PERSAINGAN YANG MULIA
Persaingan yang mulia
Bukan sesuatu yang
aneh bahwa seseorang melebihi saudaranya dalam bidang ilmu pengetahuan, atau
keahlian, atau berbagai sektor lainnya dalam kehidupan. Sebagaimana bukan
termasuk perbuatan tercela bahwa yang rendah berusaha menyusul yang lebih
tinggi dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melebihinya, dalam batas
mengharapkan ridha Allah I, dan selamat dari penyakit sombong, ujub dan riya', dan dengan bersihnya perasaan hati dan sucinya hubungan
persaudaraan. Dengan standar netral, adil dalam penilaian untuk diri sendiri
dan orang lain, di mana semua itu membawa hasil untuk merealisasikan
kepentingan Islam yang tinggi, jauh dari hawa nafsu.
Ketika persaingan
yang mulia menjadi pendorong beribadah kepada Allah I, menjadi jalan untuk mengarahkan pandangan kepada amal-amal
kebaikan, yang memancarkan persaingan sebagai tambahan kebaikan untuk individu
dan masyarakat, sehingga individu dari umat ini selalu menoleh kepada yang
lebih tinggi, dan bagaimana ia ridha dengan yang lebih rendah?...Dan dialah
yang ingin agar Allah I menjadikannya sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Dia
yang mengintai kepada surga Firdaus yang paling tinggi, bersama pada nabi, para
syuhada, dan orang-orang shalih. Dan dia yang mengharapkan agar menjadi orang
yang terdahulu dengan kebaikan:
أُوْلَئِكَ
يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS.
Al-Mukminun:61)
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat)
kebaikan. (QS. Al-Baqarah:148)
خِتَامُهُ
مِسْكُُ وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba. (QS. Al-Muthaffifiin:26)
Di antara yang
demikian itu, persaingan mulia yang terdapat dalam hadits tentang orang yang
beribadah dan berinfak:
لاَحَسَدَ
إِلاَّ فِى اثْنَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوْهُ
آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ, فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ: لَيْتَنِي
أُوْتِيْتُ مِثْلَمَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ, فَعَمِلْتُ مِثْلَمَا يَعْمَلُ. وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللهُُ مَالاً فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِى الْحَقِّ. فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي
أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ, فَعَمِلْتُ مِثْلَمَا يَعْمَلُ.
"Tidak
ada hasad kecuali dalam dua perkara: (pertama) seseorang yang Allah I mengajarkan al-Qur`an kepadanya, dia membacanya siang dan malam
hari. Lalu tetangganya mendengarnya seraya berkata, 'Andaikan aku diberikan
seperti yang diberikan kepada fulan, maka aku beramal seperti dia. Dan (kedua)
laki-laki yang diberikan Allah I
harta, maka dia menggunakannya dalam kebaikan. Maka seorang laki-laki yang lain
berkata, 'Andaikan aku diberikan seperti fulan, maka aku beramal seperti ia
beramal."[1]
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, 'Adapun hasad yang disebutkan dalam hadits tersebut maksudnya adalah ghibthah
(ingin meniru), yaitu ingin mendapatkan seperti yang diperoleh orang lain,
tanpa hilangnya nikmat itu dari orang lain. Berkeinginan seperti ini disebut munafasah
(persaingan), maka jika dalam perbuatan taat, maka merupakan perbuatan yang
terpuji.'[2]
Di antara gambaran
persaingan yang mulia adalah berlomba-lomba dalam ibadah, terkadang tidak bisa istiqamah
melaksanakannya kecuali orang-orang yang terdahulu, seperti azan, shaf pertama,
bersegera melaksanakan shalat, bersungguh-sungguh melaksanakan shalat isya dan
shubuh berjamaah. Rasulullah r bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى
النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا
عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ, وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِى التَّهْجِيْرِ
لاَسْتَبَقُوْا إِلَيْهِ, وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِى الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ
َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
"Jikalau
manusia mengetahui pahala yang ada pada azan dan shaf pertama, kemudian mereka
tidak mendapatkannya kecuali dengan diundi niscaya mereka melakukan undian. Dan
jikalau mereka mengetahui pahala bersegera menuju shalat tentu mereka berlomba
kepadanya. Dan jikalau mereka mengetahui pahala pada shalat isya dan shubuh
niscaya mereka mendatanginya sekalipun sambil merangkak."[3]
Di antara gambaran
perlombaan yang mulia dari sisi amal ibadah, persaingan dalam kebaikan yang
terjadi di antara Abu Bakar t dan Umar t. Di antara hal itu adalah ketika keduanya mendengar pujian
Rasulullah r terhadap bacaan Abdullah bin Mas'ud t dengan sabdanya:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَقْرَأَ
الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ مِنْ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ
"Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur`an murni sebagaimana
diturunkan, maka hendaklah ia membacanya dari Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin
Mas'ud)."[4]
Lalu pada malam hari, Umar t segera berangkat untuk memberikan kabar gembira kepada Ibnu Mas'ud
t. Maka Ibnu Mas'ud t
berkata, 'Apakah yang mendorongmu datang pada saat ini? Umar berkata, 'Aku
datang untuk memberikan kabar gembira kepadamu dengan ucapan Rasulullah r. Ibnu Mas'ud t berkata, 'Abu Bakar t
telah mendahuluimu.' Umar t berkata, 'Jika ia melakukan, maka sesungguhnya ia adalah
jagonya berlomba dalam kebaikan. Belum pernah kami berlomba dalam kebaikan
kecuali Abu Bakar telah mendahului kami kepadanya."[5]
Gambaran seperti
ini terulang kembali saat Rasulullah r
meminta dari pada sahabatnya untuk bersedekah. Umar t berkata, 'Kebetulan aku mempunyai harta, maka aku berkata,
'Pada hari ini aku mendahului (melebihi) Abu Bakar t -jika aku bisa mendahuluinya pada suatu hari- lalu aku datang
dengan setengah hartaku. Rasulullah r
bertanya, 'Apakah yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Aku menjawab,
'Seumpamanya (sama seperti jumlah ini).' Dan Abu Bakar t datang dengan semua miliknya, maka beliau r bertanya, 'Wahai Abu Bakar, apakah yang engkau sisakan untuk
keluargamu? Maka ia menjawab, 'Aku tinggalkan untuk mereka Allah I dan Rasul-Nya.' Saat itulah Umar t berkata, 'Aku tidak bisa mendahuluinya (melebihinya) untuk
selamanya.'[6]
Seperti inilah
persaingan di antara sesama teman sejawat dengan rasa cinta dan hormat, bukan
dengan rasa dendam dan penghinaan. Adapun persaingan yang tidak sehat (mulia),
maka bermula seperti yang dijelaskan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam
syarh Muslim: 'Para ulama berkata, 'Persaingan kepada sesuatu adalah berlomba
kepadanya dan tidak suka orang lain mengambilnya, ia adalah permulaan tingkatan
sifat dengki. Adapun hasad (dengki) yaitu inginnya hilang nikmat dari orang
lain)."[7]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan pengertian dengki dengan ucapannya:
'Maka yang dicela bahwa engkau mengharapkan hilangnya nikmat Allah I dari saudaramu sesama muslim. Sama saja engkau mengharapkan
agar nikmat itu kembali kepadamu… Sesungguhnya hal itu menjadi tercela karena
di dalamnya mengandung menyalahkan Allah I dan sesungguhnya Dia I
memberikan nikmat kepada orang yang tidak berhak menerimanya.'[8]
Persaingan yang
membawa kepada sifat dengki inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah r apabila sudah ditaklukkan kerajaan Persi dan Romawi, beliau
bersabda:
تَتَنَافَسُوْنَ ثُمَّ
تَتَحَاسَدُوْنَ ثُمَّ تَتَدَابَرُوْنَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُوْنَ...
"Kamu
saling bersaing, kemudian saling mendengki, kemudian saling membelakangi,
kemudian saling membenci…"[9]
Itulah yang terlarang dalam sabdanya r:
وَلاَتَحَسَّسُوْا
وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَنَافَسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا
وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
"Janganlah
kamu suka mendengar (isu, atau semisalnya), janganlah mencari-cari aib orang
lain, janganlah saling bersaing (bukan dalam urusan kebaikan atau akhirat),
janganlah saling mendengki, janganlah saling membenci, dan janganlah saling
membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah I yang bersaudara."[10]
Dan yang paling dikhawatirkan bahwa tergelincirnya seseorang
kepada persaingan dalam maksiat, atau persaingan atas dunia dan perhiasannya.
Dan Rasulullah r telah mengingatkan umatnya dari tergelincir ini, beliau
bersabda:
إِنِّي فَرَطُكُمْ وَأَنَا شَهِيْدٌ
عَلَيْكُمْ وَإِنِّي وَاللهِ َلأَنْظُرُ إِلَى حَوْضِي اْلآنَ وَإِنِّي قَدْ
أُعْطِيْتُ مَفَاتِيْحَ اْلأَرْضِ وَإِنِّي وَاللهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ
تُشْرِكُوْا بَعْدِي وَلكِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوْا فِيْهَا
"Sesungguhnya
aku mendahului kamu, dan aku menjadi saksi atasmu, dan sesungguhnya aku –demi
Allah- melihat telagaku sekarang, dan sesungguhnya aku telah diberikan
kunci-kunci perbendaharaan bumi, dan sesungguhnya aku –demi Allah- tidak
khawatir bahwa kamu berbuat syirik sesudahku, akan tetapi aku khawatir atasnya
bahwa kamu bersaing padanya."[11]
Dan tatkala
Rasulullah r melihat bersegeranya manusia saat mengetahui datangnya Abu
Ubaidah t dengan membawa harta dari Yaman, beliau r bersabda kepada mereka:
...فَوَاللهِ
مَاالْفَقْر أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ
عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا
كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُلْهِيْكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ
"Maka demi Allah, bukanlah kemiskinan yang kukhawatirkan
terhadapmu, akan tetapi aku khawatir dibukakan dunia terhadapmu sebagaimana telah
dibukakan terhadap umat sebelum kamu, lalu kamu bersaing sebagaimana mereka telah
bersaing, dan melalaikan kamu sebagaimana telah melalaikan mereka."[12]
Sesungguhnya masyarakat
yang urusannya adalah persaingan yang mulia, anak kecil berlomba untuk ikut
serta dalam berperang, para wanita
bersaing untuk membantu para mujahidin, manusia bersaing untuk menghapal
al-Qur`an dan mengamalkan sunnah Rasulullah r. Dan ketika suasana seperti ini sudah hilang, jadilah
persaingan dalam memperbanyak harta benda dan dalam kerancuan segala yang baru.
Dan yang lebih
berbahaya dari semua ini adalah persaingan orang-orang malas dan bodoh, yang
menunggu dilimpahkan nikmat Allah I
kepada mereka, di atas kebodohan dan lemahnya semangat mereka. Dan sekalipun
nikmat ini tidak meliputi mereka, mereka tetap duduk. Mereka hanya digerakkan
oleh semangat jahat untuk melakukan tipu daya kepada orang-orang bekerja,
dengki terhadap orang yang mendahului mereka, dan dendam terhadap orang yang
diberikan Allah I nikmat kepada mereka. dan Rasulullah r telah memberi peringatan dengan sabdanya:
دَبَّ
إِلَيْكُمْ دَاءُ اْلأُمَمِ قَبْلَكُمْ: الحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ, وَالْبَغْضَاءُ
هِيَ الْحَالِقَةُ, حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ, وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا. أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ
إِذاَ فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
"Telah
menular kepadamu penyakit umat-umat sebelum kamu: dengki dan kebencian, dan
kebencian ialah yang mencukur, mencukur agama, bukan mencukur rambut. Demi
Allah I yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, kamu tidak beriman
sehingga kamu saling mencintai. Maukah kamu kukabarkan sesuatu yang apabila
kamu lakukan kamu saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kamu."[13]
Salam yang sebenarnya adalah memberikan kesenangan hati, dan
tidak ada penghormatan itu melainkan hanya salah satu indikasinya.
Ketika tersebar
jalur persaingan dalam kebaikan, seseorang tidak mengintai-intai kecuali kepada
orang yang berada di atasnya dari sisi wara' dan ibadah, dakwah dan jihad. Dan
orang-orang yang menoleh kepada nikmat yang diberikan Allah I kepada sebagian hamba-Nya, lalu ia ingin berlomba memperbanyak
harta benda dunia, atau memandang kepada mereka dengan pandangan hasud,
Rasulullah r mengingatkan mereka dengan sabdanya:
اُنْظُرُوْا
إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ,
فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدِرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
"Lihatlah
kepada orang yang di bawah kamu (dari sisi kehidupan dunia), dan jangan engkau
melihat kepada orang yang berada di atasmu, maka sesungguhnya ia lebih pasti
bahwa kamu tidak menghinakan nikmat Allah I kepadamu."[14]
Di antara
perkataan para ulama yang dikutip an-Nawawi rahimahullah dalam memahami
hadits di atas, Ibnu Jarir rahimahullah dan yang lainnya berkata:
'Hadits ini menggabungkan semua jenis kebaikan, karena apabila manusia melihat
orang yang diberi kelebihan atasnya dalam urusan dunia, nafsunya meminta
seperti itu dan menganggap sepele nikmat Allah I yang ada di sisinya, sangat bernafsu untuk menambah untuk
menyusul hal itu atau mendekatinya. Inilah realita mayoritas manusia. Adapun
apabila ia melihat dalam urusan dunia kepada orang yang lebih rendah darinya,
nampaklah atasnya nikmat Allah I kepadanya, maka ia bersyukur dan merasa rendah diri, serta
melakukan kebaikan padanya.[15] Manusia dalam golongan
inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah r saat ditanya:
أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:
كُلُّ مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ صَدُوْقُ اللِّسَانِ؟ قَالُوْا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ
نَعْرِفُهُ, فَمَا مَخْمُوْمُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ, لاَ
إِثْمَ فِيْهِ وَلاَ بَغْيَ وَلاَ غِلَّ وَلاَحَسَدَ.
'Manusia apakah yang paling utama? Beliau
menjawab, 'Setiap orang yang makhmum hatinya, benar lisannya.' Mereka berkata,
'Benar lisannya, kami mengetahuinya, apakah maksud makhmum hatinya? Beliau
menjawab, 'Yaitu orang yang taqwa, bersih, tidak ada dosa padanya, tidak ada
zalim, tidak ada penipuan, dan tidak ada kedengkian."[16]
Dan tidak sempurna
iman di hati orang yang terseret persaingan tidak terpuji kepada sifat
kedengkian, sebagaimana dalam sabdanya r:
...لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ:
الاِيْمَانُ وَالْحَسَدُ
"Ada
dua perkara yang keduanya tidak bisa berkumpul di hati hamba: iman dan sifat
dengki."[17]
Dan tidaklah
disyari'atkan berlindung "dari kejahatan orang yang dengki, apabila ia
dengki" kecuali hal itu mendorongnya bersaing secara tidak sehat;
berupa tipu daya dan makar. Dan tidak adalah dosa orang yang didengki kecuali karena
Allah I telah memberikan karunia kepadanya dengan sebagian nikmat-Nya,
atau memberi taufik kepadanya untuk memanfaatkan waktu dan kemampuannya,
sehingga ia berhasil melangkah lebih ke depan dan menjadi bahan pandangan orang
lain. Asy-Syaukani berkata: Dan pengertian 'apabila ia dengki', apabila ia
menampakkan kedengkian yang ada di hatinya dan mengamalkan tuntutannya, dan
kedengkian mendorongnya melakukan kejahatan kepada yang didengki.[18]
Ingatlah cerita
kedua putra Adam u dalam firman Allah I:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ
لأَقْتُلَنَّكَ
Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima salah seorang
dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain(Qabil). Ia berkata
(Qabil):"Aku pasti membunuhmu!". (QS.al-Maidah5:27)
Dan orang yang beruntung adalah yang ditetapkan Allah I bahwa ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, seperti
yang dilakukan oleh putra Adam u yang pertama ketika ia berkata:
لَئِن
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَآأَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
Sungguh
kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali
tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku
takut kepada Allah, Rabb seru sekalian alam". (QS. Al-Maidah:28)
Dan terus berulang cerita pada keturunan Adam u tentang kedengkian atas dunia, atau cemburu karena kepentingan
semu (ilusi) atau karena sebab yang lain.
Dan di antara
pintu kejatuhan dalam persaingan tidak mulia: yaitu yang terjadi di antara teman
sejawat dari para ahli satu disiplin ilmu, atau satu profesi, atau kedudukan
sosial, atau kedudukan di kantor… Di mana setiap orang menungguh-nunggu
kejatuhan yang lain, padahal sebaiknya adalah menggunakan fikiran dan bekerja
dengan sungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik.
Di antara berita
gembira dari Rasulullah r untuk mereka yang berlomba dalam persaingan yang mulia dan
bebas dari sifat hasud: sesungguhnya mereka adalah golongan pertama yang
memasuki surga:
قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ رَجُلٍ
وَاحِدٍ, لاَتَبَاغُضَ بَيْنَهُمْ وَلاَتَحَاسُدَ
"Hati mereka di atas hati seorang laki-laki (semuanya
satu hati dan sikap), tidak ada rasa benci di antara mereka dan tidak
kedengkian."[19]
Kesimpulan:
1.
Perbedaan di antara manusia adalah
persoalan taqdir dan alami.
2.
Persaingan yang mulia menggerakkan semangat
menuju kebaikan.
3.
Para sahabat telah memberikan contoh
terbaik dalam persaingan mulia yang sehat.
4.
Bahaya berubahnya persaingan menjadi
kedengkian.
5.
Sifat hasud terjadi setelah terbukanya
dunia.
6.
Masyarakat bersih adalah yang meratanya
persaingan yang mulia.
7.
Iman dan hasud tidak bisa bergabung dalam
satu hati.
8.
Kejahatan orang yang hasud adalah karena kedengkian
yang mendorongnya melakukan tipu daya.
9.
Golongan pertama yang memasuki surga adalah
yang 'tidak ada kebencian di antara mereka dan tidak ada kedengkian. Wallahu
A'lam.
[1] Shahih al-Bukhari, kitab keutamaan al-Qur`an,
bab ke-20, hadits no. 5026.
[2] Fath al-Bari 1/167, dari Syarh bab 15, dari
kitab Ilmu.
[3] Shahih al-Bukhari, kitab keutamaan al-Qur`an,
bab ke-20, hadits no.5026.
[4] Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh
al-Albani, al-Muqaddimah, bab ke-11, hadits no. 114/138
[5] Musnad Ahmad, 1/38, dari Umar bin
al-Khaththab t, dan Ahmad Syakir menshahihkan isnadnya dalam ta'liqnya terhadap
musnad (265).
[6] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Manaqib,
bab ke-41, hadits 2902/3939 (Hasan).
[7] Syarh Shahih Muslim 18/308 dari Syarh hadits no.7 dari kitab
Zuhud.
[8] Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/71 dari tafsir
surah al-Baqarah: 109
[9] Shahih Muslim, kitab Zuhud, bab ke-7,
hadits no. 2962.
[10] Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab 57,
hadits no.6064.
[11] Shahih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab
ke-7, hadits no. 6426
[12] Shahih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab ke-7,
hadits no. 6425.
[13] Musnad Ahmad 1/165 dan dihasankan oleh syaikh
al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2038/2641 dan dihasankan aleh
Syaikh al-Arna`uth (Jami' al-Ushul 3/626).
[14] Shahih Muslim, kitab Zuhud, hadits 9/2963.
[15] Syarh an-Nawawi terhadap Shahih Muslim
9/308-309, syarh hadits ke-9 dari kitab Zuhud.
[16] .Shahih Sunan Ibnu Majah
karya Syaikh al-Albani, kitab zuhud, bab ke-24, hadits no. 3397/4216 (Shahih).
[17] Shahih Sunan an-Nasa`i karya Syaikh
al-Albani, kitab zuhud, bab ke-8, hadits no.2912.
[18] Fath al-Qadir karya asy-Syaukani 5/521 saat
menafsirkan surah al-Falaq.
[19] Shahih al-Bukhari, kitab permulaan wahyu, bab
ke-8, hadits no. 3254.
Post a Comment