Pemahaman Batiniah Perlu di Samping Pemahaman Lahiriah

Pemahaman Batiniah Perlu di Samping Pemahaman Lahiriah

Dari contoh-contoh dan misal-misal yang telah kuberikan sebelum ini, janganlah sekali-kali Anda berasumsi bahwa aku dapat menyetujui, atau memaafkan tindakan sebagian orang yang ingin mengabaikan hal-hal lahiriah. Atau seakan-akan aku menganggap bahwa itu semua boleh dibatalkan. Lalu aku berkata, misalnya, bahwa dalam kenyataannya Musa tidak mengenakan sepasang sandal dan tidak sungguh-sungguh mendengar ucapan Allah yang memerintahkannya: “Tanggalkan sandalmu!” Tidak, demi Allah. Membatalkan hal-hal lahiriah sama sekali adalah paham (aliran) kaum Batiniah yang memandang dengan satu mata saja ke arah satu daru dua alam yang ada. Mereka itu sungguh amat bodoh dan tidak mengerti adanya keseimbangan antara keduanya,d an oleh sebab itu mereka tertutup dari arah pemikiran yang benar.

Sebaliknya, membatalkan makna-makna batiniah (rahasia-rahasia di balik segala sesuatu), adalah aliran kaum Hasyawiyyah. Jadi, orang hanya mau mengakui segala yang zhahir (konkret) saja, adalah penganut paham Hasyawiyyah. Yang hanya mau mengakui segala yang bathin (abstrfak) saja adalah penganut aliran Batiniah. Sedangkan yang menggabungkan antara keduanya adalah kamil (sempurna). Itulah sebabnya Rasulullah saw, pernah bersabda:

“Al-Quran memiliki lahir dan batin; akhir dan awal.
(Ada kemungkinan ucapan ini dinukilkan dari Ali r.a. secara mauquf).

Menurut hematku, Musa a.s.m memahami perintah menanggalkan sepasang sandalnya sebagai “melepaskan kedua bagian alam”, yakni dunia dan akhirat. Dia pun mematuhi perintah itu, secara lahir, dengan menanggalkan sandalnya dan, secara batin, dengan melepaskan kedua alam itu dari dalam dirinya. Itulah “penyeberangan” dari sesuatu ke sesuatu lainnya, dari sesuatu yang zhahir ke sesuatu yang bersifat rahasia.

Memang, terdapat perbedaan antara orang yang mendengar sabda Rasulullah Saw:

“Malaikat tidak memasuki rumah yang ada anjing atau gambar”.

Lalu ia memelihara anjing di rumahnya sembari berkata: “Larangan itu tidak dimaksudkan secara lahiriah, tapi maksudnya ialah ‘mengosongkan rumah-rumah kalbu dari anjing kemurkaan’, sebab dialah yang menghalangi masuknya ma’rifat yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, sedangkan kemurkaan adalah hantu akal.”

Sungguh berbeda antara orang seperti itu dengan seseorang yang mematuhi perintah itu secara lahiriah dan setelah itu ia berkata bahwa binatang anjing disebut begitu bukan karena rupa dan bentuknya, melainkan karena makna yang dibawanya, yakni kebinatangan dan keganasan.

Jika penyelamatan rumah – yang merupakan tempat kediaman diri dan badan seseorang daripada citra keanjingan merupakan suatu hal yagn wajib, maka sudah tentu lebih wajib lagi menjaga dan menyelamatkan rumah kalbu yang merupakan substansi hakiki dan khusus agar diajuhkan dari sifat keanjingan.

Begitulah, orang seperti ini, yang menggabungkan antara yang lahir dan yang batin bersama-sama, adalah insan kamil (sempurna). Itulah yang dimaksudkan oleh ucapan sebagian kaum ‘arifin : “manusia kamil ialah manusia yang cahaya ilmunya tidak menyebabkan padamnya cahaya wara’-nya, yakni ketulusan sikapnya di hadapan Allah Swt, demikian pula seorang kamil tak akan mengizikan dirinya melampaui batasan apa pun di antara batasan-batasan syariat. Hal ini disebabkan kesempurnaan wawasan batinnya.”

Di sini adakalanya orang terjerumus dalam penyimpangan seperti yang terjadi pada diri beberapa orang yang ber-suluk, yaitu dengan mengabaikan hukum-hukum syariat yang bersifat lahiriah, sehingga adakalanya seseorang dari mereka meninggalkan kewajiban shalat dengan mengatakan bahwa “ia terus menerus berada dalam keadaan shalat dengan batinnya”. Inilah penyimpangan terberat yang menimpa orang-orang bodoh di antara kaum Ibahiyah (penganut paham kesebabolehan) yang terkelabui oleh hal-hal yang remeh-remeh dan penuh dusta.

Seperti ucapan sebagian dari mereka bahwa “Allah tak membutuhkan amalan kita” atau ucapan lainnya yaitu bahwa hatinya penuh dengan kotoran dan kekejian yang tak mungkin disucikan darinya; demikian pula ia tak mampu mencabut kemurkaan dan syahwat sampai ke akar-akarnya; sedangkan ia mengira dirinya diperintahkan untuk beruat demikian (yakni, menjadi orang yang suci sepenuhnya). Ini merupakan puncak kebodohan.

Adapun tntang yang kami sebutkan sebelumnya, itu hanyalah kesalahan-kesalahan yang lebih kecil, sama seperti tergelincirnya kuda pacuan di suatu saat (yang biasanya tak pernah mengecewakan), atau kesalahan seorang ahli suluk (yang biasanya amat berhati-hati) yang sedang tergoda oleh setan yang mengulurkan tali ghurur (tipu daya) kepadanya.

Tidak ada komentar