkataan
dan keyakinan tanpa amal perbuatan, karena yang demikian adalah keimanan
golongan Murjiah, Allah sering kali menyebut amal perbuatan termasuk iman
sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah meraka yang apabila
ia disebut nama Allah bergeter hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah
bertambahlah imannya dan kepada Allah-lah mereka bertawakkal, (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka, merekalah
orang-orang mukmin yang sebenarnya". (QS. Al Anfaal: 2-4).
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian”. (QS. Al Baqarah: 143).
Yaitu: shalatmu dengan menghadap ke baitul Maqdis, maka shalat di
sini dinamakan iman.
Prinsip ketiga:
Dan di antara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah
bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin kecuali apabila
dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa
besar selain kemusyrikan dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai
kafir, misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut)
tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.
Apabila ia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak
Allah. Jika Ia berkehendak Ia akan mengampuninya dan
jika Ia berkehendak Ia akan mengazdabnya, namun si pelaku tidak kekal di
neraka, Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia
mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang di kehendaki-Nya." (QS. An Nisaa’: 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah ini pertengahan antara
Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan
termasuk syirik, dan Murjiah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai
mukmin sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula suatu dosa maksiat tidak
mengurangi iman, sebagaimana tak berguna suatu perbuatan taat dengan adanya
kekafiran.
Prinsip keempat:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah wajib
taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk
berbuat maksiat. Apabila mereka memerintahkan berbuat maksiat di kala itu kita
dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya,
sebagaimana firman Allah :
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlan kepada Rasul serta para pemimpin
di antara kalian ..” (QS. An Nisaa: 59).
Dan sabda Nabi r :
((
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ ))
“Dan aku berwasiat kepada
kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan taat walaupun yang
memimpin kalian seorang budak”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bahwa maksiat kepada seorang pemimpin
yang muslim merupakan maksiat kepada
Rasulullah r, sebagaimana sabdanya:
((
مَنْ يُطِعِ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَى الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ
))
“Barangsiapa yang taat
kepada pemimpin (yang muslim) maka dia taat kepadaku dan barangsiapa yang
maksiat kepada amir maka dia maksiat kepadaku". (HR. Bukhari-Muslim).
Demikian pula Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang keharusan shalat
dan berjihad bersama para pemimpin dan menasehati serta mendoakan mereka untuk
kebaikan dan keistiqamahan.
Prinsip kelima:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah
haramnya memberontak terhadap pimpinan kaum muslimin apabila melakukan hal-hal
yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini
sesuai dengan perintah Rasulullah r tentang wajibnya taat kepada mereka dalam
hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang
jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinam
para imam pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan
kufur, dan mereka memandang amalan tersebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar.
Sedang pada kenyataannya, tindakan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemungkaran
yang besar karena dapat menimbulkan bahaya yang besar, berupa; kericuhan,
keributan, dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip keenam:
Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersihnya hati dan
mulut mereka terhadap para sahabat Rasuly, sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh
Allah Y ketika mengkisahkan sahabat Muhajirin dan
Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka:
“Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka mengatakan: "ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam
hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman; ya Allah, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS.
Al Hasyr: 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah r :
((
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ
مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ ))
“Janganlah kamu
sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku di tangan-Nya,
kalau seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar
gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di
antara mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Bukharidan Muslim).
Berbeda dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan
Rafidhah maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah r adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khatab,
‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhum. Barangsiapa
yang mencela salah satu di antara
mereka, maka dia lebih sesat dari pada keledai karena bertentangan dengan nash
dan ijma’ atas kekhalifahan mereka dalan urutan seperti ini.
Prinsip ketujuh:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah
mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasulullah r dalam sabdanya:
((
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِيْ أَهْلِ بَيْتِيْ ))
“Sesungguhnya aku
mengingatkan kalian dengan ahli baitku"
Sedang yang termasuk ahli bait (keluarga) beliau adalah
istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin. Dan sungguh Allah telah berfirman
tentang mereka setelah menegur mereka:
“Wahai istri-istri Nabi …" (QS. Al Ahzaab: 32).
Kemudian mengarahkan nasihat-nasihat kepada mereka dan menjanjikan
mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait dan mensucikan
kalian sesuci-sucinya". (QS. Al Ahzaab: 33).
Pada dasarnya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi r dan yang dimaksudkan di sini khususnya adalah
yang shaleh di antara mereka. Sedang saudara-saudara dekat yang tidak shaleh,
seperti pamannya, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak. Allah berfirman:
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sungguh celaka dia.” (QS. Al Lahab: 1).
Mereka sekedar ada hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada
Rasul r tanpa keshalehan dalam beragama (Islam) tidak
ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul r bersabda:
((
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا,
يَا عَبَّاسُ عَمَّ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي
عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُـوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ
مِنَ اللهِ شَيْئاً, يَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَلِيْنِيْ مِنْ مَـالِيْ مَا
شِئْتِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا ))
“Hai kaum Quraisy,
belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan
Allah sedikitpun, wahai Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan
manfaat apapun di hadapan Allah. Wahai Shafiah bibi Rasulullah, aku tidak dapat
memberi manfaat apapun di hadapan Allah, wahai Fathimah anak Muhammad, mintalah
dari hartaku semaumu, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan
Allah” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Dan saudara-saudara Rasulullah
r yang shaleh tersebut mempunyai hak atas kita
berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh
berlebih-lebihan. Mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapun
keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau mudharat
selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman:
“Katakanlah (hai
Muhammad) bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemudharatan dan manfaat bagi
kalian." (QS. Al Jin: 21).
“Katakanlah (hai
Muhammad): "Aku tidak memiliki manfaat atau mudharat atas diriku kecuali
apa-apa yang dikehendaki oleh Allah, kalaulah aku mengetahui yang ghaib sungguh
aku akan perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan".
(QS. Al A’raf: 188).
Apabila Rasulullah r saja demikian, maka bagaimana pula yang
lainnya. Jadi apa yang diyakini sebagian orang terhadap kerabat Rasulullah r adalah suatu keyakinan yang bathil.
Prinsip kedelapan:
Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan
adanya karamah para wali, yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui
tangan-tangan sebagian mereka berupa hal-hal yang luar biasa sebagai
penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al
Qur’an dan As Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karamah-karamah tersebut di
antaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari
sesuatu yang diketahuinya.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada
zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karamah, bahkan berlebih-lebihan,
sehingga menganggap hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk karamah, berupa;
jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta.
Perbedaan karamah dan kejadian yang luar biasa lainnya itu jelas.
Karamah adalah kejadian luar biasa yang
diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang shaleh, sedang sihir adalah
keluar-biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang
kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengaruk harta
mereka. Karamah bersumber pada ketaatan, sedang sihir bersumber pada kekafiran
dan kemaksiatan.
Prinsip kesembilan:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah bahwa
dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah r baik
secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para
sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Khulafaurrasyidin
sebagaimana wasiat Rasulullah r dalam sabdanya:
((
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
))
“Berpegang teguhlah kamu
kepada sunnahku, dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan siapapun atas
firman Allah dan sabda Rasulullah r. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab
was Sunnah.
Setelah mengambil dasar Al Qur’an dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah
disepakati ‘ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu
dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As
Sunnah.
Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada
Al Kitab dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika
kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa’: 59).
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman (terpelihara dari
berbuat dosa) seseorang selain Rasulullah r dan mereka tidak berta’assub (fanatik) pada
suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan As Sunnah. Mereka meyakini bahwa
mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Dan tidak boleh berijtihad
sembarangan kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut
ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak
boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan di antara
mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang ta'assub (fanatik) dan
ahli bid’ah. Sungguh mereka tetap mentolerir perbedaan yang wajar, bahkan
mereka tetap saling mencinta, loyal satu sama yang lain; sebagian mereka tetap
shalat di belakang yang lain betapapun ada perbedaan masalah fiqh di antara
mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada
setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.
PENUTUP
Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas,
mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakini.
Di antara sifat-sifat yang agung itu adalah:
1.
Mereka
beramar ma’ruf, nahi mungkar seperti yang diwajibkan syari’at dalam firman
Allah berikut ini:
“Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
beramar ma’ruf dan nahi mungkar dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).
((
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ ))
“Barangsiapa di antara
kamu menyaksikan suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak
mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman". (HR. Muslim: 2/ 22, syarah Nawawi).
Sekali lagi, amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya terhadap apa-apa
yang diwajibkan oleh syari’at, sedang orang-orang Mu’tazilah dalam beramar
ma’ruf dan nahi mungkar tidak mengikuti apa-apa yang diwajibkan oleh syariat,
sehingga mereka berpandangan bahwa amar
ma’ruf dan nahi mungkar adalah tidak mentaati para pemimpin kaum muslimin
apabila mereka melakukan perbuatan maksiat, walaupun belum termasuk perbuatan
kufur. Sedang Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang wajib menasihati mereka dalam
hal kemaksiatannya tanpa harus keluar memberontak mereka.
Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kata dan menghindari
perpecahan serta perselisihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata: "barang
kali hampir tidak dikenal suatu kelompok memberontak terhadap pemilik kekuasaan
kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi daripada terhapusnya kemungkaran
(melalui cara pemberontakan tersebut).
2.
Ahlus
Sunnah Wal Jamaah tetap menjaga tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan
shalat jum’at dan shalat berjamaah sebagai pembeda terhadap kalangan ahli
bid’ah dan orang-orang munafiq yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun
shalat jamaah.
3.
Memberikan
nasehat bagi setiap muslim, bekerja sama dan tolong-menolong dalam kebajikan
dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Muhammad r :
((
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ ))
“Agama itu nasihat; kami
bertanya: untuk siapa? Beliau menjawab: Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan
para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya." ( HR. Muslim: 2/ 36, Syarah Nawawi).
((
المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ))
“Orang mu’min bagi orang
mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama yang lain saling
mengokohkan”. (HR.
Bukhari: 4/ 6026), Muslim: 16/139 syarah Nawawi).
4.
Mereka
tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan dan
bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dan menerimanya sesuai dengan ketentuan
Allah.
5.
Bahwasanya
mereka selalu berakhlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada orang tua,
menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim, sesuai dengan firman
Allah:
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak
yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan yang jauh, teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (QS. An Nisaa: 36).
((
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ))
“Yang paling sempurna
imannya di antara kaum mu’minin adalah yang baik akhlaknya.” (HR. Ahmad: no: 7396, Tirmidzi: 3/ 1162, Abu Daud:
5/ 4682, dan Al Haitsamy, no: 1311,-1926).
Kita memohon kepada Allah Y agar berkenan menjadikan kita semua bagian
dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi
petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat
serta salam terlimpah kepada Nabi
kita Muhammad , keluarganya beserta sahabat-sahabatnya.
Aamin.
Post a Comment