Sahabat Nabi dalam Perspektif Jalaluddin Rakhmat (Kritik Atas Pandangan Jalaluddin Rakhmat)
Sahabat Nabi dalam Perspektif Jalaluddin
Rakhmat
(Kritik Atas Pandangan Jalaluddin Rakhmat)
Sahabat Nabi [1] memiliki
posisi sangat penting dalam Islam. Merekalah generasi yang tumbuh langsung di
bawah naungan tarbiyah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karenanya,
mereka ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan
aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup. Dengan
posisi ini, sahabat menjadi jembatan pada saat Islam diwariskan kapada generasi
berikutnya. Merekalah generasi terbaik dibanding generasi-generasi yang datang
berikutnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah dalam salah satu
sabdanya[2]
yang menegaskan pujian Allah SWT dalam beberapa ayat al-Quran.[3]
Kemuliaan yang disematkan kepada sahabat bukan berarti menempatkan
mereka sebagai sosok yang steril dari salah dan dosa.Sahabat juga manusia,
terkadang ada sebahagian dari mereka yang terjebak dalam kesalahan dan
kemaksiatan.Namun hal tersebut tidak menjatuhkan reputasinya sebagai pribadi
yang baik, jujur dan adil, terutama dalam meriwayatkan sesuatu yang datang dari
Rasulullah. Oleh karenanya, dalam pandangan mainstream Sunni, seluruh sahabat
adalah 'adil (as-shahabah kulluhum 'udul), dalam arti mereka bisa jadi
bersalah dan berdosa, tapi tidak mungkin mereka berdusta atas nama Rasulullah.
Kesepakatan ulama sunni tentang keadilan sahabat ternyata tidak
diamini oleh kaum Mu'tazilah dan Syiah. Bagi kedua kelompok ini, tidak seluruh
sahabat hadir dengan keimanan yang sempurna kepada Allah dan rasul-Nya, di
antara mereka ada yang jatuh dalam lembah dosa dan maksiat. Perbedaan dalam
memandang sahabat ini akan berdampak kepada kedudukan hadits yang diriwayatkan
sahabat itu. Artinya, jika di antara sahabat ada yang tidak berperilaku baik,
masihkan yang bersangkutan bisa dipegang riwayatnya?Mungkin pertanyaan itulah
yang menghinggapi benak sementara kalangan yang menggugat kaidah bahwa seluruh
sahabat adalah 'Adil.
Di antara mereka yang menggugat kaidah tersebut adalah Jalaludin
Rakhmat[4]-salah
seorang tokoh Syiah Indonesia- yang mengungkapkan pandangannya dalam beberapa
karya tulisnya. Baginya, banyak ayat-ayat
al-Qur'an yang turun menegur beberapa perilaku sahabat yang tidak etis.
Bahkan ada ayat-ayat yang turun menjelaskan bentuk hukuman yang harus mereka
terima lantaran maksiat yang mereka lakukan.
Ternyata ada beberapa kalangan akdemisi yang notabenenya beraliran
Sunni juga setuju atau sepakatdengan
pandangan Jalaludin Rakhmat tentang sahabat Nabi. Salah satunya adalah
Fuad Jabali yang mempertanyakan 'Adalah sahabat dalam bukunya
"Shahabat Nabi: Siapa, kemana, dan bagaimana?" atas keberaniannya di
buku tersebut, Jalaludin Rakhmat memuji sang penulis-sebagaimana yang tertera
dalam cover buku-dengan mengatakan: "buku ini merupakan penelitian yang
terbaik yang pernah saya baca. Untuk melakukan seperti itu, orang memerlukan
kecerdasan, ketekunan, dan keberanian. Jabali memasuki wilayah-wilayah
penelitian yang boleh jadi masih tabu buat akademisi Islam…"[5]
Dalam berbagai forum, kang Jalal sebutan akrab Jalaludin Rakhmat yang
juga ketua dewan Syura jema'ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sering diundang
sebagai narasumber untuk mempresentasikan pandangannya tentang sahabat. Dalam
diskusi bulanan di teater utan kayu yang diadakan oleh Jaringan Islam Liberal,
Jalaludin Rakhmat hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang
berjudul:"sahabat Nabi dipuji, dicaci."[6]
Sulit untuk disangkal bahwa pandangan Jalaludin Rakhmat tentang
sahabat Nabi adalah adopsi dari kaum Syiah tentang sahabat. Dan kenyataanya,
tidak sedikit dari kaum Sunni yang terkontaminasi oleh cara pandang Jalaludin
Rakhmat. Dari sini, perlu ada penelitian dan kajian yang serius sekaligus kritis
tentang pandangan Jalaludin Rakhmat tentang sahabat Nabi.
A.
Kritik
Jalaluddin Rakhmat Terhadap Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
a) Terhadap Mu'awiyah
Dalam bukunya,
al-Musthafa, Jalaluddin Rakhmat mengikuti jejak ulamanya yang menuduh Mu'awiyah
Ra. Sebagai seorang yang sering menghujat Nabi SAW, dan ia ingin menghapussemua
hal yang berhubungan dengan Nabi SAW. Berikut penuturan Jalaludiin Rakhmat:
Pada suatu hari, pada akhir pemerintahannya dan
juga akhir hayatnya, Mu'awiyah ditemui penasihatnya Mughirah bin Syu'bah.
Mughirah berkata, "Ya Amirul Mukminin, anda sudah berusia tua. Alangkah
baiknya kalau anda menegakkan kebenaran dan menyebar kebaikan. Sungguh sudah
sampai waktunya. Alangkah baiknya kalau anda memperhatikan saudara anda dari
kalangan Bani Hasyim dan penyambung persaudaraan bersama mereka. Demi Allah
mereka tidak perlu ditakuti." Lalu ia berkata kepada Mughirah, "
Tidak, tidak! Saudaraku dari Bani Taim-Abu Bakar- telah berkuasa dan berbuat
adil. Ia telah lakukan apa yang telah ia lakukan. Demi Allah setelah ia mati ia tidak pernah
disebut-sebut lagi kecuali namanya Abu Bakar. Kemudian saudara dari Bani 'Adi
berkuasa.Ia berkuasa dan berusaha keras selama dua puluh tahun. Demi Allah
setelah ia mati tidak pernah perbuatannya desebut-sebut kecuali namanya Umar.
Kemudian berkuasalah saudara kita Utsman. Kemudian ia berkuasa dengan tidak
seorangpun menandingi nasabnya. Ia
bertindak dengan tindakan yang ia lakukan. Tetapi demi Allah, tidak tertinggal
kenangan tentang apapun yang ia lakukan. Lalu lihatlah saudara Hasyim. Namanya
disebut lima kali sehari- Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Lalu tindakan apa
lagi yang masih kita lakukan? Tidak, demi Allah, sampai mati sekalipun.[7] Pada hari yang lain Mu'awiyah mendengar azan.
Ia berkata, Demi Allah, wahai putra Abdillah. Engkau betul-betul
ambisius.Hatimu belum puas sebelum namamu didampingkan bersama Tuhan Alam
Semesta".[8]Mu'awiyah
ingin menghapus semua hal yang berhubungan dengan Nabi SAW.Dengan kisah-kisah
yang diciptakan oleh para pengikutnya.[9]
Tanggapan
Membaca
kritik-kritik Jalaluddin Rakhmat terhadap sahabat yang diutarakan dalam
bukunya, al-Musthafa, lalu membandingkannya dengan kitab al-Sahahih min
Sirah al-Nabiy al-Adham karya seorang tokoh Syiah, al-Sayyid Ja'far
Murtadla al-Amiliy, akan mendapati banyak kesamaan. Dalam kitab sirah
tersebut, pengarangnya juga mengkritik Mu'awiyah dengan menyetir riwayat yang
sama dengan riwayat yang disitir oleh Jalaluddin Rakhmat. Berikut kutipan
riwayat tersebut (bandingkan dengan tulisan Jalaluddin di atas):
روي أحمد ابن أبي طاهر فى كتاب
"أخبار الملوك" أن معاوية سمع المؤذن يقول : " أشهد أن محمدا رسول
الله " فقال: لله يابن عبد الله, لقد كنت عالي الهمة, ما رضيت لنفسك إلا أن
يقرن اسمك باسم رب العالمين.
Ahmad bin Abi Thahir meriwayatkan dalam kitab
"Akhbar al-Mulluk" bahwa suatu hari Mu'awiyah mendengar seorang
muadzin mengumandangkan : 'Asyhadu anna Muhammaddan Rasulullah', lalu ia
(Mu'awiyah) berkata: wahai putra Abdullah. engkau betul-betul ambisius belum
puas sebelum namamu didampingkan bersama nama Tuhan Alam Semesta".[10]
Menanggapi
riwayat tentang Mu'awiyah yang dilontarkan Jalaluddin Rakhmat dan kitab yang masih
dipertanyakan keabsahannya, cukup dengan mengetengahkan pujian Rasulullah SAW
sendiri terhadap salah seorang penulis wahyu ini (baca: Mu'awiyah) yang
jelas-jelas shahih. Diantara pujian tersebut ialah:
-Do'a Rasulullah SAW
kepada Mu'awiyah:
((اللهم اجعله هاديا مهديا واهد به)) [رواه
الترمذي]
"Ya Allah,
jadikan dia (Mu'awiyah) orang yang memberi petunjuk (kebaikan), orang yang mendapat
petunjuk, dan dengannya orang mendapat petunjuk (HR. Tirmidzi)".[11]
-Do'a Rasulullah SAW yang
lain kepada Mu'awiyah:
((اللهم علم معاوية الكتاب و الحساب وقه العذاب)) [رواه
أحمد]
"Ya Allah
ajarilah Mu'awiyah menulis, hitungan dan lindungilah dia dari siksaan (HR.
Ahmad)".[12]
Tentang keutamaan Mu'awiyah , setidaknya ada dua
kitab yang khusus membahas hal tersebut, yaitu "Min Aqwal al-Munshifin
fi al-Shahaby al-Khalifah Mu'awiyah" karangan Abdul Muhsin bin Hamd
al-Abbad al-Badr dan " Min Fadlail wa Akhbar Mu'awiyah": Dirasah
Haditsiyyah karangan Muhammad Ziyad bin Umar al-Taklah.[13]
Jika kita perhatikan kitab yang dirujuk oleh
Jalaluddin Rakhmat saat melontarkan tuduhan kepada Mu'awiyah yaitu Syarh Nahjul
Balaghah, maka kita patut mempertanyakan keabsahan riwayat tersebut.Sebagaimana
lazim diketahui bahwa kitab Nahjul Balaghah adalah kitab yang amat popular di
kalangan penganut Islam dan penganut Siyah. Isinya terdiri dari ucapan ,dan
surat yang disandarkan kepada saidina Ali bin Abi Thalib Ra. Bagi kaum Syiah,
kedudukan kitab Nahjul Blaghah ini hampir mendindingi Al-Quran bahkan
saudaranya.[14]
Pertanyaannya yang mendasar adalah: Apakah benar isi Nahjul Balaghah
benar-benar dari Ali bin Abi Thalib Ra.?[15]
Bagi mereka yang peduli dalam studi hadits, pasti
tidak asing dengan perkataan Ibnu Mubarak :
[ الإسناد من الدين، ولو
لا الإسناد لقال من شاء ما شاء ]
"Sanad
itu bagian dari agama, kalau tidak ada isnad maka siapapun akan berbicara
semaunya saja"
Kembali ke kitab Nahjul Balaghah. Kitab ini disusun
oleh al-Murtadha Ali bin Husain bin Musa al-Musawi (lahir tahun 355 hijriyah,
meninggal thaun 436 hijriyah). Tentang orang ini dan kitab yang disusunnya,
Imam al-Dzahabi mengatakan:
"Menurutku dia adalah penulis kitab Nahjul
Balaghah, yang dinisbahkan lafaznya kepada Imam Ali Ra. Tanpa sanad.Sebagaimana
mengandung kebatilan dan terselip juga di dalamnya kebenaran. Namun di sana
terdapat tema-tema yang tidak mungkin diucapkan oleh imam Ali bin Abi Thalib
Ra. Lalu , siapa sebenarnya yang menyusun kitab itu? Ada yang mengatakan :
Malah ia (Nahjul Balaghah) disusun oleh saudaranya yang bernama al-Syarif al-Radhi…[16]
b) Terhadap Amru bin Al-'Ash
Masih dalam
bukunya, al-Musthafa, Jalaluddin Rahmat kali ini menunjukkan kebenciannya
kepada sahabat Nabi lain yang dianggap 'setali tiga uang' dengan Mu'awiyah,
yaitu Amru bin al-'Ash. Sebagaimana lazin diketahui bahwa Amru adalah salah
seorang sahabat yang berada di barisan Mu'awiyah ketika peristiwa Tahkim
(perjanjian damai) antara Mu'awiyah dengan Ali bin Abi Thalib. Di mata orang
Syiah, Amru adalah seorang politikus yang licik. Maka, tak ayal lagi, hujatan
dan cercaan kerap menimpanya setelah itu.
Dalam usahanya menebar kebencian terhadap Amru
Jalaluddin Rakhmat- sebagaimana yang biasa dilakukan- mengutip kitab-kitab
Syiah yang menghujat para sahabat. Berikut hujatan Jalaluddin Rakhmat kepada
Amru bin al-'Ash.:
"Marilah
kita perhatikan apa yang telah dilakukan oleh tonggak-tonggak kekuasaan Bani
Umayyah. Salah satu di antaranya adalah Amru bin al-'Ash. Ibnu Abi Hadid
menceritakan kepada kita secara riwayat Amru bin al-'Ash:[17]Amru
adalah seorang di antara yang menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Di Makkah. Ia suka memaki Nabi dan meletakkan batu-batu di jalan-jalan yang
dilewatinya. Nabi sering keluar dari rumahnya di malam hari untuk tawaf di
Ka'bah.Amrumenaburkan bebatuan di jalan supaya Nabi shallallahu alaihi wasallam
tergelincir. Ia juga salah seorang di antara yang mencegat Zainab putri
Rasulullah ketika hijrah ke madinah…Al-Wqidi dan ahli hadits lainnya
meriwayatkan bahwa Amru sering mencemooh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ia ajarkan cemooh itu kepada anak-anak Makkah…Al-Zubair bin Bakkar menyebutkan
dalam kitab al-Mufakharat, dari al-Hasan al-Mujtaba bahwa ia pernah berkata
kepada Ibnu al-'Ash, "Adapun engkau hai anak al-'Ash. Urusan kamu
diperselisihkan.ibumu mengandung kamu dari hasil promiskuitas. Tidak jelas
siapa bapakmu. Kemudian empat orang Quraish berunding di antara mereka dan
ditetapkan sebagai bapak kamu orang yang paling buruk nasabnya dan paling jelek
kedudukannya…[18]
Tanggapan
Menanggapi
tuduhan yang dilontarkan Jalaluddin Rakhmat terhadap Amru, kita patut
menanyakan keabsahan riwayat tersebut. Seandainya riwayat tersebut benar, maka
dengan mudah kita katakana bahwa itu semua merupakan bagian dari masa lalu Amru
bin al-'Ash sebelum masuk Islam. dan setelah masuk Islam, semua kesalahan dan
dosanya telah terhapus. Bukankah al-Islam wal Hijratu yahjubu ma wablahu (Islam
dan hijrah menghapus dosa-dosa seseorang yang sebelumnya/berlalu)? Kata-kata
itulah yang diucapkan Rasulullah SAW keapda Amru beberapa saat setelah dia
masuk Islam dan dibaiat seraya memohon kepada Rasulullah SAW agar dosa-dosanya
yang lalu diampuni. Berikut sekelumit tentang Amru bin al-'Ash:[19]
Dia adalah Amru bin 'Ash bin Wail bin Hasyim bin
Sa'id bin Sahm. Julukannya adalah Abu Abdillah.Ada yang mengatakan julukannya
adalah Abu Muhammad. Ibunya adalah al-Nabighah binti Harmalah Sabiyah dari Bani
Jalan bi 'Atik bin Aslam. Saudaranya yang satu ibu adalah Amru bin Utsatsah
al-'Adawiy dan Uwbah bin Nafi' bin Abd Qois al-Fahriy.
Suatu hari ada seseorang bertanya kepada Amru tentang
ibunya, Amru menjawab: ibuku adalah Salma binti Harmalah, julukannya
al-Nabighah dari Bani 'Atrah yang dulunya adalah seorang budak kemudian dijual
di pasar 'Ukkadz, lalu dibeli al-Fakih bin Mughirah, kemudian debeli Abdullah
bin Jad'an terus pindah tangan ke al-Ash bin Wail, dan lahirlah Amru bin 'Ash.
Dialah Amru bin 'Ash orang yang diutus suku Quraish
ke raja Najasyi supaya menyerahkan kembali kepadanya kaum muslimin yang hijrah
ke sana yang dipimpin Ja'far bin Abi Thalib. Namun raja Najasyi menolak
permintaan Amru seraya berkata: "Wahai Amru, bagaimana anda tidak
menyadari siapa sebebarnya putra pamanmu itu. Demi Allah sesungguhnya dia
(Muhammad) adalah utusan Allah", "Benarkah apa yang kamu
katakana?" sahut Amru. Najasyi kembali menegaskan : "Demi Allah
(benar), percayalah kepadaku". Setelah mendengar penuturan Najasyi
tersebut, Amru langsung pergi menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk
mengikrarkan keislamannya pada perang Khaibar. Dalam riwayat lain dituturkan:
dia (Amru) masuk Islam di hadapan Najasyi, kemudian hijrah ke Nabi shallallahu
alaihi wasallam. Ada yang mengatakan : Amru masuk Islam pada bulan Safar tahun
ke-8 hijriyah, tepatnya enam bulan sebelum Fath Makkah (Pembukaan Kota Makkah).
Sebelum itu, sebenarnya dia sudah punya keinginan kuat untuk berjumpa dengan
Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tepatnya pasca pertemuan dengan Najasyi.
Namun keinginannya tersebut tertunda. Akhirnya dia datang menemui Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersama Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah al-'Abdari.
Mulanya, Khlaid yang masuk Islam, lalu dibaiat, lalu Amru bin 'Ash menyusul
Khalid masuk Islam dan dibaiat secara minta kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam Agar dosa-dosanya yang lalu diampuni. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam Mengatakan kepadanya: "al-Islam wa al-Hijrah yahjubu ma
qablahu (Islam dan Hijrah mengahpus apa-apa (dari dosa) sebelumnya)".
Perlu diketahui, seburuk apapun masa lalu seseorang,
sebanyak apapun bilangan dosanya, selama yang bersangkutan benar-benar taubat,
maka ia bagaikan bayi yang baru saja dilahirkan. Apalagi orang tersebut adalah
seorang sahabat Nabi. Dalam haditsnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Bersabda:
((التائب من الذنب كمن لا ذنب له)) [رواه
ابن ماجه]
"Orang yang
bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak punya dosa.(HR. Ibnu
Majah).[20]
B.
Kritik
Jalaluddin Rakhmat Terhadap Riwayat Hadits
1) Kritik Riwayat Puasa Asyura
Dalam bukunyam
Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat menulis salah satu sub bab dengan judul :
Tarikh Nabi Muhammad SAW. : Kritik Historis, di sini dia mengajak pembaca agar
bersikap kritis saat mempelajari sirah Nabi, dalam arti tidak menerima apa saja
yang dikisahkan oleh buku sejarah. Ada beberapa riwayat yang dianggap 'mapan'
oleh mayoritas kaum muslimin yang ditinjau ulang oleh Jalaluddin
Rakhmat.Diantara riwayat tersebut adalah tradisi puasa Asyura. Berikut kritik
Jalaluddin Rakhmat:
"Pada tanggal 10 Muharram,
banyak Muslim yang saleh melakukan puasa Asyura (Asyura artinya tanggal 10
Muharram).Mereka ingin mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang
berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadits tentang puasa Asyura
dari Shahih Bukhari: "Dari Ibnu Abbas, ketika Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam tiba di Madinah dia melihatorang Yahudi berpuasa pada hari
Asyura. Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya: "Apkah ini?" orang
–orang Yahudi berkata: "Ini hari yang baik. Pada hari inilah Allah
menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa As. Berpuasa pada hari
itu." Kata Nabi SAW.: "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian." Maka Nabipun melakukan puasa dan menyuruh orang melakukannya
juga."Bukhari menyatakan hadits ini sahih.Tetapi merilah kita teliti
dengan ilmu hadits dan kritik historis.Segera kita menemukan beberapa hal yang
janggal.
Pertama, sahabat
yang meriwayatkan peristiwa ini adalah Abdullah Ibnu Abbas.Menurut para penulis
biografi, Ibnu 'Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah.Ia hijrah ke Madinah pada
tahun ketujuh Hijri. Jadi, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam tiba di
Madinah, Ibnu 'Abbas masih di Makkah dan belum menyelesaikan masa balitanya.
Darimana Ibnu
'Abbas mengetahui peristiwa itu? Mungkin dari sahabat Nabi yang lain, tetapi ia
tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia menyembunyikan sumber berita,
sehingga seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa itu. Dalam ilmu hadits,
perilaku seperti itu disebut tadlis (pelakunya disebut Mudallis).
Kedua,
bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu 'Abbas.
Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak
kesampaian. Dia keburu meninggal. Masih menurut muslim, dan juga Ibnu 'Abbas,
dari Nabi shallallahu alaihi wasallam sempat melakukannya setahun sebelum dia
wafat. Bila kita bandingkan riwayat Ibnu 'Abbas ini dengan riwayat-riwayat para
sahabat yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi pertentangan. Menurut
siti Aisyah Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak zaman jahiliyah. Nabi
meninggalkan puasa Aysura setelah turun perintah puasa Ramadhan (Sahih
Bukhari).Menurut Mu'awiyah, Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan
puasa Asyura pada waktu haji wada' (Sahih Bukhari).
Ketiga, Nabi shallallahu
alaihi wasallam menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika dia tiba di
Madinah.Semua ahli sejarah sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi'ul
Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi'ul Awwal? Mungkinkah
orang shalat pada hari Senin?
Keempat, Nabi shallallahu
alaihi wasallam diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melakukan puasa
Asyura.Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru
tradisi Yahudi dan Nashara? "Bedakan dirimu dari orang Yahudi ," kata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.. Begitu seringnya Nabi shallallahu
alaihi wasallam Mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi,
sampai orang Yahudi berkata: "Lelaki ini (maksudnya Muhammad) tidak ingin
membiarkan satupun tradisi kita yang tidak ditentangnya.' (Lihat Sirah
al-Halabiyah, 2:115).
Kelima, bila kita
mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa
Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal sebahagian umat Islam,
berdasarkan riwayat yang otentitas dan validitasinya kita ragukan itu.[21]
Tanggapan
Sebagaimana jalaludin Rahmat mengkritisi hadits di
atas dengan lima poin, maka sanggahan penulis juga tertuju pada lima poin
tersebut.
Pertama, tuduhan
jalaludin Rahmat bahwa Ibnu Abbas dalam riwayat di atas adalah mudallis- karena tidak menyebutkan nama sahabat
dimana dia (Ibnu Abbas) mengmabil hadits
dari sahabat tersebut- berangkat dari kebodohannya bahwa jenis riwayat seperti
ini disebut hadits mursal, tepatnya mursal as-shahabi. Jumhur ulama sepakat
bahwa mursal al-Shahabiyi adalah hujjah (bisa dijadikan sandaran hukum),
setidaknya karena dua hal. Yang pertama dan utama, tidak mungkin sahabat
berdusta atas nama Rasulullah SAW. Kedua, tidak mungkin seluruh sahabat selalu
hadir dalam majelis Rasulullah, pasti diantara mereka ada yang tidak hadir karena
satu dan lain hal.Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan, Rasulullah
SAW.Sendiri sering menyuruh sahabatnya yang hadir (mendengar hadits beliau)
supaya menyampaikannya kepada yang tidak hadir.
Kedua, Jalaludin Rahmat mengklaim bahwa riwayat tentang puasa asyura
ini mutaharribah (berbenturan satu dengan yang lainnya). Maka marilah kita uraikan satu
persatu:
Adapun riwayat Ibnu Abbas- di shahih Muslim- bahwa Nabi bermaksud puasa
pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian (keburu beliau meninggal) adalah benar
(Shahih)[22].
Sedangkan argument Jalaludin Rahmat bahwa ada riwayat Ibnu Abbas yang lain-di
shahih Muslim juga- bahwaNabi pernah puasa Asyura satu tahun sebelum beliau
wafat, maka penulis katakan: mungkin riwayat yang Jalaludin Rahmat maksud
adalah sebagai berikut: " dari AL-Hakam bin al-A'raj berkata: "Saya
mendatangi Ibnu Abbas yang kala itu sedang rebahan dengan jubahnya di dekat
sumur Zamzam. Saya bertanya kepadanya: beritahu kepada saya tentang puasa
Asyura? Dia (Ibnu Abbas) menjawa: ketika saya melihat hilal bulan Muharram,
maka saya mulai menghitung, dan pada hari kesembilan, saya berpuasa. Saya
(Al-Hakam) bertanya: "Apakah demikian Rasulullah mengerjakannya? Ia (Ibnu
Abbas) menjawab: "Iya".[23]
Riawayat yang kedua memberi kesan bahwa Rasulullah pernah puasa Asyura
yang didahului puasa pada tanggal 9 muharram. Sedangkan riwayat yang pertama
bahwa Rasulullah belum sempat puasa Asyura (termasuk sehari sebelumnya) Karen
keburu meninggal.Bagaimana mengkompromikan kedua riwayat ini?
Jawabannya adalah perkataan Ibnu Abbas :" (Demikianlah
Rasulullah mengerjakannya (puasa Asyura yang didahului puasa Sembilan Muharram)" tidak harus dipahami bahwa Rasulullah benar-benar sudah
melakukannya, melainkan lebih merupakan azzam atau niat beliau akan
melakukannya dan memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya. Pendapat ini
diperkuat oleh al-Adzim Abadi yang mengkompromikan dua riwayat di atas dengna
mengatakan:"perkataan Ibnu Abbas "Demikianlah Rasulullah
mengerjakannya", maksudnya adalah –Wallahu 'alam- jika aku (Rasulullah)
hidup sampai tahun depan maka aku akan puasa tangggal sembilan". Jadi, hal
ini merupakan azzam (keinginan) sekaligus pemberitahuan beliau untuk puasa pada
tanggal Sembilan muharram. Sehingga dengan demikian, tidak ada benturan antar
riwayat Ibnu Abbas"[24].
Adapun riwayat yang disodorkan Jalaludin Rahmat, yaitu riwayat Muawiyah
yang mengatakan bahwa puasa Asyura baru dianjurkan Nabi pada waktu hari wada',
sama sekali tidak bisa dibenarkan, Karen atidak sedikitpun redaksi mengatakan
demikian. Muawiyah hanya menyerukan penduduk Madinah, pada saat haji wada'
supaya puasa Asyura. Berikut riwayat Muawiyah tersebut;
((عن مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَى المِنْبَرِ يَقُولُ: يَا أَهْلَ المَدِينَةِ
أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: «هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ
اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ
فَلْيُفْطِرْ)) [رواه
البخاري]
عن مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي
سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَى
المِنْبَرِ يَقُولُ: يَا أَهْلَ المَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ
وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ
فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ»(رواه البخاري)
"Dari
Muawiyah bin Abi Sufyan berkata pada hari Asyura pada tahun haji (saat itu) di
atas mimbar: "wahai penduduk Madinah, dimana ulama kalian? Sesungguhnya
saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: ini
hari Asyura, Allah tidak mewajibkan kepada kalian semua puasa, tapi saya puasa
sekarang .siapa yang mau, boleh berpuasa. Siapa yang tidak mau, boleh berbuka"[25].
Jadi, Muawiyah hanya mengingatkan kembali pada musim haji apa yang
pernah dia dengar dari Rasulullah tentang puasa Arafah. Perlu diketahui bahwa
Rasulullah sudah berpuasa Asyura sejak zaman Jahiliyah-sebagaimana riwayat
Aisyah, tapi setelah turun perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura tidak menjadi
wajib lagi.
Ketiga, adapun tuduhan Jalaludin Rahmat bahwa hadits tentang puasa
Asyura trsebut berbenturan dengan fakta sejarah (karena redaksi hadits member
kesan bahwa ketika Rasulullah datang di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi
sedang berpuasa Asyura, sedangkan sejarah mencatat bahwa beliau tiba di Madinah
pada bulan Rabi'ul Awal), maka bisa dijelaskan sebagai berikut: redaksi hadits
yang menuturkan: "ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau melihat orang
Yahudi berpuasa pada hari Asyura….." bukan berarti bahwa Rasulullah
melihat orang Yahudi berpuasa Asyura di hari-hari atau bulan-bulan bahkan
tahun-tahun pertama setelah beliau di Madinah. Tetapi beliau tiba di Madinah
pada bulan Rabiul Awal, dan menetap sekian lama di Madinah, lalu mendapati
orang Yahudi berpuasa Asyura. Bahkan riwayat yang lain menegaskan, beliau
mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura di tahun terakhir beiau di Madinah.
Buktinya adalah, beliau menyuruh sahabatnya untuk puasa Asyura dan ditambah
satu hari sebelum atau sesudahnya, biar tidak sama dengan Yahudi (yang hanya
puasa tanggal sepuluhnya saja).
Dalam tata cara perpuasa As-Syuro para ulama Ahlussunnah berbeda
pendapat. Apakah puasa dua hari yaitu pada tanggal 9 dan 10, puasa pada tanggal
10 dan 11, atau berpuasa satu hari saja yaitu pada 10 Muharrom atau juga puasa
tiga hari sekalian, pada 9,10 dan 11
Muharrom. Dalam hal ini bukan berarti ulama mengingkari puasa tersebut, akan
tetapi berbeda dalam waktu yang boleh
berpuasa di dalamnya.
Pertama,
Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan
setelahnya.”
Dan pada
riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
“Puasalah pada
hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian
menyerupai orang Yahudi.”
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim
berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.”
Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”
Ibnu Hajar di
dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk
yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah
Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam
Ma’arifus Sunan 5/434
Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan
untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat
Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul
kerancuan dalam menentukan awal bulan.
Kedua,
Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Mayoritas
Hadits menunjukkan cara ini:
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan
berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu
diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum
datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[26]
Dalam riwayat
lain :
“Jika aku
masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari
kesembilan.”[27]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau
untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak
hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari
kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk
menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat,
yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”
“Dari ‘Atha’,
dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal
9 dan 10”.
Ketiga,
berpuasa dua hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.
“Berpuasalah
pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau
sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini
tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
a. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya
buruk.
b. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan
hujjah
c. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf
lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi hadits di
atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya
As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab
berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya
maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang
menunjukkan kebolehan….”
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalah akhir
perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam suka menyerupai ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah,
lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu
Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab
sebagaimana dalam hadits shahih.Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam
hal itu. Maka pertama kali beliau menyerupai ahli kitab dan berkata :”Kami
lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai
menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya
untuk menyelisihi ahli kitab.”
Ar-Rafi’i
berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak
berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″
Keempat,
berpuasa pada 10 Muharram saja.
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3
tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah
puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan
11. Wallahu a’lam.”
Dengan demikian, kita sudah menyanggah keberatan Jalaludin yang
keempat, bahka puasa Asyura sama dengan orang Yahudi, padahal Nabi dalam banyak
kesempatan melarang sahabatnya untuk menyerupai kaum Yahudi.
Kelima, Jalaludin Rahmat menganggap bahwa tradisi puasa Asyura tidak
ditemukan dalam agama Yahudi. Menaggapi pernyataannya kali ini, penulis tidak
habis fikir, sebelumnya ia bilang bahwa, puasa Asyura adalah tradisi Yahudi dan
sebagai muslim, Nabi melarang umatnya menyerupai Yahudi. Kali ini dia bilang
bahwa tidak ada tradisi puasa Asyura dalam ajaran Yahudi.
Penulis katakan pada Jalaludin Rahmat, kalau dia tidak mendapati orang
Yahudi puasa Asyura sekarang, bukan berarti tradisi itu tidak pernah ada
(dulunya). Sama halnya dengan tradisi khitan.Dulu tradisi itu ada, baik di
kalangan Yahudi maupun Nasrani. Tapi, apakah tradisi khitan itu masih dijumpai
dalam ajaran mereka (Yahudi dan Nasrani) sekarang?
2)
Kritik
Riwayat Kekafiran Abu Thalib
Masih dalam buku yang sama (Islam aktual) Jalaludin Rahmat melayangkan
kritikannya terhadap riwayat yang menuturkan kekafiran Abu Thalib. Menurutnya,
riwayat tersebut sarat dengan rekayasa politik. Berkut penuturannya:
"Riwayat lain
yang sangat popular di kalangan kaum muslim dan tampaknya juga hasil rekayasa
politik adalah kisah kekafiran Abu Thalib. Abu Thalib adalah paman dan ayah
asuh Rasulullah.Dia membela Nabi dengan jiwa raganya……musuh Abu Thalib dan
musuh besar Rasulullah waktu itu adalah Abu Sufyan. Sekarang apa yang kita
ketahui tentang kedua tokoh ini? Menakjubkan. Kita menyebut Abu Thalib kafir
dan Abu Sufyan muslim……."
Untuk membuktikan bahwa Abu Thalib itu kafir, ditunjukkan dalam Bukhari
dan Muslim: menjelang wafatnya Nabi menyuruh Abu Thalib mengucapkan "Laa ilaha illlah".
Abu Jahal dan Abdullah bin Umayah memeperingatkan Abu Thalib untuk tetap
berpegang pada agama Abdul Muthalib. Sampai menghembuskan nafasnya yang terakir,
dia tidak mau mengucapkan kalimat tauhid itu…. Nabi ingin memohonkan ampunan
bagi Abu Thalib, tetapi turunlah ayat at-Taubah 113….
"Dengan menggunakan ilmu hadits dan memeriksa rijal (orang-orang
yang meriwayatkan hadits ini), kita akan menemukan hadits ini tidak otentik. Tidak
mungkin memerinci komentar para ahli jarh (kritik rijal) disini.Sebagai contoh saja, salah seorang perawi hadits
ini yang berasal dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah.Disepakati oleh para
ahli Tharikh bahwa Abu Hurairah masuk Islam pada perang Khaibar, pada tahun
ketujuh Hijriah.Abu Tahlib meninggal satu atau dua tahun sebelum hijrah. Di
sini juga ada tadlis.[28]
Tanggapan
Ketika menolak riwayat tentang kekafiran Abu Thalib, Jallaudin Rahmat
dengan enaknya mengatakan bahwa riwayat di atas tidak otentik, tanpa
menunjukkan kepada pembaca siapa perawi yang memalsukan atau membuat riwayat
tersebut.
Selanjutnya Jalaludin Rahmat menuduh sahabat yang meriwayatkan hadits
di atas, yaitu Abu Hurairah sebagai seorang mudallis. Alasannya, Abu Hurairah
masuk Islam pada tahun ketujuh Hijri, sedangkan Abu Thalib meninggal satu atau
dua tahun sebelum hijrah. Artinya, menurut Jalaludin Rahmat, Abu Hurairah tidak
tahu secara langsung detik-detik terakhir meninggalnya Abu Thalib, tapi redaksi
periwayatannya menunjukkkan seolah-olah dia tahu langsung. Kemungkinan besar
dia mendapat riwayat tersebut dari sahabat yang lain, tapi tidak mencantumkan
nama sahabat tersebut.
Jawabannya cukup mudah dan sederhana:
a.
Ada kemungkinan juga bahwa Abu
Hurairah mendapatkan riwayat tersebut dari Rasululllah bukan dari sahabat yang
lain.
b.
Kalaupun Abu
Hurairah mendapatkan riwayat tersebut dari sahabat yang lain, hal tersebut
tidak masalah jika Abu Hurairah tidak mencantumkan nama sahabat tersebut. Itu
yang disebut dengan mursal al-shahabi, dan ulama
sepakat dengan kehujjahan mursal al-sahabi sebagaimana
yang penulis singgung di depan.
3)
Kritik terhadap Hadits Dhahdhah
Dalam bukunya, Al-Musthafa, Jalaludin juga mengingkari hadits yang
menjelaskan bahwa Abu Thalib kelak di akhirat masuk neraka, meski mendapat
keringanan siksaan yaitu diangkat dari luapan api neraka dan ditempatkan di
kedangkalan (dhahdhah) neraka. Berikut redaksi hadits tersebut:
((حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ:
سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ يَقُولُ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا طَالِبٍ
كَانَ يَحُوطُكَ وَيَنْصُرُكَ فَهَلْ نَفَعَهُ ذَلِكَ قَالَ: «نَعَمْ وَجَدْتُهُ
فِي غَمَرَاتٍ مِنَ النَّارِ فَأَخْرَجْتُهُ إِلَى ضَحْضَاحٍ)) [
رواه مسلمٍ ]
Mewartakan
kepada saya (Imam Muslim) Ibnu Umar: mewartakan kepada saya Sufyan, dari Abdul
Malik bin Umar dari Abdullah bin
al-Harits , dia berkata: " Saya mendengar al-Abbas berkata:" Ya
Rasulullah ! Abu Thalib dulu merawatmu
dan menolongmu. Lalu apakah itu ada manfaatnya
baginya? Rasulullah SAW. Bersabda: "Ya,
aku menemukannya berada di luapan neraka, lalu aku mengeluarkannya kedangkalan." (HR. Muslim).
Terhadap hadits di atas, Jalaludin Rahmat menorehkan kritikanya sebagai
berikut:
"Jika kita perhatikan orang-orang yang meriwayatkan hadits
(rijal), hampir semuanya termasuk pendusta atau mudallis atau tidak dikenal.Muslm menerima hadits ini dari Ibnu Abi Umar yang
dinilai para ahli hadits sebagai majhul.Ibnu abi Umar menerimanya dari Sufyan al-Tsauri. Sufyan disebutkan
oleh al-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal
sebagai 'innahu yudallis wayaktubu
min al-kadzabin', ia melakukan tadlis dan meriwayatkan
hadits dari para pendusta. Sufyan al-Tsauri menerimanya dari Abdul Malik Bin
Umair , yang panjang usianya dan buruk hafalannya. Kata Abu Hatim:"tidak
bisa dipercaya hafalanya. Sudah berubah hafalannya.
Tanggapan
Untuk memudahkan pembaca, ada baiknya penulis cantumkan rangkaian sanad
hadits di atas sebagaimana berikut:
Imam muslim-Ibnu abi Umar-Sufyan-Abdul Malik bin Umair-Abdullah bin
al-Harits - al-Abbas.
Jalaluddin Rahamat menuduh Ibnu Abi Umair sebagai perawi majhul (tidak
diketauhi keadaaanya), tanpa menunjukkan referensi.Jelas, hal ini tidak bisa
dibenarkan dalam kajian ilmiah.Mungkin yang dimaksud oleh Jalaludin Rahmat
dengan Ibnu Abi Umar adalah Umar Ibni Abi Umar al-Kala'iy.Kalau perawi iniyang
dimaksud, memang dia termasuk perawi yang majhul.[29]
Tapi Ibnu Umar al-Kala'iy bukan termasuk guru Imam Muslim.
Lalu siapa Ibnu Abi Umar yang ada dalam rangkaian sanad di atas? Dia
adalah Muhammad bin Yahya bin Abi Umar al-Adniy. Diantara murid-muridnya adalah
Imam muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah.
Tentang Ibnu Abi Umar, Ibnu Abi Hatim menuturkan bahwa Ahmad bin Hambal
(menulis) hadits darinya. Ibnu Abi Hatim juga diberitahu ayahnya bahwa Ibnu Abi
Umar adalah seorang yang shaleh.[30]
Perawi selanjutnya adalah Sufyan bin Sa'id al-Tsauri. Dia adalah amirul Mukminin
dalam hadits sebagaimana dituturkan Sya'bah Ibnu Uyainah, Abu 'Ashin Ibnu Ma'in
dan ulama yang lainnya.[31]
Al-Dzahabi-dalam mizan al-I'tidal- menyebutnya:
الحج الثبت متفق عليه مع أنه كان
يدلس عن الضعفاء و لكن له نقد و ذوق ولا عبرة لقول من قال : يدلس و يكتب عن الكذابين
.[32]
Disini Nampak ketidakjujuran Jalaludin Rahmat yang memenggal pernyataan
al-Dzahabi 'seenak perutnya' dengan mengatakan : "Innahu yudallis wa yaktubu min al-Kadzabin".
4)
KritikPengangkatan Abu Bakar sebagai Imam Shalat
Dalam buku yang lain, seperti al-Musthafa, Jalaluddin menyangsikan
riwayat yang menuturkan bahwa Rasulullah menyuruh Abu Bakar Ra. Menjadi imam
shalat pada hari-hari terakhir Rasulullah. Menurutnya, periwayatan seputar ini
sarat dengan kontradiksi. Berkut penuturannya:
1.
Kontradiksi perilaku Rasulullah dalam shalatnya. Di
dalam hadits Bukhari no. 713, tersebut Rasulullah Jalasa'an YasariAbi Bakrin(Rasulullah
duduk disebelah kiri Abu Bakar). Dalam hadits no.683, fa
jalasa Rasulullahi Hidza'a Abi Bakrin(Rasulullah duduk dihadapan Abu Bakar).
Dalam hadits no. 664, Rasulullah duduk disebelah kanan Abu Bakar. Masih dalam
Shahih Bukhari dan hanya di antarai oleh beberapa halaman saja. Ini
kontradiksi, satu Hidza'a (di hadapan), satu 'an
Yasari (di sebelah kiri), dan yang sat lagi 'an Yamini (sebelah
kanan)….
2.
Kontradiksi antara Abu Bakar (yang makmum dan
berdiri) dengan Rasulullah (yang imam dan duduk). (lihat: HR. Bukhari 722).
3.
Kontradiksi dalam menafsirkan peristiwa itu. Apakah
imamnya satu yaitu Abu Bakar, atau dua yaitu Nabi.?...
Tanggapan
Marilah kita uraikan satu persatu hadits-hadits
yang diklaim Jalaluddin Rakhmat dalam hal ini saling kontradiksi:
1.
Hadits no. 713 yang berbunyi " Jalasa 'an Yasari Abi Bakrin" Rasulullah duduk di sisi kiri Abu Bakar, itu sudah sesuai dengan yang
ada di dalam kitab Shahih Bukhari.
Berikut riwayat aslinya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: لَمَّا ثَقُلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ جَاءَ بِلاَلٌ يُوذِنُهُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ
أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ» فَقُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ وَإِنَّهُ مَتَى مَا يَقُمْ
مَقَامَكَ لاَ يُسْمِعُ النَّاسَ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا
بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ» فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ: قُولِي لَهُ: إِنَّ أَبَا
بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ وَإِنَّهُ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يُسْمِعُ النَّاسَ
فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ قَالَ: «إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا
أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ» فَلَمَّا دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ وَجَدَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفْسِهِ خِفَّةً فَقَامَ
يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ وَرِجْلاَهُ يَخُطَّانِ فِي الأَرْضِ حَتَّى دَخَلَ المَسْجِدَ
فَلَمَّا سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ حِسَّهُ ذَهَبَ أَبُو بَكْرٍ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ
إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ، فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي قَائِمًا
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَاعِدًا
يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ مُقْتَدُونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Hadits no. 683
yang berbunyi " Fa jalasa Rasulullah hidza'a Abi Bakrin"
Rasulullah duduk di depan Abu Bakar, itu juga sudah benar, namun sengaja tidak
disempurnakan oleh Jalaluddin Rakhmat sehingga terjemahannya menjadi "di
hadapan". Kata yang seharusnya ada namun dibuangOleh JL adalah
"إلى جنبه")di
samping), padahal kalau kita nukil secara utuh terjemahannya akan menjadi
"Rasulullah duduk di samping Abu Bakar".
Berikut
riwayat aslinya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: «أَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ
بِالنَّاسِ فِي مَرَضِهِ» فَكَانَ
يُصَلِّي بِهِمْ قَالَ عُرْوَةُ: فَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ يَؤُمُّ النَّاسَ
فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ اسْتَأْخَرَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ: «أَنْ كَمَا
أَنْتَ» فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي
بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ، فَكَانَ
أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ "
Hadits no. 644
yang berbunyi "'an Yamini" di
sebelah kanan, adalah lafadz hadits yang ditambah-tambah sendiri oleh JL,
padahal yang tertulis daslam kitab Shahih Bukhari tidaklah seperti itu, yang
tertulis adalah "hatta jalasa ila janbihi"
Rasulullah duduk di sisi Abu Bakar.
Berikut
riwayat aslinya:
لَمَّا
مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ
فِيهِ
[ص:134]
فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ
بِالنَّاسِ» فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي
مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ
فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: «إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا
بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ» فَخَرَجَ
أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ
رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنَ الوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ
فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ
ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ قِيلَ لِلْأَعْمَشِ: وَكَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَبُوبَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَتِهِ
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: بِرَأْسِهِ نَعَمْ رَوَاهُ
أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الأَعْمَشِ بَعْضَهُ وَزَادَ أَبُو مُعَاوِيَةَ
جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي قَائِمًا »
2.
Membaca argument Jalaluddin Rakhmat yang kedua dan
ketiga, nampaknya dia bingung,siapa yang jadi imam? Rasulullah atau Abu
Bakar..?
Sebenarnya kebingungan tersebut bisa
dijawab dengan memperhatikan redaksi hadits-hadits yang di atas. Ringkasnya:
Ketika Rasulullah sakit di hari-hari
terakhirnya, beliau memerintahkan Aisyah supaya meminta Abu Bakar menjadi imam
(mengganti Rasulullah), tapi Aisyah agak kurang setuju lantaran Abu Bakar
adalah orang yang mudah menangis (bila membaca al-Quran). Dikhawatirkan para
makmum tidak mendengar suaranya. Makanya – dalam riwayat lain – Aisyah
mengusulkan sebaiknya yang menjadi imam
Umar bin Khattab. Tapi Rasulullah tetap supaya Abu Bakar saja yang menjadi
imam.Maka majulah Abu Bakar sebagai imam.Ketika Rasulullah agak merasa enak,
beliau bergabung dengan jama'ah (untuk shalat). Merasakan kehadiran Rasulullah
Abu Bakar menggeser posisinya sebagai imam, lalu Rasulullah meneruskan jama'ah
dengan menjadi imam (setelah member isyarat kepada Abu Bakar) sambil duduk,
sedangkan Abu Bakar tetapi berdiri (sebagai makmum). Orang-orang mengikuti
gerakan Abu Bakar (berjama'ah dengan berdiri), sementara Rasulullah menjadi
imam sambil duduk.
Riwayat tentang diperintahnya Abu Bakar menjadi
imam pada hari-hari terakhir Rasulullah dianggap oleh kaum Sunni – bahkan juga
kaum Syiah- sebagai legitimasi keabsahan
kekhalifahan Abu Bakar. Karena dalam urusan agama saja (shalat jama'ah),
Rasulullah sudah mempercayai Abu Bakar, apalagi dalam urusan dunia (baca:
politik pemerintahan). Makanya, kaum Syiah berusaha untuk menanamkan
benih-benih keraguan dalam riwayat ini sehingga riwayat tersebut tidak lagi
dipegang oleh umat Islam hingga akhirnya agama ini kurang sempurna. Allahu
Musta’an…
Para ulama sudah menegaskan bahwa perkataan yang
dapat menjatuhkan sifat jujur atau sifat taqwa dan wara’ para sahabat merupakan
perbuatan yang zalim dan fasik bahkan sampai ada yang mengeluarkannya dari
Islam alias kafir.Yang demikian, jika hinaan terhadap
sahabat itu berkaitan dengan agama mereka.Misalnya menganggap mereka atau
sebagian dari mereka telah kafir, murtad atau fasiq. Perbuatan ini, tidak
diragukan lagi dapat membuat pelakunya kafir. Adapun jika celaan tersebut
berkenaan dengan sifat-sifat (akhlak) pribadi para sahabat Nabi, maka
kelancangan ini bisa berbuah dosa besar yang pelakunya wajib diberi hukuman.
Seperti yang diutarakan Al-Qadhi Abu Ya’la
rahimahullah sebagaimana tersebut dalam kitab Hukmu Sabbi as-Shahabah hal.25
menafsirkan maksud dari memaki para sahabat, yakni perkataan yang dapat
menjatuhkan sifat ‘adalah (taqwa dan wara’) para sahabat, bahwa mereka telah
berbuat zalim dan fasiq sepeninggalan Nabi shallallahu alaihi wasallam, serta
mengambil urusan bukan di atas kebenaran.Atau, membicarakan sesuatu (berkenaan
dengan para sahabat) untuk tujuan merendahkan atau menghina.Dan segala yang
dapat dipahami oleh akal manusia (menjurus ke arah demikian), menurut perbedaan
keyakinan mereka. Seperti melaknat, menyematkan (pada mereka) gelar-gelar buruk
dan lain sebagainya.[33]
Adapun perkataan ulama tentang hukum orang yang
menghina sahabat, adalah sebagai berikut:
1. Imam Malik rahimahullah berkata: “Mereka yang membenci para sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang kafir”.(Tafsir
al-Qur’an al-Adzim, Ibnu Katsir V/367-368.)
2. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: Wajib atas pemerintah
memberi hukuman dan siksaan serta tidak boleh memberi maaf baginya (penghina
sahabat). Bahkan harus menegakkan hukum dan memaksanya untuk
bertaubat.(As-Sunnah, Ahmad bin Hambal, hal: 78, Tahqiq: Syaikh al-Albani,
al-Maktab al-Islami, Beirut, th. 1400 H / 1980 M. )
3. al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Menghina salah satu dari mereka
(sahabat) merupakan dosa besar. Menurut kami dan jumhur ulama, bahwa orang yang
melakukan demikian pantas mendapat ta’ziir (hukuman setimpal menurut
kebijaksanaan hakim). (Al-Syifa Bi Ta’riifi Huquq al-Mushtafa, II/653, tahqiq:
Muhammad Amin Qurrah Ali, Muassassah Ulum al-Qur’an, Damaskus.)
4. al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata: Yang merupakan pendapat para
fuqaha (ahli Fiqhi Islam) tentang hukum menghina sahabat: Jika ia menghalalkan
perbuatan tersebut maka ia kafir, namun jika tidak menghalalkan maka ia
fasiq.(Hukmu Sabbi as-Shahabah, Ibnu Taimiyah, hal: 33.)
5. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Ketahuilah, bahwa menghina
sahabat hukumnya haram dan termasuk perbuatan haram yang keji, hukum ini sama
saja apakah terhadap (sahabat) yang terkena fitnah atau selain mereka.(Syarah
Shahih Muslim, an-Nawawi, XVI/93, Daar al-Fikr, Beirut, th. 1401 H / 1981 M.)
6. Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya
al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para
shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum
muslimin.
Dalil-dalil yang mengharamkan menghina para sahabat
Hadits Pertama:
((عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الخدري قال: َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
لَا
تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ
أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ ))
[
رواه مسلمٍ ]
Dari Abu Sa’id ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jangan kalian mencela
seorang-pun dari sahabatku. Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq
sebesar gunung uhud emas, maka itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka
dan tidak pula setengahnya”.[34]
Ibnu Umar radhiallahu
anhuma berkata: “Jangan kalian memaki sahabat-sahabat Muhammad
shallallahu alaihi wasallam, sungguh keberadaan mereka sesaat (di sisi Nabi
shallallahu alaihi wasallam) lebih baik dari pada amal ibadah kalian selama empat
puluh tahun”.[35]
Hadits Kedua:
عن عويم بن ساعدة رضي الله عنه :
(( أَنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اخْتَارَنِي وَاخْتَارَ لِي أَصْحَابًا فَجَعَلَ لِي مِنْهُمْ وُزَرَاءَ
وَأَنْصَارًا فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لا يَقْبَلُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلا عَدْلا )) [ رواه مسلمٍ ]
Dari Uwaim bin Sa’idah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memilih diriku, lalu
memilih untukku para sahabat dan menjadikan mereka sebagai pendamping dan
penolong. Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat
dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak akan menerima
amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah”.[36]
Hadits Ketiga:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
(( اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي
أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي
أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ
آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ
يَأْخُذَهُ )) [رواه
الترميذي]
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berhati-hatilah tentang sahabatku,
jangan kalian jadikan mereka bahan ejekan sepeninggalanku. Siapa yang mencintai mereka, maka dengan cintaku aku mencintainya.Dan
siapa yang membenci mereka maka dengan kebencianku akupun membenci mereka. Siapa
yang menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakiti aku. Siapa yang menyakiti
aku maka ia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah, maka pasti
Ia akan menyiksanya”.[37]
Dan masih banyak lagi
dalil-dalil yang menunjukkan akan haramnya mencela para sahabat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Adapun alasan mengapa menghina para sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta menuduh mereka dengan kekufuran,
kefasikan dan sebagainya bisa membuat pelakunya keluar dari Islam, adalah
sebagai berikut:
Pertama: Perkataan bahwa
para penyampai al-Qur’an dan Sunnah (para sahabat) itu kafir atau fasiq
mengandung konsekwensi keraguan terhadap keduanya. Sebab, celaan pada para
penyampainya pada hakikatnya merupakan celaan pada apa yang mereka sampaikan,
yakni al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Perkataan ini
merupakan pengingkaran terhadap nash al-Qur’an dan as-Sunnah, berupa keterangan
akan keridhaan Allah Ta’ala atas mereka. Padahal, pengetahuan yang bersumber
dari nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang
keutamaan mereka itu sifatnya qath’i. Dan siapa yang mengingkari suatu perkara
yang telah qath’i maka ia telah kafir.
Ketiga: Perbuatan ini menyakiti baginda Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam. Sebab mereka adalah sahabat-sahabat yang memiliki tempat khusus dalam
hati beliau. Menghina seseorang yang khusus baginya tidak diragukan lagi dapat
menyakiti beliau. Dan menyakiti beliau shallallahu alaihi wasallam merupakan
satu kekafiran sebagaimana ditegaskan para ulama.
Akan tetapi, semua ini tidak berarti bahwa Ahlussunnah mengkultuskan dan menganggap para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang suci yang ma’shum dari kesalahan tidak sebagaimana asumsi kaum Syiah akan kema’shuman Ahlul Bait. Para sahabat radhiyallahu anhum dalam pandangan Ahlussunnah adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat kesalahan, baik di saat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ataupun sepeninggal beliau. Namun kesalahan-kesalahan tersebut jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka yang begitu banyak, serta perjuangan mereka melanjutkan risalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., adalah ibarat butir-butir pasir pada padang sahara yang luas atau tetes-tetes air di samudra membentang.
Akan tetapi, semua ini tidak berarti bahwa Ahlussunnah mengkultuskan dan menganggap para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang suci yang ma’shum dari kesalahan tidak sebagaimana asumsi kaum Syiah akan kema’shuman Ahlul Bait. Para sahabat radhiyallahu anhum dalam pandangan Ahlussunnah adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat kesalahan, baik di saat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ataupun sepeninggal beliau. Namun kesalahan-kesalahan tersebut jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka yang begitu banyak, serta perjuangan mereka melanjutkan risalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., adalah ibarat butir-butir pasir pada padang sahara yang luas atau tetes-tetes air di samudra membentang.
Imam at-Thahawi berkata dalam matan kitab
Aqidah-nya yang merupakan salah satu kitab induk Ahlussunnah:“Dan kami cinta
kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. namun kami tidak berlebih-lebihan dalam
cinta kepada seorangpun di antara mereka dan juga tidak berlepas diri dari seorangpun
dari mereka. Kami benci kepada yang membenci mereka atau menyebut mereka dengan
selain kebaikan, maka kami tidak menyebut-nyebut mereka kecuali dengan
kebaikan.Cinta kepada mereka adalah bagian dari agama, iman dan ihsan,
sedangkan benci mereka adalah kekufuran, nifaq dan tindakan berlebih-lebihan”.
C.
PENUTUP
Berbicara tentang sahabat Nabi seakan
menyelami lautan kemuliaan yang tak bertepi. Atas perjuangan dan jasa mereka,
agama Islam ini sampai kepada generasi berikutnya hingga kini dan sampai kiamat
nanti. Merekalah sebaik-baik generasi yang banyak dipuji dalam kalam Ilahi
maupun sunnah Nabi. Oleh karenanya, ulama Sunni sepakat bahwa semua sahabat
adalah 'Adil (ash shahabah
kulluhum 'udul), dalam arti mereka tidak akan pernah dengan
sengaja berdusta atas nama Nabi lantaran kekuatan iman dan takwa yang ada dalam
diri mereka. Hal ini bukan berarti mereka ma'shum (terjaga) dari salah dan dosa, karena yang terjaga dari itu semua
hanya Nabi.
Kendati demikian, terdapat beberapa
kelompok Islam yang berbeda pandangan dengan mainstream mayoritas ulama (Sunni)
tentang sahabat.Di antara kelompok tersebut adalah Syiah. Dalam konteks
keindonesiaaan, Jalaludin Rakhmat dianggap dianggap tokoh yang paling getol
menyuarakan ajaran-ajaran Syiah, termasuk tentang cara pandang terhadap
sahabat.
Setelah menelaah pandangan Jalaludin
Rakhmat tentang sahabat, penulis mendapati beberapa kerancuan, baik dari
kerangka berfikirnya maupun metodologi yang digunakannya.Jalaludin Rahkmat
menyamakan konsep 'adalah sahabah dengan 'Ishmah as-sahabah. Artinya, sahabat-menurutnya- bisa dikatakan 'adil, jika mereka
terjaga (ma'shum) dari berbuat salah dan dosa. Jika kerangka fikir semacam ini
yang diterapkan, maka bisa dipastikan tidak ada satu sahabat pun yang bisa
dikatakan 'adil, Karena sahabat adalah manusia yang tidak pernah lepas dari
salah dan dosa, terlepas dari besar
kecilnya, termasuk sahabat yang diagungkannya, Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhahu.
Adapun ayat-ayat yang turun berkaitan
dengan sahabat, baik berupa teguran maupun sangsi kepada mereka, harus difahami
bahwa itu semua adalah bagian dari pendidikan Rasulullah kepada mereka ntuk
dijadikan pelajaran bagi mereka dan generasi sesudahnya. Dan faktanya, tidak
ada satupun dari para sahabat yang membangkang atau yang mengulangi
kesalahannya setelah menerima teguran, arahan dan nasihat dari Rasulullah.
Sebagai mana yang diabadikan dalam al-Quran. (An-Nisa:64-65)
Kembali ke Jalaluddin Rakhmat. Karena
berangkat dari kerangka berfikir yang salah, maka metodologi yang ditempuhnya jauh
dari kata ilmiah. Dalil-dalil- baik dari al-Quran maupun hadits- yang mendukung
asumsi awalnya, akan dicomot dan digunakannya, meskipun itu sepotong-potong atau
lemah sekalipun. Sebaliknya jika ada dalil-dalil yang nyata dan benar, tapi
karena berbenturan dengan asumsi awalnya, maka dalil-dalil itu akan dipelintir,
didistorsi atau diabaikan sama sekali. Terhadap orang semacam ini, al-Quran
menyindir:"sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah
hati yang ada di dalam dada"
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Al-Karim
Al-Hadits
As-Shohihain
Abadi,
Muhammad Syamsul Haq al-Adzim, 'Aun al-Ma'bud Syarh sunan Abi Dawud, (Madinah:
al-Maktabah al-Salafiyah, 1388 H), jld. 7, hal. 112.
Abdil
Barr, Yusuf ibnu Abdillah ibnu, al-Isti'ab fi Ma'rifatil Ashab (Amman:
Dar al-I'lam, 2002).
Ahmad, Musnad
Imam Ahmad, (Beirut: Muassasah al-isalah, 1999).
Al-Amiliy,
Al-Sayyid Ja'far Murtadla al-Shahih min Sirah al-Nabiy al-Adham (Tehran:
al-Markaz al-Islamiy li al-Dirasat, cet.5, 2005).
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (Kairo: Musthafa al-Babiy
al-Kalabiy, t.t).
Al-Dzahabi,
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Syiar Aa'lam al-Nubala' (Beirut:
Mu'assasah al-Risalah, 1983), jld. 17, hal. 589.
Al-Dzahabi, Syansuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman, Mizan
al-I'tidal, (Beirut: Darul al-Ma'rifah, t.t).
Al-Mizzi,
Yusuf bin al-Zakiy, Tahdzib al-Kamal, (Beirut: Mu'assasah al-Risalah,
1400 H).
Ats-Tsani,
Asy-Syahid, ar-Ri’ayah fii ‘ilmi ad-Dirayah, , (Iran: Matba’ah Bihmin,
1408).
Ibnu
al-Atsir, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Izzuddin, Usd al-Ghabah fi Ma'rifati
as-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t).
Ibnu
Majah, Muhammad Ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikri,
t.t), jld. 2, hal. 1419.
Jabali,
Fuad, Sahabat Nabi: Siapa, ke mana, dan Bagaimana?, (Bandung:
Mizan,2010).
Rakhmat,
Jalaluddin, al-Musthafa, (Muthahhari Press, 2002)
Rakhmat,
Jalaluddin, Islam Aktual, (Bandung: Mizan,
1991)
Syakir,
Syaikh Ahmad Muhammad, Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits
Lil-Hafizh Ibnu Katsir( Darut turats: Th. 1399H/1979M).
Taimiyah,Ibnu,As-Sharim
al-Maslul, (Daar Ibni Hazm, Beirut, th. 1417 H)
[1] Yang dimaksud sahabat ialah
:" Orang yang pernah melihat atau berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi
wasallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam, meskipun pernah
murtad" lihat : Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits
Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 151 cet. Darut
turats Th. 1399H/1979M ; Asy-Syahid ats-Tsani, ar-Ri’ayah fii ‘ilmi
ad-Dirayah, tahqiq Abdul Husai Muhammad ‘Ali Baqal, (Iran: Matba’ah Bihmin,
1408), hal. 339, nama lengkapnya Zainuddin Ibnu ‘Ali ibnu Ahmad al-Jab’i
al-‘Amili, hidup pada tahun 911-965 H., Walaupun ada dari kalangan ulama menolak untuk memasukkan orang yang pernah murtad
kemudian kembali ke Islam dalam katagori sahabat, seperti Al-Hafidz al-Iraqi,
sebagaimana perkataan Abu Hanifah dan Imam Syafi'I bahwa kemurtadan telah
menggugurkan seluruh amal. Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Tadribur Rawi, jld.3
hal. 208-209., Demikian juga orang munafik tidak termasuk sahabat Nabi SAW,
meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah SAW.Karena Allah dan Rasul-Nya
mencela orang-orang munafik. Lihat: firman Allah (At-Taubah:73),
(At-Tahriim:9), (At-Taubah:84), (At-Taubah:80), (Al-Munafiquun:6),
(Muhammad:19), (Asy-Syu'araa' :215), dan (Al-Fath:29).; Ibnu Hajar, Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah jld.I
hal. 7-8 cet. Daarul-fikr 1398H.
[2]Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
((لا يَدْخُلُ
النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ
بَايَعُوا تَحْتَهَا)) [ رواه مسلمٍ ]
“Tidak
akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang ikut berbai’at di bawah
(pohon)”.HR. Muslim, no. 2496.
[3]Allah berfirman:
﴿ قَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ
السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا﴾ [الفتح : 18]
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya)”. (Qs: al-Fath :
18).
[4] Jalaluddin Rakhmat, lahir di
Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal, begitu panggilan populernya dikenal
sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia,
bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis
Madjid). Pada tahun 2013, dia tercatat sebagai mahasiswa program doctoral UIN
Alauddin Makassar yang sedang menulis disertasi seputar "Pergeseran dari
Sunnah Nabi kepada Sunnah Sahabat Nabi". Ia aktifis membidani dan menjadi
ketua Dewan Syura Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini sudah
hampir 100 pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah
anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center
(ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shihab.
[5] Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa,
kemana, dan Bagaimana? (Bandung: Mizan,2010), cover belakang.
[6] www.islamlib.com
[7] Muruj al-Dzahab, 4; 41, peristiwa tahun 202 H.
Ibnu Abi al-Hadid, setelah mengutip kisah ini berkata, "Banyak diantara
sahabat kami mengecam agama Mu'awiyah. Mereka tidak hanya menganggapnya fasik,
bahkan ada yang mengatakan dia kafir karena tidak meyakini kenabian.Mereka
banyak mengutip ucapan-ucapan yang meunjukkan ke arah situ."Lihat juga
al-Nihayah, 4: 44 dan Syarh Nahjul Balaghah, 5:129.
[8] Syarh Nahjul Balaghah, 10:101.
[9] Jalaluddin Rakhmat, al-Musthafa,
hal. 15-16.
[10] Al-Sayyid Ja'far Murtadla
al-Amiliy, al-Shahih min Sirah al-Nabiy al-Adham (Tehran: al-Markaz
al-Islamiy li al-Dirasat, cet.5, 2005) jld. 31, hal. 31-32.
[11] Hadits riwayat Tirmidzi di
Sunannya, kitab al-Manaqib, bab Manaqib Mu'awiyah bin Abi Sufyan, (Kairo:
Maktabah Musthafa al-Baby al-kalaby, 1975), jld. 5, hal. 678. Dishahihkan oleh
Al-Bani.
[12]Hadits riwayat imam Ahmad dalam
Musnadnya, (Beirut: Muassasah al-isalah, 1999). Jld. 27, hal. 383.
[13] Kedua kitab tersebut bisa dibaca
di program Maktabah Syamilah.
نهج
البلاغة : هو مجموعة منتخبة من كلام أمير المؤمنين علي رضي الله عنه جمعها محمد بن
الحسين الشريف الرضى المتوفى عام 406 هـ وقد اعتبر علماؤ الإسلام الكبار هذا
الكتاب أنه أخ للقرآن وأنه ليس من كلام أفضل منه سوى كلام الله وكلام رسوله صلى
الله عليه وسلم …
Artinya : “Nahjul Balaghah : Ia itulah
himpunan terpilih daripada perkataan Amirul Mukminin Ali a.s yang dihimpun oleh
Muhammad bin al-Husain al-Syarif al-Reda wafat pada tahun 406 H dan Ulama-ulama
besar Islam (yakni Syiah) telah menanggap ianya sebagai Saudara al-Qur’an
dan tiada perkataan yang lebih afdal daripadanya selain Kalam Allah dan
Rasul-Nya s.a.w.” [al-Nidaa al-Akhir , Muassasah Imam al-Khomeini,
Tehran-Iran].
[15]Menurut Syiah
al-Qur’an mempunyai tandingan bahkan saudara iaitu Nahjul Balaghah sedangkan
Nahjul Balaghah hanyalah kata-kata Saidina Ali r.a yang tidak sahih daripadanya
kerana penulis kitab ini tidak meriwayatkan secara bersanad sedangkan dia tidak
hidup di zaman Saidina Ali r.a. [Lihat : Taammulat fi Nahjil Balaghah oleh
Soleh al-Darwish].
"هو
جامع كتاب" نهج البلاغة " المنسوبة ألفاظه إلى الإمام علي رضي الله عنه ولا أساند لذلك و بعضها باطل و فيه حق و لكن فيه موضوعات حاث الإمام من النطق بها,
ولكن أين المصنف! و قيل : بل جمع أخيه الشريف الرضي"
Lihat: Syamsuddin Muhammad bin
Ahmad al-Dzahabi, Syiar Aa'lam al-Nubala' (Beirut: Mu'assasah al-Risalah,
1983), jld. 17, hal. 589.
[17] Syarh Nahjul Balaghah, 11: 44-46.
[18] Jalaluddin Rakhmat, al-Musthafa,
hal.13-14.
[19] Yusuf ibnu Abdillah ibnu Abdil
Br, al-Isti'ab fi Ma'rifatil Ashab (Amman: Dar al-I'lam, 2002) jld.
1,hal. 366-368 ; Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Izzuddin Ibnu al-Atsir, Usd
al-Ghabah fi Ma'rifati as-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah,
t.t), jld. 1. Hal. 856-858; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz
al-Shahabah (Kairo: Musthafa al-Babiy al-Kalabiy, t.t), jld. 4, hal.
650-653.
[20] Muhammad Ibnu Yazid Ibnu Majah, Sunan,
kitab al-Zuhd, Bab Dzikr al-Taubah, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut:
Dar al-Fikri, t.t), jld. 2, hal. 1419.
[21]Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual,
hal.166-167.
عن عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ
صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ » قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ قَالَ: انْتَهَيْتُ
إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي
زَمْزَمَ فَقُلْتُ لَهُ : أَخْبِرْنِي عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ: «إِذَا
رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا» قُلْتُ: هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ قَالَ: «نَعَمْ»
[24] Muhammad Syamsul Haq al-Adzim
Abadi, 'Aun al-Ma'bud Syarh sunan Abi Dawud, (Madinah: al-Maktabah
al-Salafiyah, 1388 H), jld. 7, hal. 112.
[25] Hadits riwayat Bukhari dalam
Shahihnya, Kitab al-Shaum, bab Shiyam Yaum 'Asyura', jld. 3, hal. 44.
[26]Hadits Shahih Riwayat Muslim
2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam
Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam
Al-Kabir 10/391
[27]Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu
Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[28]Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual,
hal. 168-169.
[29] Ibnu Hajar al-Asqalani, ahdzib
al-Tahdzib (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, t.t), jld. 7, hal. 428.
[30] Yusuf bin al-Zakiy al-Mizzi,
Tahdzib al-Kamal, tahqiq: Basyar 'Awas Ma'ruf (Beirut: Mu'assasah al-Risalah,
1400 H), jld. 26, hal. 641.
[31]Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib
al-Tahdzib, jld.4, hal. 99.
[32]Syansuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi,
Mizan al-I'tidal, tahqiq: Ali Muahammad al-Bajawi (Beirut: Darul al-Ma'rifah,
t.t), jld. 2, hal. 169.
[33]( As-Sharim al-Maslul,Ibnu Taimiyah, hal: 561, Daar
Ibni Hazm, Beirut, th. 1417 H )
[34]HR. al-Bukhari, no: 3673, Muslim, no: 2541
[35]Riwayat Ahmad dalam Fadhailus Shahabah, I/57, Ibnu Majah no: 158, Ibnu
Abi Ashim, II/484. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah,
I/32.
[36]HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata: Sanadnya Shahih, dan
disepakati oleh az-Dzahabi, III/632. Akan tetapi didhaifkan oleh Syaikh
al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no: 3157
[37]HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits ini Hasan. Akan tetapi Syaikh
al-Albani menyatakan dha’if dalam Dha’if at-Tirmidzi no: 808.
Post a Comment