Tujuan Tidak Boleh Menghalalkan Segala Cara
Tujuan Tidak Boleh Menghalalkan Segala Cara
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga
dan seluruh sahabatnya.
"Yang penting niat dan
tujuannya baik", itulah ungkapan yang sering didengar dari para pelaku
perbuatan yang menyelisihi syariat, ketika tidak lagi memiliki alasan lain.
Ungkapan ini dijadikan tameng untuk menangkis teguran dan kritikan yang
diarahkan kepadanya. Bahkan ada yang menjadikan ungkapan ini sebagai landasan
untuk melegalkan dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan niat baiknya,
baik dalam urusan dunia maupun agama. Misalnya, demi mewujudkan niat beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla, namun segala cara ditempuh termasuk cara yang
mengandung bid'ah atau maksiat.
Sebagian yang lain ingin
menegakkan agama dan membela kehormatan kaum Muslimin tetapi mereka menempuh
cara-cara yang sangat buruk dengan melancarkan aksi teror, membunuh, mencuri
serta bom bunuh diri. Ada juga yang ingin berdakwah, tetapi dengan musik dan
sinetron 'Islami'. Dalam urusan dunia, ada yang ingin menggenggam jabatan dan
kedudukan, Namun dengan melegalkan suap, bohong dan tindak kedzaliman. Kekayaan dan harta
melimpah termasuk diantara yang menyilaukan banyak orang sehingga segala cara
untuk meraihnya ditempuh, tanpa peduli halal dan haram. Itulah sebagian fakta
zaman sekarang ini, kehidupan materialis yang sangat terwarnai fitnah syubuhat
dan syahawat. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah status ungkapan 'apapun
dilakukan, yang penting niat dan tujuannya baik' dalam pandangan Islam? Apakah
tujuan yang baik boleh menghalalkan segala cara? Sebelum menjawab pertanyaan
di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu sebuah kaedah masyhur dan agung yang
berkaitan dengan tujuan (al-maqashid) dan sarana (al-wasilah) yang berbunyi :
الْوَسَائِلُ
لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
Sarana memiliki
hukum sama dengan tujuan (nya)
Sarana adalah sesuatu atau
metode yang digunakan untuk meraih atau mewujudkan maksud dan tujuan. Maksud
dari kaidah di atas adalah hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika
tujuan yang dicapai hukumnya wajib, maka sarananya juga demikian hukumnya
wajib. Bila tujuannya haram, maka sarana untuk mencapainya pun hukunya juga
haram. Dan apabila tujuannya bersifat mubah, sunat atau makruh, maka hukum
sarananya begitu juga. Oleh karenanya, jika suatu kewajiban tidak mungkin
terlaksana kecuali melalui suatu sarana tertentu, maka sarana (cara) tersebut
wajib dilakukan. Dari sini terpahami betapa pentingnya sebuah sarana.
Namun perlu di ketahui bahwa sarana itu terbagi dua :
Namun perlu di ketahui bahwa sarana itu terbagi dua :
1.
Sarana yang baik. Sarana inilah yang hukumnya sama dengan
hukum tujuan atau maksud.
2.
Sarana yang tidak baik. Sarana ini tidak boleh dilakukan,
meski tujuan dan niatnya baik. Sebab dalam agama Islam, maksud yang baik tidak
bisa membolehkan atau menghalalkan sarana yang haram (terlarang), seperti
mencuri untuk membelanjai keluarga. Mencuri hukumnya tetap haram, meski
tujuannya bagus yaitu mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Jadi, sarana yang
haram tetap terlarang, sekalipun tujuannya baik.
Ini menunjukkan bahwa dalam
syari'at islam, maksud yang baik harus digapai dengan sarana (cara) yang baik
pula atau dibenarkan syariat. Sebab tujuan dan maksud tertentu tidak
menghalalkan segala cara dan sarana, kecuali dalam kondisi yang sangat
dhorurat, dan itu pun harus diukur sesuai dengan kadar kedaruratannya, tidak
bebas. Hal ini berdasarkan kaedah :
الضَّرُوْرَةُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
(Keadaan) yang dharurat menyebabkan sesuatu yang terlarang
menjadi boleh
Dan kaidah lain yaitu :
الضَّرُوْرَةُ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
(Keadaan) dharurat diukur dengan
kadarnya
Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah
'tujuan membolehkan segala cara" adalah sebuah kaidah yang keliru dan batil.
Akan tetapi, kaidah yang benar adalah:
الْغَايَةُ
لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Tujuan tidak
membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil
Pengertiannya, bahwa tujuan (niat)
baik tidak bisa begitu saja membenarkan (menghalalkan) sarana yang terlarang,
kecuali bila ada dalil yang membolehkan sarana tersebut. Oleh karenanya, tidak
diperbolehkan bagi seorang pun berdalih dengan niat atau tujuan baik untuk
membolehkan sarana yang haram. Akan tetapi, ia harus memperhatikan maksud yang
baik, sarana yang syar'i dan dampak yang baik sekaligus, dan bila terdapat
dalil yang shahih yang membolehkan melakukan sarana yang terlarang untuk
mengaplikasikan, menyelamatkan dan memelihara tujuan yang baik, maka hukum
tersebut hanya khusus untuk sarana itu saja, seperti berbohong untuk
mendamaikan atau memperbaiki hubungan persaudaraan sesama Muslim, berbohong
untuk menyelamatkan jiwa yang tidak berdosa dari bahaya, bohong (menipu) orang
kafir dalam perang dan suami berbohong kepada istri demi terjalinnya
keharmonisan dan kasih sayang antara mereka berdua. Ini semua telah dijelaskan oleh
hadits hadits yang shahih. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ
بَيْنَ النَّاسِ ويَقُولُ خَيْرًا ويَنْمِي خَيْرًا » [متفق عليه]
Bukanlah pembohong orang yang
mendamaikan antara manusia, ia berkata baik dan menaburkan kebaikan ". (1)
Tentang hadits ini, Ibnu Syihab rahimahullah, termasuk perawi hadits ini mengatakan:
وَلَمْ
أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ
الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ
الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.
"Saya tidak mendengar ada keringanan dalam suatu kebohongan
yang dikatakan oleh manusia kecuali pada tiga perkara: dalam perang,
mendamaikan antara manusia, pembicaraan suami kepada istrinya dan pembicaraan
istri kepada suaminya"[1] .
Dalam hadits lain, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْحَرْبُ خُدْعَةٌ » [متفق عليه]
Peperangan adalah (berisi)
tipu-daya [2]
Hukum asal kebohongan itu adalah
haram, akan tetapi hukumnya beralih menjadi boleh dalam kondisi di atas demi
mewujudkan tujuan yang baik. Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksudnya bukan
kebohongan murni, tetapi sekedar berbentuk ta'ridh (ucapan yang tidak
berterus-terang). Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Para ulama telah sepakat bolehnya
mengelabui orang kafir dalam peperangan dengan cara apa saja yang mungkin
dilakukan, kecuali bila terdapat padanya pembatalan perjanjian dan perdamaian,
ini tidak di perbolehkan. Dalam hadits yang shahih terdapat kandungan
pengertian bolehnya melakukan kebohongan dalam tiga perkara, salah satunya:
dalam perang. Ath Thabari rahimahullah berkata: "Kebohongan yang hanya
diperbolehkan dalam perang adalah al-ma'aridh (tidak berterus-terang) bukan
kebohongan murni, (kalau ini) hukumnya tidak boleh', Imam Nawawi rahimahullah
mengomentari :
"Demikian pernyataan beliau.
Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi
tentu melakukan ta'ridh (tidak berterus-terang dalam berucap) adalah lebih
afdhol (utama) Wallahu a'lam" [3]. Dari pemaparan ini, jelaslah jawaban
pertanyaan di atas, apakah tujuan membolehkan segala sarana. Tentu saja,
jawabanya: tidak!. Itu bukanlah sebuah kaedah syar'i dan prinsip agama yang
mulia, namun sebuah kaedah yang diadopsi dari seorang non -Muslim, tiada lain sumbernya
kecuali teori yang di cetuskan oleh seorang politikus Yahudi yang bernama
Niccolo Machiaveli yang berasal dari Italia yang hidup antara tahun (1469-1527
M), oleh karenanya kaedah ini dikenal dengan teori Machiaveli [4].
Sebuah kaedah yang jelas kebatilannya,
bertentangan dengan kaedah syari' yang menjelaskan bahwa setiap amalan hanya
diperbolehkan dan dihukumi sebagai amal sholeh apabila tujuannya baik,
sarananya baik dan berdampak (berakibat) baik.
Di antara perkara yang menjelaskan
kebatilan teori Machiaveli ini sebagai berikut [5]:
1.
Islam mengharuskan manusia memperhatikan sarana (cara)
sebagaimana memperhatikan maqooshid (tujuan). Siapa saja yang hanya
memperhatikan tujuan, tanpa mempedulikan sarana (cara pencapaiannya), berarti
orang ini telah mengambil sebagian agama, sekaligus mengesampingkan sebagian
aturan syar'i yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ
مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ
ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا
تَعۡمَلُونَ ٨٥ ﴾ [البقرة : 85]
Apakah kamu
beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat".[al-Baqarah/2 : 85]
2.
Menyelisihi agama dalam pemilihan sarana (cara) seperti
halnya menyelisihi agama dalam penentuan tujuan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ
أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣﴾ [النور: 63]
Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa adzab yang pedih [an-Nur/24:63]
Kata (أَمْرِهِ) dalam ayat di atas adalah sebuah kalimat nakirah (umum) yang
diidhofahkan (sandarkan), maka menunjukkan makna yang umum, mencakup seluruh
perkara yang berkaitan dengan sarana (cara) dan tujuan.
3.
Tidak diragukan lagi bahwa kaedah ini adalah faktor utama
kerusakan kehidupan dunia, merajalelanya bermacam bentuk kezhaliman, kerusuhan
dan kekacauan, dan kebinasaan manusia. Berikut perkataan sebagian ulama
Islam yang menjelaskan kebatilan kaedah yahudiyyah ini, menghalalkan segala cara
demi tujuan :
Imam al 'Iz Ibnu 'Abdus Salam rahimahullah berkata:
"Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla kecuali dengan bermacam maslahat dan kebaikan, dan tidak
boleh mendekatkan diri kepada -Nya dengan suatu kerusakan dan kejahatan. Berbeda
dengan para raja (penguasa) yang zhalim yang (manusia) mendekatkan diri kepada
mereka dengan kejahatan, seperti merampas harta, pembunuhan, menganiaya
manusia, menebarkan kerusakkan, menampakkan kebangkangan dan merusak negeri,
dan tidak boleh mendekatkan diri kepada Rab (Allah) kecuali dengan kebenaran
dan kebaikkan"[6]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Tidak setiap sebab (cara) yang (dengannya) manusia mendapatkan
(pemenuhan) kebutuhannya disyariatkan dan diperbolehkan. Hanya diperbolehkan
apabila maslahatnya lebih dominan dari mafsadah (kerusakan, bahaya)nya dari
hal-hal yang diizinkan oleh syariat" .[7]
Itulah sebagian perkataan
ulama Islam tentang bahaya dan larangan menghalalkan segala cara demi meraih
tujuan. Kendatipun demikian hukumnya, akan tetapi kaedah yahudiyyah yang batil
ini tetap masih banyak digunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Mereka ini tidak
mempertimbangkan dan memilih sarana dan cara yang syar'i (yang baik) demi
mewujudkan tujuan dan cita-cita.
CONTOH NYATA PRAKTEK KAEDAH
RUSAK INI SI TENGAH UMAT
Sangat di sayangkan, sebagian
orang yang ingin mengajak kepada islam dan memperjuangkan kehormatannya dengan
menggunakan kaedah yang batil ini. Berikut beberapa contoh riilnya:
1.
Sebagian orang ingin menyampaikan dakwah melalui media musik
dan perfilman, sehingga kita melihat akhir-akhir ini marak sebagian juru
dakwah, artis, pemusik dan pelawak memanfaatkannya sebagai media dakwah(!?).
Bahkan sebagian aktivis da'wah haraki menggunakan nasyid (nyanyian) dan
sandiwara Islami (!) sebagai sarana dakwah dan tarbiyahnya. Hal ini tentu telah
menyelisihi prinsip agama yang mulia ini. Islam tidak mengizinkan sarana-sarana
yang seperti itu yang sangat jelas mengandung perbuatan haram seperti
percampuran lelaki dan perempuan, sentuhan lelaki dan perempuan yang bukan
mahram, dusta, musik yang justru melalaikan hati dan kerusakan lainnya.
Karenanya, tidak ada dalam kamus Islam istilah musik islami atau nyanyian
islami atau film islami dan yang semisalnya. Istilah-istilah seperti itu baru
muncul dan dikenal seiring dengan munculnya Jama'ah jama'ah dakwah hizbiyyah
harakiyah. Panutan mereka ialah sekte-sekte Shufiyyah yang menjadikan
alunan-alunan musik, irama-irama lagu dan syair-syair sebagai bagian yang tidak
lepas dari mereka dalam ibadah dan praktek keagamaan. Ini jelas menyelisihi
petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
2.
Bahkan yang lebih aneh lagi, munculnya orang orang yang
menamakan diri mereka sebagai pejuang Islam dan pembela martabat kaum Muslimin(!)
melalui cara melancarkan teror, intimidasi peledakan, bom bunuh diri,
pembunuhan dan mencuri serta perampokan demi jihad(!?). Subhanallah! Apakah
kerusakan seperti ini dibenarkan oleh Islam? Benarkah aksi-aksi di atas
termasuk jihad? Ya, benar, tetapi jihad di jalan setan, bukan jihad di jalan
ar-Rahman. Tentu ini adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam, dan sungguh
para pelakunya telah berbohong atas nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, Rasul -Nya dan agama yang mulia
ini. Sebab dengan nekad, mereka menamakan kezhaliman dan perbuatan keji yang
tidak manusiawi itu dengan jihad dan amar ma'ruf nahi munkar. Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai rahmat bagi alam
semesta berlepas diri dari aksi-aksi tersebut dan mengutuk para pelakunya dan
menghukumi mereka sebagai kaum khawarij dan para terorisme yang melakukan
kerusakkan, menebarkan keresahan, kekacauan dan ketakutan di permukaan bumi
ini. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا
وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
٥٦ ﴾ [الأعراف: 56]
Dan janganlah
kamu melakukan kerusakkan di permukaan bumi setelah adanya kebaikan [Al-A'raf/7:56]
Islam tidak pernah menghalalkan pencurian dan perampokkan, sekalipun
untuk tujuan baik, sebab Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا
كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨ ﴾ [المائدة : 38]
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [al-Maidah/5: 38]
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ
أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ
ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣ ﴾ [المائدة : 33]
Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul -Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.[al-Maidah/5:33]
Dan Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan bermacam bentuk kezdoliman, sebagaimana dalam hadits qudsi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا عِبَادِي
إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا
تَظَالَمُوا » [رواه مسلم]
Wahai hamba -Ku,
sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri -Ku, dan Aku haramkan juga di antara kamu,
maka janganlah kamu saling menzhalimi [8]
Kesalahan dan kezhaliman para penguasa tidak membolehkan kita untuk mengingkarinya dengan sarana (cara) yang tidak diperbolehkan (tidak syar'i), seperti kudeta, demonstrasi dan angkat senjata, serta membeberkan dan menyebarkan kesalahan-kesalahannya di media massa dan mimbar. Sebab, hal itu tidak menyelesaikan permasalahan, bahkan akan menambah kerusakan dan menimbulkan fitnah yang lebih besar, akan tetapi dengan menggunakan cara-cara yang syar'i, yaitu dengan memberikan nasehat secara langsung dengan secara berduaan (jika hal itu memungkinkan), atau menulis surat kepadanya, serta mendoakan kebaikan baginya, sebab kebaikan mereka adalah kebaikan untuk masyarakat dan negara itu sendiri, dan sabar menghadapi kezhalimannya, karena kezhaliman para penguasa disebabkan oleh kezhaliman rakyatnya sendiri, karena merupakan sunnatullah bahwa Allah Azza wa Jalla akan menjadikan para penguasa (pemimpin) yang memiliki karakter dan keimanan seukuran dengan perilaku, karakter, kepribadian, mentalitas dan keimanan masyarakat suatu negeri. Oleh karenanya, masyarakat jangan hanya bisa menyalahkan dan mengkritik pemerintah saja, tetapi mereka harus mengkoreksi diri dan intropeksi jiwa, sejauh mana mereka telah berbuat keadilan dan meninggalkan kezhaliman.
Tidak heran, kalau para terorisme yang menghalalkan
segala cara untuk mewujudkan tujuan mereka menamakan aksi dan teror mereka
dengan jihad sehingga mereka siap mati dan berkorban demi hal itu, karena
pemikiran mereka telah terkontaminasi oleh pemikiran sesat takfiri sehingga
mereka meyakini hal tersebut suatu kebaikkan yang harus dilakukan dan
diperjuangkan. Oleh sebab itu, mereka rela mati untuk memperjuangkan 'jihad'
mereka ini. Dari sini dapat diketahui, mengapa mereka sulit untuk bertaubat dan
meninggalkan aksi bom bunuh diri itu. Pasalnya, mereka telah meyakininya
sebagai kebaikan dan tidak pernah ada dalam sejarah orang yang bertaubat dari
kebaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita akan bahayanya pemikiran yang sesat
(syubhat). Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: "Bid'ah lebih
disukai oleh iblis dari maksiat, karena pelaku maksiat mudah bertaubat, dan
pelaku bid'ah tidak bisa (sulit) bertaubat"[9].
3.
Sebagian yang ikut serta dalam percaturan demokrasi yang
bersumber dari pemikiran kufur, tidak malu-malu untuk menjalin koalisi
(bekerjasama) dengan partai partai non-Islam untuk menegakkan syari'at Islam
atau daulah Islamiya?, sebagaimana yang dilakukan dan didengungkan oleh
sebagian partai politik atau para aktivis dakwah haraki. Dan sudah tidak malu
lagi mencalonkan diri dalam pilkada sebagai wakil dari calon kepala daerah
seorang wanita dengan foto berdampingan yang terpampang di banyak tempat umum. Bahkan seluruh jama'ah dakwah
hizbiyyah harakiyah dengan berbagai macam isu yang mereka usung dan latar
belakang –secara umum- menggunakan kaedah yang batil ini (menghalalkan segala
cara demi tujuan). Maka, tidak heran kalau kita melihat dalam dakwah mereka
terdapat banyak penyimpangan dari prinsip prinsip aqidah Ahlu Sunnah dan
menyelisihi sarana sarana dakwah para Nabi dan dakwah generasi Salaf.
Karena itu, mengikuti manhaj dakwah
Salaf adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk mengenal Islam, mengamalkan dan
mendakwahkannya. Manhaj dakwah salafiyah selalu menggunakan sarana sarana yang
syar'i dan komitmen dengannya dalam mewujudkan tujuan yang mulia dan agama yang
suci, indah lagi sempurna ini. Mereka selalu berjalan bersama dalil kemana saja
dalil itu mengarah. Inilah salah satu satu keistimewaan dakwah yang berkah ini.
Walillahil hamd.
PENUTUP
Demikian, semoga kita semua dibimbing oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengamalkanya, dan untuk selalu memperhatikan niat (tujuan) yang baik, sarana yang baik dan dampak yang baik dalam setiap amalan yang kita lakukan. Sebab, itulah amalan yang disyariatkan oleh agama. Syaria't Islam yang sempurna dan mulia ini datang dengan membawa maksud yang baik, sarana yang baik dan memperhatikan akibat (dampak) yang baik dan melarang dari seluruh niat yang tidak baik, sarana yang keji dan dampak negatif. Wallahu a'lam.
Demikian, semoga kita semua dibimbing oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengamalkanya, dan untuk selalu memperhatikan niat (tujuan) yang baik, sarana yang baik dan dampak yang baik dalam setiap amalan yang kita lakukan. Sebab, itulah amalan yang disyariatkan oleh agama. Syaria't Islam yang sempurna dan mulia ini datang dengan membawa maksud yang baik, sarana yang baik dan memperhatikan akibat (dampak) yang baik dan melarang dari seluruh niat yang tidak baik, sarana yang keji dan dampak negatif. Wallahu a'lam.
Footnote:
[1]. HR. al-Bukhâri no. 2692 dan Muslim no. 6799. Ini hádala lafazh riwayat beliau. Imam al-Bukhâri t memberi judul hadits ini dengan (باب ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس) "Bab: Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia". Sementara Imam Nawawi t memberi judulnya dengan
[1]. HR. al-Bukhâri no. 2692 dan Muslim no. 6799. Ini hádala lafazh riwayat beliau. Imam al-Bukhâri t memberi judul hadits ini dengan (باب ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس) "Bab: Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia". Sementara Imam Nawawi t memberi judulnya dengan
(باب تحريم الكذب
وبيان ما يباح منه) "Bab:
haramnya berbohong dan penjelasan apa (kebohongan) yang diperbolehkan".
[2]. HR. al-Bukhâri no. 3039, 3030 dan Muslim no. 4637, 4638, dari hadits Jâbir bin 'Abdillâh dan Abu Hurairah c . Bahkan Imam al-Bukhâri dalam kitah Shahîhnya menulis sebuah bab berjudul: (باب الكذب في الحرب) "Bab: Kebohongan dalam perang". Dan Imam Nawawi memberi judul bab hadits di atas dengan:
[2]. HR. al-Bukhâri no. 3039, 3030 dan Muslim no. 4637, 4638, dari hadits Jâbir bin 'Abdillâh dan Abu Hurairah c . Bahkan Imam al-Bukhâri dalam kitah Shahîhnya menulis sebuah bab berjudul: (باب الكذب في الحرب) "Bab: Kebohongan dalam perang". Dan Imam Nawawi memberi judul bab hadits di atas dengan:
(باب جواز الخداع في
الحرب) "Bab: bolehnya penipuan dalam
peperangan".
[3]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 12/45 dan 16/158 Cet. Dar Ihya' Turats al 'Arabi.
[4]. Sebagaimana yang ia paparkan dalam karyanya al-Amîr (The Prince) hlm. 20. Lihat Qawâ'idul Wasîlah fisy Syarî'atil Islâmiyyah hlm. 291
[5]. Lihat Qawâ'idul Wasîlah hlm. 299-302
[6]. Qawâidul Ahkâm 1/112
[7]. Mukhtashar al-Fatâwa al-Mishriyyah (hlm. 169
[8]. HR. Muslim no. 6737
[9]. Diriwayatkan oleh al-Lâlaka'i dalam Syarh Ushûl I'tiqâd Ahlis Sunnah no. 238 dan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya 7/26. Lihat Majmu' Fatâwa 10/9-10
[3]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 12/45 dan 16/158 Cet. Dar Ihya' Turats al 'Arabi.
[4]. Sebagaimana yang ia paparkan dalam karyanya al-Amîr (The Prince) hlm. 20. Lihat Qawâ'idul Wasîlah fisy Syarî'atil Islâmiyyah hlm. 291
[5]. Lihat Qawâ'idul Wasîlah hlm. 299-302
[6]. Qawâidul Ahkâm 1/112
[7]. Mukhtashar al-Fatâwa al-Mishriyyah (hlm. 169
[8]. HR. Muslim no. 6737
[9]. Diriwayatkan oleh al-Lâlaka'i dalam Syarh Ushûl I'tiqâd Ahlis Sunnah no. 238 dan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya 7/26. Lihat Majmu' Fatâwa 10/9-10
Post a Comment