Dari Kesempurnaan Menuju Kehinaan
Materi Ceramah:
Dari Kesempurnaan Menuju Kehinaan
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…
Marilah kita tundukkan hati kita, sebelum jasad ini benar-benar ditundukkan oleh tanah. Marilah kita dengarkan dengan hati, bukan sekadar dengan telinga. Karena apa yang akan kita bicarakan hari ini bukan kisah orang lain… ini adalah kisah kita sendiri.
Jamaah yang dimuliakan Allah… Tahukah kita dari mana asal kita? Tahukah kita bahwa kita tidak lahir dari kehinaan, tetapi justru turun dari kesempurnaan?
Allah Subhanahu wa Ta‘ala menciptakan ruh sebagai makhluk yang paling halus, paling mulia, paling dekat kepada-Nya. Ruh diciptakan dalam keadaan mengenal Tuhan, membawa benih tauhid, membawa cahaya penghambaan.
Namun jamaah sekalian… Allah tidak membiarkan ruh itu tinggal selamanya dalam kemuliaan. Allah menurunkannya… Diturunkan… Diturunkan… Sampai ke alam yang paling rendah.
Bukan karena Allah membencinya. Tetapi karena Allah ingin mengajarkannya jalan pulang.
Sebagaimana firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Jamaah… Kita ini ruh yang sedang diuji, bukan jasad yang dimuliakan.
Ruh itu melewati alam demi alam… Alam akal… Alam malakut… Alam nama dan sifat… Sampai akhirnya dibungkus daging dan tulang.
Kenapa dibungkus? Karena kalau cahaya ruh langsung bertemu alam materi… dunia ini hancur!
Maka Allah jadikan jasad ini sebagai rumah sementara. Dan Allah letakkan ruh di dalam hati. Bukan di kepala. Bukan di otot. Tetapi di qalb.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh jasad. Jika ia rusak, rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ma’asyiral muslimin… Di sinilah ujian dimulai.
Ruh yang mulia kini harus menanam tauhid di tanah yang berat. Tanah hawa nafsu. Tanah syahwat. Tanah dunia.
Allah gambarkan perjuangan ini dalam Al-Qur’an:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan secara sembunyi dan terang-terangan, mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir: 29)
Jamaah… Hidup ini perdagangan. Ada yang untung. Ada yang rugi.
Yang untung adalah mereka yang menjual dunia demi akhirat. Yang rugi adalah mereka yang menjual akhirat demi dunia.
Allah memperingatkan:
> أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ • وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
“Tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan dan apa yang ada di dalam dada ditampakkan?” (QS. Al-‘Adiyat: 9–10)
Saudaraku… Yang Allah bongkar kelak bukan wajah kita. Tetapi isi dada kita.
Dan Allah berfirman:
> وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ
“Dan setiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya tergantung di lehernya.” (QS. Al-Isra’: 13)
Artinya apa jamaah? Kita tidak bisa lari. Tidak bisa beralasan. Tidak bisa menyalahkan siapa pun.
Ibn Katsir rahimahullah berkata: “Amal itu akan menyertai manusia ke mana pun ia pergi, sampai ia berdiri di hadapan Allah.”
Al-Ghazali rahimahullah berkata: “Barang siapa mengenal asal dirinya sebagai ruh, ia tidak akan betah hidup hina sebagai budak dunia.”
Maka jamaah yang dirahmati Allah… Jika hari ini kita lalai… Jika hati kita keras… Jika dunia terlalu kita cintai…
Bukan karena kita makhluk hina. Tetapi karena kita lupa asal-usul kita.
Mari kita pulang. Mari kita kembali. Mari kita bersihkan hati.
Sebelum ruh ini benar-benar dipanggil pulang tanpa bisa menawar.
اللهم ردنا إليك ردًّا جميلًا Ya Allah, kembalikan kami kepada-Mu dengan kembali yang indah.
Asal Kemuliaan Ruh Manusia
Jamaah yang dimuliakan Allah, Manusia tidak diciptakan dalam keadaan hina. Asal penciptaannya adalah kemuliaan dan kesempurnaan ruhani. Allah menciptakan ruh sebagai makhluk yang paling halus, paling dekat, dan paling sempurna di antara ciptaan-Nya.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh telah Kami muliakan anak cucu Adam.”
(QS. Al-Isra’: 70)
Ulasan Ulama:
Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan bahwa kemuliaan ini bersumber dari ruh yang ditiupkan Allah ke dalam diri manusia, bukan dari jasadnya.
Perjalanan Ruh dari Alam Tinggi ke Alam Rendah
Allah menciptakan ruh di alam tertinggi, kemudian menurunkannya agar ia belajar kembali kepada-Nya.
Allah berfirman:
ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَـٰلِقِينَ
“Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang lain. Maka Maha Suci Allah, sebaik-baik Pencipta.”
(QS. Al-Mu’minun: 14)
Penjelasan Tasawuf:
Para ulama tasawuf menjelaskan tahapan ruh: Alam Lahut → Jabarut → Malakut → Nasut. Setiap penurunan adalah hijab, setiap pendakian adalah ma‘rifat.
Ruh dan Pakaian-Pakaiannya
Di alam keesaan dan akal universal, ruh diberi pakaian cahaya Ilahi dan disebut Jiwa Sultan.
Di alam malakut, ia disebut jiwa aktif.
Di alam materi, ia dibungkus jasad agar alam rendah tidak hancur oleh cahaya ruh suci.
Allah berfirman:
ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
(QS. An-Nur: 35)
Ulasan Ulama:
Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa jasad adalah hijab rahmat; tanpa hijab itu, cahaya ruh akan membakar alam materi.
Hati: Ladang Tauhid
Jamaah sekalian, Meski ruh telah turun ke alam terendah, Allah memberi hati sebagai ladang untuk menanam kembali tauhid.
Allah berfirman:
فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًا﴾l
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu.”
(QS. Al-Baqarah: 10)
Dan sebaliknya:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra‘d: 28)
Penjelasan Ulama:
Imam al-Ghazali menyatakan: hati ibarat tanah; jika ditanami tauhid, tumbuh pohon iman, jika dibiarkan, tumbuh duri nafsu.
Jasad sebagai Rumah Jiwa
Allah menjadikan jasad sebagai rumah bagi jiwa dan membagi tugas ruh-ruh dalam tubuh manusia.
Allah berfirman:
ٱلَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَـٰرَةً لَّن تَبُورَ
“Orang-orang yang membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan secara sembunyi dan terang-terangan, mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi.”
(QS. Fathir: 29)
Ulasan:
Ibn Katsir menafsirkan ‘perdagangan’ ini sebagai amal yang dilakukan anggota tubuh dan hati demi keuntungan akhirat.
Takdir, Amal, dan Tanggung Jawab
Manusia tidak bisa mengubah ketetapan Allah, tetapi ia bertanggung jawab atas sikapnya.
Allah berfirman:
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِى ٱلْقُبُورِ وَحُصِّلَ مَا فِى ٱلصُّدُورِ
“Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan, dan apa yang ada di dalam dada dilahirkan?”
(QS. Al-‘Adiyat: 9–10)
وَكُلَّ إِنسَـٰنٍ أَلْزَمْنَـٰهُ طَـٰٓئِرَهُۥ فِى عُنُقِهِ
“Dan setiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya pada lehernya.”
(QS. Al-Isra’: 13)
Penjelasan Ulama:
Imam an-Nawawi menjelaskan: ayat ini menegaskan tanggung jawab pribadi; takdir bukan alasan untuk bermaksiat.
Dari Kesempurnaan Menuju Kehinaan
Jamaah yang dirahmati Allah, Ketika ruh lupa asalnya, manusia jatuh ke derajat yang paling rendah.
Allah berfirman:
ثُمَّ رَدَدْنَـٰهُ أَسْفَلَ سَـٰفِلِينَ
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang paling rendah.”
(QS. At-Tin: 5)
Namun Allah memberi pengecualian:
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.”
(QS. At-Tin: 6)
Ulasan Tasawuf:
Keselamatan terletak pada kesadaran ruhani dan mujahadah melawan nafsu.
Penutup: Jalan Kembali
Wahai jiwa-jiwa yang mulia, Kita berasal dari kemuliaan, jangan rela hidup dalam kehinaan.
Kembalilah kepada tauhid. Hidupkan hati dengan zikir. Gunakan jasad sebagai alat taat, bukan alat maksiat.
اللَّهُمَّ لَا تَكِلْنَا إِلَىٰ أَنفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Ya Allah, jangan Engkau serahkan kami kepada diri kami sendiri walau sekejap mata.”
Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn.
Post a Comment