Kini marilah kita kembali ke kisah sepasang sanda tadi. Yang dapat disimpulkan dari perintah pelepasan sandal tersebut ialah peringatan tentang keharusan meninggalkan kedua alam, dunia dan akhirat. Yang demikian itu menunjukkan bahwa permisalan secara lahiriah adalah haqq (benar) dan pelaksanaannya sampai ke rahasia batin adalah hakikat. Sebab pada setiap yang haqq ada hakikat-nya. Para penghuni tingkatan ini adalah mereka yang telah mencapai derajat “kaca” sebagaimana akan diuraikan nanti tentang makna yang dikandung olehnya.
Sebabnya ialah karena khayal (imajinasi) Anda, yang dari materialnya tersebut segala misal, adalah sesuatu yang keras lagi pekat, menyelubungi rahasia-rahasia dan menghalangi antara diri Anda dan cahaya-cahaya. Akan tetapi jika telah membening, ia akan menjadi seperti kaca yang jernih dan tembus pandang, tidak menghalangi masuknya cahaya-cahaya, bahkan ia akan berfungsi seperti cahaya. Di samping itu, ia akan menjaga cahaya agar tidak terpadamkan oleh badai angin yang bagaimana pun kencangnya. Mengenai cerita tentang kaca ini sebentar lagi akan dijumpai.
Kini ketahuilah bahwa pada diri para Nabi alaihimussalam, alam khayal yang pekat di dunia bawah, menjadi kaca pa misykat yang menampung cahaya-cahaya, menapisnya serta merupakan sarana pendakian ke alam atas. Dengan ini dapat diketahui bahwa misal lahiriah adalah sesuatu yang haqq dan bahwa di balik ini ada pula suatu rahasia. Ini dapat pula Anda terapkan pada sinar, siang hari, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah Saw, bersabda:
“Kulihat Badurrahman bin-Auf masuk surga secara merangkak.”
Janganlah Anda kira bahwa beliau tidak menyaksikannya sungguh-sungguh dengan penglihatan mata. Memang demikian itulah; bahkan beliau melihatnya dalam keadaan terjaga, seperti yang dilihat oleh seseorang yang sedang tidur dalam mimpinya, kendati tubuh Abdurrahman bin Auf pada saat dia dilihat oleh Nabi Saw sedang dalam keadaan tidur di rumahnya. Namun pengaruh tidur atas diri seseorang seperti yang biasa disaksikan hanyalah disebabkan ia dapat memaksakan kehendaknya atas kekuatan indra orang itu sehingga tertutup baginya cahaya batin yang bersumber dari Allah. Adalah indra yang selalu menyibukkan dan menerik manusia ke alam indriawi dan memalingkannya dari alam gaib dan malakut. Sedangkan sebagian cahaya para nabi adakalanya menjadi amat bening dan kuat sehingga tidak berhasil disibukkan dan ditarik oleh indra ke alamnya (yakni, ke alam indriawi).
Disebabkan hal itu, seorang Nabi dapat menyaksikan dalam keadaan terjaga, apa yang dapat disaksikan oleh orang lain dalam mimpinya. Lebih dari itu, bia ia berada pada tingkatan tertinggi kesempurnaan, penecerapannya itu tidak hanya berlaku terhadap gambaran lahir yang terlihat saja, tapi bahkan menembus masuk ke dalam rahasianya yang tersembunyi. Dengan demikian, tersingkaplah baginya bahwa iman menarik manusia ke alam atas yang juga dinamakan “surga”, sedangkan kekayaan harta benda menarik manusia ke kehidupan duniawi atau alam bawah.
Oleh sebab itu, bilamana daya tarik ke arah kesibukan-kesibukan dunia seseorang lebih kuat, hal itu akan menghambat orang tersebut dalam perjalanannya menuju surga. Namun, bilamana daya tarik iman pada diri orang itu lebih kuat lagi, hal itu akan mengakibatkannya terus berjalan menuju surga meskipun dengan agak sulit dan lambat. Keadaan seperti ini, di alam indriawi, dimisalkan sebagai “merangkak”, seperti dalam sabda Nabi Saw, tentang Abdurrahman bin Auf di atas.
Demikianlah, rahasia-rahasia akan tersingkap dari balik kaca-kaca khayal. Hal seperti itu – tentang diri Abdurrahman – tidak hanya berlaku atas diri Abdurrahman bin Auf, kendati penyaksian Nabi Saw, pada saat itu hanya khusus berkenaan dengan dirinya. Keadaan seperti ini berlaku pula atas siapa saja yang kuat kesadaran batinnya, dan mantap imannya, di samping memiliki kekayaan harta benda yang besar yang jumlahnya mampu mendesak dan menyaingi iman, tapi tidak mampu melawannnya, disebabkan kuatnya pada diri orang itu.
Mudah-mudahan Anda kini telah memahami bagaimana penglihatan para nabi terhadap bentuk lahiriah dan terhadap makna-makna di balik bentuk itu. Pada galibnya, makna suatu benda muncul terlebih dahulu sebelum penglihatan batiniah. Setelah itu ia masuk ke dalam ruh khayali (ruh imajinatif) dan tercetak padanya dengan bentuk yang sesuai dan mirip dengan benda tersebut. Bagian wahyu seperti ini, yang muncul dalam keadaan terjaga, memerlukan ta’wil (penafsiran) di balik istilah-istilah lahiriahnya; sebagaimana pemunculannya di waktu tidur memerlukan ta’bir (penafsiran tentang mimpi).
Perbandingan antara “wahyu” yang terjadi di waktu tidur pada orang biasa dan yang terjadi pada diri mereka yang beroleh kekhususan-kekhususan kenabian adalah satu banding empat puluh enam, sedangkan yang terjadi di saat terjaga, perbandingannya lebih besar, yaitu menurut perkiraanku satu banding tiga. Hal ini disebabkan tercakupnya sifat-sifat kekhususan kenabian ini dalam tiap jenis; yang dibicarakan ini termasuk salah satu di antaranya.
Post a Comment