Pertama: Ruh Indriawi, yaitu yang menerima sesuatu yang dikirim oleh pancaindra. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua makhluk hidup menjadi hidup. Ia sudah ada walaupun dalam diri seorang bayi yang masih menyusu.
Kedua: Ruh Khayali (imajinatif), yaitu yang merekam keterangan yang dikirim oleh pancaindra, menyimpannya rapat-rapat untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh ‘aqli (intelegensi), di atasnya, pada saat dibutuhkan. Ruh khayali ini belum ada pada diri bayi yang masih menyusu di awal pertumbuhannya, karena itulah adakalanya ia menggemari sesuatu dan ingin memegangnya tetapi segera melupakannya bila disembunyikan darinya. Ia pun tak mempunyai keinginan untuk kembali kepadanya.
Hal ini berlangsung sampai ia sudah mulai tumbuh menjadi agak besar, yakni pada saat ia sudah mulai tumbuh menjadi agak besar, yakni pada saat ia menangis bila benda tersebut disembunyikan darinya. Setelah itu ia akan memintanya kembali, disebabkan masih tersimpannya gambaran tentang benda itu diingatannya atau dalam khayalnya. Ruh khayal ini ada kalanya dimiliki oleh beberapa jenis binatang, tapi tidak oleh semuanya.
Tidak dimiliki, sebagai contoh, oleh binatang laron (kelekatu) yang terjun ke dalam api atau pelita, disebabkan kegemarannya yang sangat pada cahaya siang hari. Ia mengira bahwa pelita adalah sebuah lubang kecil yang menuju arah cahaya tersebut, lalu ia menjatuhkan dirinya ke sana dan merasakan kesakitan.akan tetapi jika masih bisa selamat dan menjumpai sinar itu lagi dalam kegelapan, ia tak ragu-ragu untuk mengulangi lagi perbuatannya, sekali, dua kali dan seterusnya. Sekiranya memiliki ruh yang menyimpankan baginya perasaan sakitnya itu, pasti ia tak akan mengulanginya lagi setelah penderitaannya. Lain halnya dengan anjing, jika pernah dipukul dengan sebatang kayu misanya, ia akan lari setiap kali melihat kayu itu lagi.
Ketiga: Ruh “aqli (Akal, Intelegensi), yaitu yang dapat mencerap makna-makna di luar indra dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawi yang hanya khusus ada padanya, tidak pada hewan ataupun anak kecil. Jangkauan pencerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dharuri (aksiomatis) dan universal, sebagaimana telah kami sebutkan ketika menetapkan keutamaan cahaya akal di atas cahaya mata.
Keempat: Ruh Pemikiran, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu ‘aqli yang murni kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabungan-penggabungan dan daripadanya ia membuat kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan-pengetahuan amat berharga. Selanjutnya bila telah memperoleh dua hasil kesimpulan, misalnya, ia akan menggabungkan antara keduanya sekali lagi, agar beroleh kesimpulan-kesimpulan baru pula. Dengan demikian, pengetahuannya makin lama makin bertambah terus-menerus secara tak terhingga (tanpa batas).
Kelima: Ruh Suci Kenabian, yaitu yang hanya khusus bagi para nabi dan sebagian wali. Dengan ini tersingkap selubung loh-loh gaib dan hukum-hukum akhirat serta jumlah pengetahuan tentang kerajaan lelangit dan bumi bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbani (ketuhanan), yang semuanya tak mampu dijangkau oleh ruh akal dan pemikiran. Ruh suci kenabian itulah yang diisyaratkan dalam firman Allah Swt:
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadilan Al-Quran itu “cahaya” yang dengannya Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar adalah penunjuk kepada jalan yang lurus.
(QS. Al-Syura 42 : 52).
Post a Comment